Pak Koen:
Ilmuwan dan Dunia Seni
Seni dan sains sering dianggap sebagai dua dunia yang sama sekali terpisah. Bahkan ada yang berpendapat bahwa keduanya saling mengganggu. Masih saja terdengar soal dominasi otak kanan atau otak kiri, yang lebih menyerupai mitos daripada kenyataan ilmiah.
Maka orang bergunjing kalau ada ilmuwan yang menekuni dunia seni. Aktivitas melukis, seperti yang dilakukan oleh Prof Dr Koentjaraningrat, juga menjadi sasaran. Isi gunjingan berkisar pada soal yang itu-itu juga, yang menunjukkan kekaguman atau keraguan.
Di satu pihak sangat kagum atas bakat atau kelebihan seseorang yang menonjol pada satu bidang, sekaligus juga kemampuannya membagi waktu dan energi untuk bidang (-bidang) lain. Sedangkan mereka yang meragukan umumnya menganggap bahwa keterlibatan pada bidang seni tak lebih daripada “sekedar hobi”. Oleh karena itu tidaklah tepat kalau dipasangkan kepadanya ukuran-ukuran yang lazim dikenakan pada seniman secara sewajarnya.
Kita tentu tidak perlu terlibat di dalam pusaran perbualan semacam itu. Cukuplah dengan mengamati karya-karya lukisnya untuk mendapati kenyataan betapa trampil tangan yang mengerjakannya. Ketrampilan yang bisa disandingkan dengan para peseni yang dianggap professional. Tarikan garis-garisnya yang kuat namun terkontrol menunjukkan daya artistik yang tersembunyi di jari-jarinya. Hal itu terlihat terutama pada sketsa-sketsa hitam putih yang polos tanpa permainan warna.
Sejumlah besar lukisan potret yang dikerjakan dengan teknik akuarel sudah menunjukkan ketrampilan yang tinggi tersebut. Bukan hanya ketepatan proporsi dan kesan plastis kulit sosok manusia, tapi lebih lagi pada ekspresi wajah yang muncul, yang sangat penting pada jenis lukisan seperti ini. Sebagian besar karya potret itu menyajikan kalangan terdekat: istri, anak, cucu. Kesan haru dan kehangatan tersirat dari sana.
Lihat pula sederet lukisan bertema lain yang menampakkan jejak kepiawaian di dalam mengelola beloboran warna, yang khas di dalam seni lukis cat air. Sebut umpamanya sejumlah karyanya yang selain indah telah mampu menangkap karakter dan suasana yang setempat. Ada “Sakura Blossom on the Bank of Komo” (1991), atau “Kuil di Jepang”, dan “Kuda Putih”, untuk menyebut hanya beberapa judul. Dengan lingkungan alam dan budaya berbeda pencapaian serupa muncul pada beberapa lukisan seperti “Kerbau di Sawah” (1993), “Kolonial Belanda Berkuda dan Priayi Jawa” (1994), dan “Burung Dara dan Kurungan Ayam” (1990).
Semua tuntas di dalam berbagai perkara bentuk, anatomi, proporsi, pewarnaan, atau meniru kesan bahan yang berperan sentral di dalam penggayaan seni realis. Pada lukisan “Penari Jaipong” dan “Kuda Hitam” hal itu masih diimbuh dengan kesan gerak, yang sesungguhnya tidak mudah untuk diungkap.
Pak Koen –demikian ilmuwan pelukis ini biasa dipanggil-- juga berkarya dengan berbagai teknik lain. Hasilnya mengesankan. Lihat umpamanya “Menara Pura Batubulan”. Lukisan dengan tinta cina ini menonjolkan spontanitas garis-garis yang kuat dan terstruktur berirama yang sekaligus berfungsi membangun bentuk. Ketika bekerja dengan cat minyak banyak karya yang menonjolkan kedalaman seperti “Barong” dan “Buruh Pabrik Rokok”. Hal serupa tampil lewat teknik crayon semisal “Japanese Lady”.
Dengan kata lain, yang penting bukan peralatan atau tekniknya. Yang utama adalah peseninya. Di dalam sebuah lukisan potret diri Pak Koen seakan mendemonstrasikan kelihaiannya memainkan pensil. Ini sebuah teknik dan pendekatan yang selama puluhan tahun kurang populer (kecuali di dalam laku studi) dan baru belakangan muncul lagi oleh segelintir peseni muda.
