Bentara Budaya adalah lembaga kebudayaan Kompas Gramedia. Nama Bentara Budaya memiliki arti utusan budaya. Diresmikan pertama kali oleh bapak Jakob Oetama pendiri Kompas Gramedia pada tanggal 26 September 1982 di Yogyakarta dengan Surya sengkalan "Manembah Hangesti Songing Budi" yang kemudian mendasari arah, semangat, gerak dan motto Bentara Budaya.
"Sebagai utusan budaya, Bentara Budaya menampung dan mewakili wahana budaya bangsa, dari berbagai kalangan, latar belakang, dan cakrawala, yang mungkin berbeda. Balai ini berupaya menampilkan bentuk dan karya cipta budaya yang mungkin pernah mentradisi. Ataupun bentuk-bentuk kesenian massa yang pernah populer dan merakyat. Juga karya-karya baru yang seolah tak mendapat tempat dan tak layak tampil di sebuah gedung terhormat. Sebagai titik temu antara aspirasi yang pernah ada dengan aspirasi yang sedang tumbuh. Bentara Budaya siap bekerja sama dengan siapa saja."
Bermula dari kepedulian pimpinan harian Kompas, yaitu Bp. PK Ojong dan Bp. Jakob Oetama, terhadap kebudayaaan terutama bidang seni rupa sekitar tahun 1970-an. Kompas banyak mengkoleksi lukisan, keramik, dan benda-benda seni antik lainnya yang kemudian dipercayakan pengelolaannya pada GM Sudarta, karikaturis Kompas. Untuk mewadahi benda-benda koleksi ini maka pada tahun 1974 didirikan Gramedia Art Gallery di daerah Pintu Air, Jakarta. Gallery inilah yang sebenarnya menjadi cikal bakal Bentara Budaya kemudian hari.
Pada tahun 1980-an, Yogyakarta sebagai Kota Budaya yang mempunyai ratusan seniman seni rupa, tidak memiliki ruang pamer dengan jumlah yang mencukupi. Saat itu tempat budaya yang ada hanya taman Budaya Yogyakarta dan Karta Pustaka. Meskipun ada Seni Sono tetapi sudah mulai ditinggalkan karena dipergunakan sebagai Gedung Negara. Di tengah minimnya tempat budaya sebagai ruang apresiasi, sekitar tahun 1982, toko buku Gramedia yang berlokasi di Jl. Jenderal Sudirman No. 56 Yogyakarta pindah ke lokasi di sebelahnya yaitu No. 54. Dengan demikian bangunan bekas Toko Gramedia ini kosong dan direncanakan akan dijadikan toko roti . Namun, melihat ada kebutuhan perlunya ruang apresiasi seni di Yogyakarta, para pimpinan berubah pikiran dan memutuskan untuk mewujudkan cita-cita lama yaitu mendirikan sebuah lembaga kebudayaan. Di tempat itulah pertama kali Bentara Budaya Yogyakarta ada dan disahkan menjadi lembaga kebudayaan milik Kelompok Kompas Gramedia pada tanggal 26 September 1982 dengan menggelar pameran lukisan tradisional Citra Waluya dari Solo dan Sastra Gambar dari Muntilan, sebagai penanda peresmiannya.
Berbagai program dirancang dengan menggandeng banyak seniman dan komunitas seperti pameran lukisan, foto, grafis, patung, keramik dan aneka seni tradisional seperti Setrika Lawasan, Radio, Lampu, Jam Kuno, Penggali Hati, Pawukon, Tjap Petruk, pameran Wuwungan, Ning Tem Bok, Celengan Malo, dan lainnya. Ada pula pemutaran film, bedah buku serta pementasan seni tradisional
Setelah Bentara Budaya Yogyakarta, lahirlah Bentara Budaya Jakarta yang secara fisik dan nonfisik sangat unik. Lembaga ini dapat menjadi contoh kemitraan antara media massa dengan masyarakat. Bentara Budaya Jakarta resmi dibuka pada 26 Juni 1986 oleh Jakob Oetama.
