Pameran Tunggal
“Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa”
Pembukaan: Kamis, 10 Juli 2025, Pukul 19.00 WIB
Diawali dengan Cuplikan Pertunjukan Ludruk Budhi Wijaya @ludruk.budhiwijaya
Diskusi Seni Budaya
“Moelyono, Ludruk, dan Perlawanan Rakyat Pedesaan”
Jumat, 11 Juli 2025, Pukul 15.00 WIB
Narasumber: Frans Sartono, Seno Joko Suyono, Rifda Amalia, Moelyono, Didik Purwanto (Ketua Ludruk Budhi Wijaya)
Moderator: Ilham Khoiri @iam.khoiri
Testimonial: Romo Sindhunata SJ
Diawali Pertunjukan Ludruk Dengan Lakon “Geger Pabrik Gula Gempol Kerep” oleh Ludruk Budhi Wijaya.
Pameran berlangsung: 11–19 Juli 2025, Pukul 10.00–18.00 WIB
Tempat: Bentara Budaya Jakarta, Jl. Palmerah Selatan No. 17, Jakarta Pusat
Pameran Tunggal
Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa”
Oleh Rifda Amalia
Apa makna seni di tengah masyarakat yang terus terpinggirkan, ketika ruang hidup dikorbankan atas nama pembangunan, dan memori kolektif dibungkam oleh narasi tunggal kekuasaan?
Pameran ini mengajak kita masuk ke dalam dunia Moelyono—seniman dan penggerak pendidikan rakyat—yang selama lebih dari empat dekade menjadikan seni sebagai praksis keberpihakan.
Pameran ini mempertemukan kita dengan beragam bentuk dan makna; lukisan, instalasi, video dan pentas Ludruk, yang menandai delapan tahun perjalanan kolektif Moelyono dengan kelompok Ludruk Budhi Wijaya asal desa Ketapang Sari, Jombang. Karya-karya yang hadir disini merupakan jejak hidup dari seni yang dijalankan bersama warga komunitas Ludruk dan proses pribadi Moelyono sebagai seorang seniman.
Di tengah gegap gempita estetika sosial dalam seni rupa kontemporer global, praktik Moelyono hadir bukan sebagai tren atau gaya, melainkan sebagai komitmen jangka panjang yang bertumbuh dari hidup bersama masyarakat. Ia tidak mewakili mereka dari kejauhan, tapi melebur menjadi bagian dari proses.
Masuk ke dalam pameran ini seperti masuk ke sebuah pertunjukan Ludruk yang dibekukan. Namun pengunjung pameran bukan hanya diajak menyaksikan apa yang terjadi di atas panggung, namun juga dibelakang panggung, melampaui ruang, waktu dan memori akan kekerasan budaya yang telah dialami oleh Ludruk sejak 1965.
Keterkaitan Ludruk dengan perjuangan buruh tani pada perkebunan tebu menyimbolkan semangat perjuangan rakyat kecil yang menolak tunduk pada represei kaum pemilik modal, para tuan tanah, dan para penguasa korup. Namun, Ludruk tidak melawan dengan senjata, namun dengan gamelan dan komedi satirnya yang menyembuhkan dan membakar semangat perjuangan. Oleh Moelyono, semangat resistensi budaya rakyat buruh tani serta trauma akan kekerasan yang terdapat dalam Ludruk diamati, dibongkar dan disajikan kembali melalui bahasa simbol-simbol visual yang bisa dicerna oleh publik lebih luas lewat pameran ini. Ruang pamer ini tidak hadir sebagai panggung tunggal untuk melihat Ludruk, tapi sebagai medan interaksi, di mana jejak-jejak Ludruk dan proyek-proyek sosial Moelyono sepanjang hidupnya dapat memicu ingatan dan pertanyaan.
Diselenggarakan di Jakarta—kota yang menjadi simbol kapitalisme global dan ketimpangan ruang—pameran ini tampil sebagai alternatif terhadap strategi resistensi melalui budaya.
Pameran ini bukanlah nostalgia terhadap seni tradisi, tapi tentang bagaimana Ludruk sebagai kesenian rakyat masih hidup dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari banyak warga desa di Jawa Timur. Memantik kita untuk bisa memandang kesenian Ludruk sebagai kanal ingatan, medium pembebasan dan artikulasi politik dari bawah.
Moelyono telah berhasil menjaga tujuan ganda dalam praksisnya selama puluhan tahun agar berdampak di dua ranah: sosial dan seni. Di ranah sosial, proyeknya nyata berkelanjutan—mendorong perubahan infrastruktur, pelestarian budaya, dan generasi muda yang aktif memperjuangkan hak mereka.. Di ranah seni, ia memicu ketidaknyamanan dan imajinasi agar mendorong refleksi kritis. Karena itu lah, Moelyono berhasil menciptakan ruang ketiga di mana seni dan sosial saling memengaruhi tanpa dominasi.
Tentu saja, mengapresiasi karya Moelyonon sepenuhnya tidak cukup hanya dengan mengunjungi pameran atau membaca teks, tapi dengan mempraktikkan keberpihakan dan komitmen dalam hidup kita—bukan meniru, tapi bertanya: apa yang bisa kita lakukan dengan waktu, tubuh, dan konteks kita untuk mewujudkan harapan akan keadilan?
Hadir dalam ruang pamer, pameran ini membuka pertanyaan mendasar:
maukah kita memandang seni sebagai “bentuk” keberpihakan dan penyembuhan panjang, bukan sekadar tontonan?