EKSPLORASI DIRI LINTAS RUANG
Di tengah era digitalisasi, ruang ekspresi menjadi semakin luas dan beragam. Pameran “Re-identify” yang merupakan rangkaian dari program Laboratorium NFT Bentara Budaya powered by Astra menjadi salah satu wahana multiplatform bagi seniman dan pekerja kreatif untuk berekspresi.
Jika sebelumnya pameran seni rupa lebih didominasi dengan pertunjukan karya secara offline, kini kreator bisa mengombinasikan pameran secara online. Bahkan, jenis-jenis karya yang disuguhkan pun kian bervariasi dan interaktif.
Di Bentara Budaya Jakarta, puluhan seniman dan pekerja kreatif mencoba memanfaatkan ruang pameran multiplatform ini untuk mengeksplorasi pencarian diri mereka masing-masing.
Seniman Kana Fuddy Prakoso dengan karya instalasinya berjudul “Piet Truck” mencoba memberdayakan identitas diri dengan membangun kepercayaan diri lewat sepeda, sebagai alat transportasi berkelanjutan.
“Akehno nggonmu nyukuri nikmat ben lali carane sambat” (Perbanyak bersyukur agar kamu lupa caranya mengeluh), demikian tulisan di salah satu sisi “Piet Truck”. Kana mengadaptasi citra dan tulisan di bak truk sebagai pengingat dan motivasi. Melalui “Piet Truck”, ia mengajak siapapun untuk menghargai aktivitas bersepeda yang rendah karbon dan ramah lingkungan.
Sementara itu, Erna Winarsih Wiyono dengan karyanya “Uno Identify 2023” mencoba menelusuri awal mula perjalanan hidup, mulai dari denyut pertama janin yang kemudian bertumbuh menjadi individu. Siapapun mengalami proses itu, baik aku, kamu, kita, atau mereka. Di sinilah, Erna mengajak siapapun untuk kembali ke titik mula kehidupan dan merefleksikan identitas.
Pencarian identitas bahkan bisa juga ditelusuri lewat motif-motif batik seperti yang dilakukan Ariful Amir dalam karyanya “Re-Code DNA Batik”. Melalui penggabungan karya fotografi, aplikasi digital dan Image AI Generator dalam memuat model wajah manusia, aktivis yang menekuni seni digital ini memaknai batik sebagai warisan budaya dunia dan motif batik yang memiliki keunikan serta makna filosofi yang dalam.
Yang menarik dari karya Amir adalah, reidentifikasi batik dalam karya seni digital ini bersumber dari empat lembar batik warisan nenek Amir yang digunakan dalam keseharian semasa hidupnya. Dalam berbagai motif batik itu, berkelindan akulturasi budaya Eropa, China, Arab, India, Jepang hingga Persia.
Lain lagi dengan pegrafis Pandu Lazuardy Patriari. Pandu mencoba memvisualkan momen saat seniman pop art Roy Liechtenstein (1923-1997) mengimajinasikan kembali lukisan Kamar Tidur Van Gogh di Arles (1888). Liechtenstein yang melukis kamar Van Gogh digambar kembali oleh Pandu dengan angle yang lebih luas dalam karya grafiknya berjudul “When Roy Liechtenstein Repainting Van Gogh 1888 The Bedroom Infographic”. Seni grafis mampu menghidupkan imajinasi momen legendaris tersebut.
Pameran ini membuka ruang kolaborasi antara seniman atau pekerja kreatif di antara mereka, juga dengan para mitra dari luar. Pelukis Muhammad Ari Aditya menggandeng Niko Yonathan Nitiwaluyo untuk menampilkan instalasi berjudul “Digital Hybrid Human”.
Instalasi mereka berupa manekin setengah badan dengan sayap hitam dan putih dan kepala berbentuk tanda tanya. Di sekujur tubuhnya yang retak-retak tertempel berbagai simbol aplikasi jejaring media sosial.
Itulah simbol dari manusia modern masa kini yang tak lepas dari digitalisasi. Era digital membawa berbagai dampak baik positif maupun negatif. Pada akhirnya, tergantung dari kita semua mau memilih sisi yang mana.
Karya-karya fotografi juga mewarnai pameran ini. Jurnalis Mohammad Hilmi Faiq menampilkan “Harmoni”, lembaran-lembaran foto yang dicetak di atas media acrylic. Dengan mengabadikan momen burung-burung yang beterbangan ketika erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, Faiq mengingatkan kembali tentang masyarakat kita yang hidup di sepanjang sabuk cincin api. Adaptasi ekosistem di sekitar gunung berapi pada akhirnya memunculkan sebuah harmoni.
Karya fotografi lainnya disuguhkan Kezia Gita Valentina dengan fotonya “Netizen’s Bad Girl”. Dengan sebuah foto hitam putih seorang perempuan yang bertato di 10 punggungnya, Kezia melontarkan pertanyaan: “Apa pikiran pertama yang muncul di kepalamu saat melihat seorang gadis bertato? Apakah kamu pernah berpikir tentang alasan dia membuat tato itu? Apakah kamu tahu dia siapa? Apakah kamu benar-benar mengenalnya?”
Dengan pertanyaan-pertanyaan itu, Kezia mencoba mendobrak stigma dangkal tentang tato di masyarakat. Di balik sebuah tato, terdapat latar belakang proses kehidupan dan kisah-kisah kemanusiaan bagaimana seorang individu bergulat dengan identitas dirinya.
Masih banyak lagi karya-karya reflektif yang muncul dalam pameran ini. Masingmasing seniman dan pekerja kreatif mencoba bereksplorasi dengan cara-cara baru untuk memaknai kembali identitas, Re-identify.
Eksplorasi diri mereka tidak lagi terbatas pada karya-karya teraba, tetapi mulai merambah ruang-ruang platform digital. Di sinilah, pameran program Laboratorium NFT Bentara Budaya powered by Astra menampilkan bekarbagai macam eksplorasi diri lintas ruang. Selamat menikmati…
Aloysius Budi Kurniawan
Kurator Bentara Budaya