Bentara Budaya Jakarta dengan gedung hasil karya arsitek terkenal Romo Mangunwijaya terletak di Jl. Palmerah Selatan 17, Jakarta 10270. Terlihat keunikan dan keindahan bangunan yang mencerminkan cita rasa berkesenian yang tinggi, anggun dan tradisional.
Bentara Budaya Jakarta selain menyelenggarakan berbagai program seni, juga mengelola berbagai koleksi benda seni seperti lukisan yang berjumlah sekitar 573 buah karya pelukis-pelukis terkenal, antara lain : S. Sudjojono, Hendra Gunawan, Affandi, Basoeki Abdullah, Affandi, Aming Prayitno, Fadjar Sidik, Basoeki Resobowo, Bagong Kussudiardjo, Ahmad Sadali, Zaini, Dede Eri Supria, Batara Lubis, Otto Jaya, Sudjono Abdullah, Kartika Affandi, Wahdi dan berbagai lukisan Bali karya I Gusti Nyoman Lempad, Wayan Djujul, Nyoman Daging, I ketut Nama, Made Djata, I Ketut Regig, I Gusti Made Togog, I Gusti Ketut Kobot, Anak Agung Gde Sobrat, juga perupa muda seperti Eddie Hara, Nasirun, Made Palguna Wara Anindyah dan masih banyak lagi. Mengelola pula koleksi keramik dari berbagai dinasti sebanyak 625 buah, mulai dari dinasti Yu an, Tang, Sung, Ming dan Ching, juga keramik lokal dari Singkawang, Cirebon, Bali dan Plered. Ada pula koleksi benda kayu berjumlah sekitar 400 buah meliputi koleksi patung dari Papua dan Bali, mebel yang tergolong antik seperti meja, kursi, dan lemari. Juga wayang golek karya dalang kondang Asep Sunarya dari Jawa Barat berjumlah 120-an wayang, wayang kulit dan wayang rumput. Koleksi wayang ini terdiri dari berbagai macam karakter, mulai dari tokoh punakawan sampai tokoh-tokoh utama baik Pandawa maupun Kurawa. Beberapa patung Budha dengan berbagai posisi mudra pun menambah maraknya koleksi Bentara Budaya. Semuanya tersimpan dalam penataan yang rapi dan terawat baik di Jakarta.
Bagi Bentara Budaya, mengoleksi karya dan merepresentasikan karya seni merupakan sebuah momentum pelestarian budaya, sekaligus mengemban tugas untuk mewartakan penggalan sejarah yang telah memberi aneka warna dalam perjalanan sejarah seni budaya bangsa pada generasi muda.
Koleksi yang paling membanggakan dan menakjubkan yaitu rumah tradisional Kudus yang dibawa langsung dari daerah Kudus, Jawa Tengah. Rumah adat berukiran indah ini tadinya terletak di lingkungan Kauman tidak jauh dari menara Kudus.
Bentara Budaya Jakarta seperti halnya Bentara Budaya Yogyakarta semakin marak dengan berbagai macam kegiatan seni baik kegiatan seni tradisi maupun kontemporer seperti pameran seni rupa, pameran foto, pameran karya kerajinan, aneka pementasan tari, teater, musik , pemutaran film, berbagai diskusi dan workshop. Tidak hanya itu, Bentara Budaya Jakarta pun menjadi salah satu rujukan pusat kegiatan budaya yang terus menggeliat dengan program bertaraf nasional dan internasional seperti kompetisi Trienial Seni Grafis Indonesia yang diselenggarakan setiap tiga tahun sekali dan telah diawali sejak tahun 2003, serta Pameran Ilustrasi Cerpen KOMPAS yang digelar setiap tahunnya.
Bentara Budaya yang ketiga lahir di Kota Solo pada tanggal 31 Oktober 2003, diresmikan oleh bapak Jakob Oetama.
Sejarah kepemilikan Gedung Balai Soedjatmoko cukup panjang. Awalnya gedung tersebut merupakan rumah dinas Dr Saleh Mangundiningrat, dokter pribadi Paku Buwono X dan Paku Buwono XI. Rumah ini ditempati Dr Saleh Mangundiningrat bersama keluarga, istri, dan putra – putrinya dalam waktu yang tidak bersamaan. Putra – putri Dr Saleh Mangundiningrat berjumlah empat orang terdiri dari ; Poppy Saleh, Soedjatmoko, Miriam Saleh, dan Nugroho Wisnumurti. Poppy Saleh pernah menjadi sekretaris PM Sjahrir kemudian berganti nama menjadi Poppy Sjahrir setelah menikah dengan PM Sjahrir. Miriam Saleh berganti nama menjadi Miriam Budiardjo setelah menikah Ali Budiardjo, mantan Sekretaris Kementerian Penerangan, dan kemudian menjadi Direktur Freeport Indonesia. Sedangkan Soedjatmoko sendiri pernah sekolah di STOVIA, sekolah tinggi kedokteran, namun keluar ketika jaman penjajahan Jepang. Soedjatmoko kemudian menjadi staf dan juru bicara PM Sjahrir, dan menjadi wakil kepala perwakilan Indonesia di PBB, setelah itu menjadi Dubes RI untuk Amerika Serikat tahun 1968 – 1971. Nugroho Wisnumurti mengikuti jejak Soedjatmoko dengan menjadi diplomat. Minus, panggilan akrab Nugroho Wisnumurti menjadi Dubes RI untuk PBB tahun 1992 – 1997.
Selain keluarga Dr Saleh Mangundiningrat ada juga beberapa keluarga yang sengaja diajak oleh Dr Saleh untuk tinggal di rumah tersebut. Dulu disamping rumah terdapat beberapa kamar untuk tinggal beberapa orang yang masih kerabat, atau sahabat dekat Dr Saleh, salah satunya yang pernah tinggal disitu Prof Sri Edi Swasono. Sri Edi cukup lama tinggal di tempat Dr Saleh sebelum pindah rumah bersama ibunya. Keluarga Sri Edi pindah ke Solo karena di tempat tinggalnya di Ngawi sedang terjadi pembrontakan PKI, dan mereka kemudian memutuskan untuk pindah ke Solo. Beberapa keponakan Dr Saleh juga ikut serta tinggal di Solo, keluarga besar Dr Saleh dan istrinya berasal dari Madiun. Di rumah ini pula Nugroho Wisnumurti lahir, dari cerita Pak Minus sewaktu berkunjung ke Balai Soedjatmoko kelahirannya dibantu bapaknya sendiri, Dr Saleh. Nugroho Wisnumurti lahir di ruang sebelah barat dekat pintu masuk ke Toko Gramedia, dirinya tinggal di Solo sejak lahir sampai SMA, dan merupakan penghuni paling lama setelah Dr Saleh, ruang depan Balai Soedjatmoko sebelah timur dulunya merupakan ruang praktek Dr Saleh.
Dr Saleh selain sebagai dokter pribadi raja juga menjadi kepala RS Kadipolo yang terletak sangat dekat dengan Balai Soedjatmoko, dirinya juga melakukan praktek pribadi di rumahnya, kadang Dr Saleh menerima pasien yang tidak punya, pasien yang miskin secara ekonomi, dan Dr Saleh tidak pernah memungut biaya, bahkan ada satu keluarga pasien Tionghoa yang kemudian menjadi anak angkatnya. Dr Saleh juga pernah menjadi salah satu anggota perkumpulan masyarakat di Solo yang bernama Habib Raya, selain itu Dr Saleh merupakan dosen, dan kemudian menjadi Rektor Universitas Tjokroaminoto Solo yang dulu kampusnya terletak di Gemblengan. Dr Saleh menjadi Rektor Universitas Tjokroaminoto sampai wafat di tahun 1962 dalam usia 71 tahun.
Sebelum Dr Saleh meninggal dunia hampir semua anak – anaknya sudah tidak tinggal di Solo, semua anaknya bertempat tinggal di Jakarta termasuk Nugroho Wisnumurti yang kuliah di UI, dan ikut keluarga St Sjahrir, saat itu St Sjahrir sudah menjadi tahanan politik Presiden Soekarno. Nugroho Wisnumurti sendiri mengaku memiliki kedekatan dengan Poppy, dan jarak usia mereka yang rentang waktunya hampir dua puluh tahun menjadikan Poppy seperti ibunya sendiri. Nugroho Wisnumurti ditinggal ibu kandung pada tahun 1952 saat usianya masih 12 tahun, bapaknya kemudian menikah kembali dengan bibinya, dan mereka tinggal di Solo sampai bapaknya meninggal dunia. Rumah yang menjadi tempat tinggal mereka kemudian berpindah – pindah tangan sampai Kompas membelinya.
Bulan Januari 2009 Gedung Balai Soedjatmoko kemudian diserahkan pengelolaanya kepada Bentara Budaya. Untuk menghormati Dr. Soedjatmoko, Bentara Budaya tetap menggunakan nama Balai Soedjatmoko sebagai nama institusi dan sejak saat itu berbagai kegiatan seni budaya diselenggarakan. Balai Soedjatmoko kemudian menjadi pelopor pemanfaatan ruang – ruang bukan milik pemerintah di Solo untuk berkesenian, sebelumnya kegiatan seni budaya di Solo lebih banyak memanfaatkan gedung pemerintah yang memang sangat representatif dan kegiatan seni budaya waktu itu terpusat di Kentingan, yang merupakan kawasan kampus ISI Surakarta dan Taman Budaya Jawa Tengah.Balai ini berkembang menyemarakkan kota Solo dengan berbagai program tradisi dan kebudayaan modern yang berkembang di daerah tersebut antara lain diskusi Kajian Solo, Keroncong Bale, Parkiran Jazz, Blues on Stage, Klenengan Selasa Legen, Macapatan, Diskusi Sastra, Diskusi Heritage, Pameran Foto, Pameran Seni Rupa, Pentas Teater, Maca Cerkak, Pentas Musik Balada, dan berbagai kegiatan lainya yang sifatnya non regular.
Rumah tinggal Dr Saleh yang berpindah – pindah tangan dari satu orang ke orang lain kemudian dibeli Kompas, dan menjadi kantor Kompas yang ada di Solo, selain itu juga menjadi kantor biro harian lain yang masih grup Kompas seperti Harian Surya (Surabaya), dan Harian Bernas (Yogya). Maka dari rumah dokter menjadi kantor redaksi yang penuh wartawan. Cukup lama para wartawan menempati bekas rumah Dr Saleh, sampai kemudian akan dibangun Toko Buku Gramedia. Pembangunan TB Gramedia dirancang oleh arsitek Andy Siswanto, dalam rancangan Andy Siswanto rumah yang pernah menjadi tempat tinggal Dr Saleh tetap dibiarkan berdiri, dan TB Gramedia mengelilingi rumah tersebut. Kantor Kompas sendiri kemudian pindah ke Kalitan, sementara Harian Surya menutup bironya di Solo, Harian Bernas juga tidak memperpanjang kehadirannya di Solo. Desain dari Andy Siswanto tidak berjalan seperti yang diharapkan, bekas kantor Kompas yang kini terletak di sebelah timur Balai Soedjatmoko tidak jadi dipugar, dan kemudian menjadi studio Ria FM, jaringan radio Sonora Jakarta. TB Gramedia berdiri tahun 2003, dan menjadi pengelola Balai Soedjatmoko tahun 2003 – 2009.
Bentara Budaya keempat hadir di Indonesia bagian Tengah adalah Bentara Budaya Bali. Hal ini tidak lepas dari peran para seniman Bali yang giat mengutarakan keinginannya agar di Bali juga didirikan lembaga yang sama. Bentara Budaya Bali akhirnya diresmikan pada tanggal 9 September 2009 oleh Gubernur Bali, Made Mangku Pastika bertempat di kawasan Ketewel, Gianyar, Bali. Bentara Budaya Bali memang belum lama berkiprah, namun gaungnya sudah terasa sampai ke luar negeri karena sudah beberapa kali menyelenggarakan program bertaraf internasional, terutama bidang seni sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan. Dalam usianya yang ke 10 tahun Bentara Budaya Bali sudah meraih penghargaan Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha dari pemerintah setempat sebagai lembaga yang mengabdi pada kerja kreatif serta turut memajukan komunitas seni baik tradisi maupun modern.
Pada peringatan ke 30 Bentara Budaya tanggal 26 September tahun 2012, memberikan penghargaan BENTARA BUDAYA AWARD kepada 10 seniman yang memiliki totalitas berkarya dibidang seni tradisi. Kesepuluh penerima penghargaan itu adalah :
Lima tahun berikutnya di ulang tahun ke 35, Bentara Budaya memberikan penghargaan kepada 7 pengabdi Seni Budaya. Ketujuh penerima penghargaan tersebut adalah sebagai berikut:
Setelah berkiprah selama 39 tahun di dunia seni dan budaya, beberapa penghargaan yang diterima oleh Bentara Budaya
Bentara Budaya juga sering mengadakan kerjasama dengan lembaga kebudayaan asing untuk mempresentasikan kegiatan lintas budaya. Hingga kini, keempat Bentara Budaya menjadi salah satu rujukan aktifitas dan perkembangan seni budaya di negeri ini.
Rumah adat berukiran indah ini semula terletak di lingkungan kauman tidak jauh dari Menara Kudus. Tepatnya di Jalan Menara, sekitar 50 meter dari Mesjid Kudus. Rumah ini terlindung di balik tembok tinggi bagaikan benteng seperti lazimnya rumah kaum yang ada di sana.
Rumah ini diperkirakan dibangun oleh Haji Ridwan Noor, sang pemilik, dibangun pada permulaan abad ke-20 dan didiami selama tiga generasi oleh segenap ahli waris keluarga. Konon dalam membangun rumah ini para pengukirnya memerlukan waktu lima tahun untuk menyelesaikan seluruh ukiran yang memenuhi dinding serta tiang rumah. Tidak mengherankan apabila oleh masyarakat setempat rumah tersebut dianggap sebagai contoh terbaik di antara rumah adat yang ada di Kudus Kulon, di samping rumah adat milik Saleh Syakur, seorang tokoh masyarakat setempat.
Semula, bagian dalam rumah ini, di mana terdapat bagian yang disebut Gedongan, berlantai papan kayu dan berupa rumah panggung. Bagian Jogo Satru dan kedua Pawon berlantai ubin. Tentu saja yang menjadi masalah utama rumah ini adalah pemeliharaannya. Untuk membersihkannya saja, selain biaya yang tidak sedikit juga memerlukan tenaga ahli khusus dengan ramuan khusus pula; yakni adonan batang pisang kering dan air tembakau yang konon sangat ampuh melawan rayap dan bubuk kayu.
Perihal pemeliharaan serta kekhawatiran akan kelestarian benda pusaka yang semakin dimakan usia itulah yang menjadikan 46 keluarga pewaris yang diketuai oleh Furqon Noor, rela menghibahkannya kepada Kompas untuk memugarnya. Memang selama ini rumah adat inilah yang nampaknya menjadi ikatan keluarga lewat berbagai upacara adat, seperti pernikahan, khitanan, dan sebagainya yang selalu diselenggarakan di rumah ini.
Atap agak mengerucut, dinding hampir ditembusi aneka rona ukiran, lantai rumah berundak-undak yang merupakan ciri-ciri fisik bangunan ini, membuatnya kelihatan memang lain dari biasa. Pertanda ini tampak menonjol di Kudus, Jawa Tengah. Di satuan pemukiman penduduk di sana tampak sekali sejumlah bangunan khas ini. Rumah adat, kata orang setempat. Rumah Kudus, kata orang banyak.
Oleh beberapa ahli, arsitektur bangunan hunian ini dinilai sebagai gabungan arsitektur Cina, kolonial, Cina bergaya Eropa dan arsitektur pedagang pribumi kaya bergaya Eropa. Alhasil, wujud bangunan ini menjadi khas sekali. Bisa disimpulkan sementara, arsitektur tradisional Kudus ini nyaris mengungkapkan kesempurnaan hasil proses percampuran kebudayaan.
Tengoklah sebentar tabir sejarah kota Kudus, nama yang berasal dari kata Al-Quds, yaitu baitul mukadis, suatu tempat suci. Nama ini pemberian Sunan Kudus.
Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus, salah satu dari Sembilan Wali (Wali Songo), pemimpin agama Islam yang sangat berpengaruh, membangun kekuasaan berdasarkan wibawa rohani. Pemimpin rohani yang terlibat melawan kerajaan Majapahit tahun 1527 ini, kemudian hijrah dari Demak dan mendirikan kekuasaan serta pengaruhnya di Tajug, yang kemudian bernama Kudus.
Kudus sebagai kota di tengah kebudayaan pesisir utara Jawa (pesisir kulon: Cirebon, Tegal dan Pekalongan; pesisir wetan berpusat di Gresik), menjadi pusat daerah perkembangan Islam puritan. Di sana menurut beberapa peneliti, Islam berkembang dan hampir tidak dipengaruhi percampuran agama Budha, Hindu, dan kepercayaan setempat.
Kota ini terus berkembang, bahkan sejak abad 17 para pendatang sudah mengagumi keindahan mesjid besar Al-Aqsa atau Al-Manar dengan menara batu kuno berarsitektur candi pra-Islam. Kudus pun terkenal sebagai kota Islam. Kota ini kemudian terpilah menjadi Kudus Kulon dan Kudus Wetan, dengan pengelompokan desa-desanya berdasarkan etnis maupun profesi.
Salah satu kelompok masyarakat Kudus terkemuka, yakni kaum bangsawan keturunan Sunan Kudus kemudian berkembang dan berciri sendiri, berbeda dengan priyayi Jawa pada umumnya. Kelompok ini umumnya tidak kaya, bekerja sebagai mubaliq, pegawai negeri, perajin, dan pedagang. Generasi demi generasi akhirnya kelompok pekerja keras ini menjadi usahawan besar dan santri saleh. Pada periode puncak kemakmuran, golongan ini cenderung menjadi bangsawan kecil yang merasa berbeda dengan golongan bangsawan Jawa pada umumnya. Kelompok masyarakat ini lebih cenderung memprakarsai gerakan reformasi bernapaskan agama. Mereka merasa tak perlu meniru beberapa pola kebiasaan kaum bangsawan Jawa lainnya.
Salah satu wujud sikap ini terwujud dalam arsitektur rumah. Bangsawan Kudus tidak membangun atau meniru arsitektur bangsawan atau orang kaya di Jawa Tengah. Mereka tak pernah membangun pendopo, tidak ada kantor atau ruangan khusus untuk gamelan. Gaya hidup priyayi Yogya-Solo dan sekitarnya tidak menggoyahkan mereka. Sebaliknya, rumah kayu jati diberi kekayaan ornamen ukiran indah dan rumit serta memakan waktu dalam pembuatannya.
Rumah adat berukir inilah manifestasi golongan bangsawan atau orang kaya Kudus. Arsitekturnya terlihat dipengaruhi budaya arsitektur asli pesisir utara berupa atap pencu dan lantai panggung, berbaur dengan seni ukir bawaan migran Cina. Menurut beberapa pengamat tersebut nama seniman ukir Cina bernama Sun Ging An, serta tokoh mubaliq Cina bernama Kyai Tee Ling Sing, yang ikut memberi pengaruh.
Ornamen rumah Kudus dianggap berkarakter tersendiri. Terlihat perpaduan ragam hias ukiran pada permukaan kayu jati, misalnya ragam Eropa berupa mahkota, ragam bunga dari Persia dan Islam, serta bentuk naga dan bunga teratai dari Cina. Bentuk bangunan ini sendiri beratap tembikar, berwuwungan motif tanaman, memiliki teritisan depan dan belakang yang melebar. Konstruksi dasarnya bersistem rangka dengan topangan tiang Soko Guru dan Soko Apit.
Rumah pun dibangun mengarah selatan-utara, dengan pembagian ruangan Jogo Satru, Pawon dan Gedongan. Fungsinya selain sebagai tempat penghunian, juga di saat tertentu digunakan untuk tempat peribadatan. Ruang Jogo Satru sebagai ruang jama’at, dibagi menjadi dua oleh tabir pemisah bagi jama’at pria dan wanita. Sedangkan Gedongan dijadikan tempat imam khotib untuk memimpin ibadat.
Sebagai ruang terdepan, ruang Jogo Satru lazimnya digunakan sebagai ruangan tamu. Tak jarang di ruang ini ditempatkan perangkat kursi dan meja tamu. Malah di sini terdapat tiang besi tunggal, penyangga blandar besar. Tiang ini pun tak luput dari pengaruh gaya Eropa.
Memasuki Jogo Satru, tersedia pintu berdaun ganda besar dengan dinding gebyok jati berukir dan terdapat pigura-pigura polos. Pada gebyok depan ditambahkan dua pintu samping untuk masuk ke ruang Pawon kiri dan kanan. Masing-masing pintu ini dilengkapi dengan pintu sorong berjeruji. Pintu jeruji jati ini gunanya untuk aling-aling apabila daun pintu dibuka. Konon, dari balik sekat jeruji inilah gadis-gadis Kudus cantik dan agak dipingit, leluasa mengintip pemandangan luar.
Tiga sisi dinding Jogo Satru, semuanya gebyok berukir. Malah dinding gebyok pembatas ruang Gedongan, betul-betul diukir detil sekali. Pigura-pigura pun tidak polos lagi, beberapa stilisasi seni ukir Kudus dipertontonkan. Di sini terdapat pintu sentong menuju ruang Gedongan, serta dua pintu lainnya menuju ruang Pawon barat dan timur.
Pawon, yang dalam bahasa Jawa berarti dapur, di Kudus biasanya untuk ruang hunian dan pelangsung kegiatan rumah tangga. Sementara ruang Gedongan, harus dimasuki melalui undakan khusus berupa bangku sebagai penapaknya. Ruangan inilah ruang utama Rumah Kudus. Ruang ini dianggap sakral dan tidak digunakan sebagai ruangan umum penerima tamu kebanyakan. Gedongan itu sendiri, berupa ruangan bersekat gebyok dengan ukiran lebih rumit lagi seakan-akan di sinilah pusat keindahan ukiran rumah tradisional Kudus. Ruang ini, dahulu dijadikan kamar penyimpanan harta kekayaan, di samping sebagai pelaminan. Ruang sakral ini juga digunakan sebagai mihrab dalam beribadat.
"Pemindahan" bangunan dari tempat asalnya pada 1984 ini ke Jakarta bersamaan dengan saat muncul masalah tempat bagi penyimpanan koleksi seni Bentara Budaya Jakarta yang jumlahnya makin bertambah. Saat itu datang tawaran dari Kudus, ada rumah tradisional asli yang masih bagus dan utuh. Saat itu, Rumah Kudus yang masih bagus dan utuh tinggal beberapa saja. Banyak yang sudah hijrah ke luar negeri. Beberapa di antaranya ditanggalkan beberapa bagiannya untuk melengkapi rumah-rumah “puncak“ di Jakarta dan berbagai kota besar lain. Melihat kesempatan itu, maka “diboyonglah“ bangunan bersejarah itu ke kompleks Kompas-Gramedia, sekaligus dengan pembangunan gedung Bentara Budaya Jakarta, yang desainnya - oleh almarhum Romo Mangunwijaya - di“sesuaikan“ dengan gaya arsitektur Rumah Kudus itu.
Proses pemindahan dan pemugaran ini memang menyebabkan sedikit perubahan. Rumah Kudus yang aslinya hanya memiliki satu ruang Pawon. Di tempat yang baru, di mana dia merupakan bangunan pusat dari kompleks Bentara Budaya Jakarta, dirasakan adanya “kekurangsimetrisan“ bentuk. Karena itu “dibuatlah“ satu Pawon tambahan dari bahan-bahan “lama“, hingga bangunan menjadi simetris. Sehingga terciptalah 2 ruang pawon dengan ruang tengah sebgai bangunan utamanya.
Pemugaran bangunan bersejarah yang berdiri anggun di tengah kegiatan seni yang diselenggarakan Bentara Budaya, dengan demikian diharapkan bisa dinikmati keindahannya oleh masyarakat luas.
Di lingkungan penerbit pers, ada kebiasaan mengumpulkan benda-benda langka yang adakalanya juga mempunyai nilai antik. Suratkabar Kompas tidak terbebas dari ciri yang tampaknya menjadi pembawaan banyak penerbitan surat kabar dimana-mana. Ketika jumlah koleksi yang dirintis oleh almarhum PK Ojong semakin banyak, muncullah masalah tempat. Akan ditempatkan di mana benda-benda itu dan akan dimanfaatkan secara bagaimana? Sementara kami dan beberapa rekan memikirkan masalah tersebut, datang tawaran di Kudus, Jawa Tengah, ada rumah tradisional asli yang bagus, utuh, ditawarkan untuk dijual. Jumlah rumah kudus yang bagus, utuh, tinggal beberapa lagi. Beberapa yang lain hijrah ke luar negeri, diantaranya ke Singapura. Beberapa lagi ditanggalkan beberapa bagiannya untuk melengkapi rumah-rumah puncak di Jakarta dan berbagai kota besar lain. Jika demikian halnya, apa salahnya, rumah yang ditawarkan itu kami ambil dan kami pugar. Hanya lokasinya bukan di Kudus, tetapi di Jakarta. Dibangun lagi di daerah kompleks Kompas/Gamedia di Palmerah Selatan. Sekaligus digabungkan dengan rencana untuk membangun balai pertemuan dan balai menyimpan serta mempertontonkan koleksi benda-benda seni kami. Pemiliknya bukan perorangan, pemiliknya lembaga. Dengan demikian diharapkan lebih terjamin pemeliharaan dan kelestariannya. Bahkan Rumah Kudus yang dipugar, dipindahkan dan dijadikan satu dengan kompleks bangunan baru, menjadi bangunan sentral dari kompleks tersebut.
Barangkali, dalam posisinya kini, peninggalan Rumah Kudus itu akan lebih banyak dikunjungi orang, dinikmati, dikagumi dan dijadikan salah satu inspirator untuk mengembangkan seni ukir Indonesia. Sebab kecuali ruangan pameran dan diskusi, dalam kompleks balai Bentara Budaya itu juga secara teratur akan diselenggarakan sanggar oleh beberapa kelompok kesenian dan kerajinan.
Karena maksud kami baik, kami memperoleh bantuan dan persetujuan dari pemerintah daerah Jawa Tengah serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kepada instansi dan perorangan yang telah berkenan memberikan bantuan dan kerjasama, kami mengucapkan terima kasih. Usaha kita bersama ialah menjadikan Rumah Kudus ini salah satu tempat berolah seni, kreativitas dan kebudayaan. Mudah-mudahan diperkenankan oleh-Nya.
Presiden Komisaris Kompas Gramedia
Jakob Oetama