Melihat berbagai contoh di muka, masuk akal kalau muncul pertanyaan usil: di mana bersembunyi wajah antropologi yang merupakan kesibukan sehari hari? Secara awam kita bisa menunjuk berbagai tema yang terkesan etnografis untuk menjawabnya. Boleh disebut antara lain lukisan bertajuk “Anak Baduy Dalam”, “Ibu – Anak Irian”, dan “Anak-anak Sasak”. Tentu cukup banyak karya-karya semacam ini, yang dibuat berdasar kesan tatapan langsung (maupun dengan merekamnya terlebih dulu lewat foto) di dalam berbagai kunjungan kerjanya selaku antropolog.
Tokoh besar antropologi ini sudah melukis sejak muda, dan terus melakukannya sampai memasuki usia pensiun resmi, kemudian semakin getol. Beberapa karyanya di usia lanjut, bertarih tahun 1990-an, menunjukkan gairah artistik yang terus menyala. Pada titik ini rasanya kurang tepat sebutan “ilmuwan yang melukis” mengingat hasil karyanya bukanlah sekedar lukisan. Lebih kena kalau kita sematkan padanya “ilmuwan yang juga pelukis” atau boleh juga “pelukis yang ilmuwan”.
Sesungguhnya Pak Koen tidak berdiri sendirian di dalam gerbong ilmuwan yang sekaligus pelukis. Namun tidak perlulah kita terlalu jauh menyebut Leonardo da Vinci (1452-1519), intelektual paripurna yang juga melakukan kerja seni. Apalagi individu yang “polymath” seperti itu akan semakin sulit ditemui berhubung arus besar masyarakat menghendaki para ahli yang super-super spesialis di bidang masing-masing. Singkirkan juga nama penemu telegraph Samuel Morse (1791-1872) dan beberapa ilmuwan besar sekaligus peseni lainnya. Cukuplah kita berkaca pada riwayat seni rupa di kampung sendiri.
Sejarah seni lukis cat air modern mestinya tidak mengabaikan kehadiran dan aktivitas para naturalis, ahli botani, dan ilmuwan lain yang berkelana masuk keluar hutan melukiskan kekayaan flora dan fauna Nusantara. Sebutlah misalnya Georg Eberhard Rumphius (1627-1702) yang membuat antara lain 350 karya ilustrasi indah (dan rinci) berbagai spesies tanaman. Sebut pula ahli botani asal Jerman Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) yang mewariskan karya-karya pensil, cat air, dan kemudian lithografi dalam tema serupa.
Bersama beberapa nama lain, keduanya boleh mewakili kelompok kecil saintis yang sekaligus peseni rupa yang handal. Mereka semua warga asing, dan bekerja di sini atas izin atau menjalankan kepentingan pihak-pihak penguasa pada zaman Hindia Belanda. Faktor ini barangkali ikut menyebabkan peran mereka tidak diperhitungkan di dalam perkembangan seni di negeri yang kelak bernama Indonesia.
Perlu diingat bahwa minat dan bakat bekerja seni juga subur di kalangan politisi bahkan kepala negara. Dunia mengenal contoh sejak Churchill sampai Hitler, sejak Pangeran (kini raja) Charles sampai George W. Bush. Indonesia boleh berbangga menempatkan Boeng Karno (BK) di dalam deretan ini. Kepekaan artistik telah menuntun terkumpulnya koleksi sejumlah besar karya rupa bermutu, namun sang presiden pertama RI itu sendiri juga menghasilkan beberapa lukisan yang apik.
Nama BK lebih lagi penting disebut di dalam kaitan ini karena satu perkara. BK berminat besar untuk menjadi pelukis seperti sering diceritakan di dalam pergaulan seni rupa. Pak Koen, berhasrat menjadi pelukis di masa pensiunnya. Menteri P&K Fuad Hassan mengungkap hal itu ketika meresmikan pameran tunggal lukisan Pak Koen di Bentara Budaya Jakarta 35 tahun yang lalu.
BK gagal mewujudkan impiannya berhubung terlanjur menjadi presiden. Pak Koen melanjutkan cita-cita dengan berpameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta (Kompas, 17.09.1987).
Tepat di ruang pamer Bentara Budaya yang sama, kini kita bisa menyaksikan sebagian dari karya seninya, berupa sekitar 60 lukisan. Hajatan seni bertajuk “Pameran Senirupa 100 Tahun Koentjaraningrat” tanggal 7-15 Juni 2023 ini juga menampilkan sejumlah buku yang diharap cukup mewakili kerja intelektual Pak Koen. Selain itu ada beberapa bilah keris, sejumlah foto-foto dokumentasi, dan berbagai benda memorablia lain. Niatnya adalah memberi gambaran utuh tentang seorang intelektual yang telah memberi jejak yang begitu dalam pada bidang antropologi, sekaligus pelukis yang berbakat, dan seorang manusia Jawa yang paripurna.
Harap diingat bahwa cendekiawan ini juga seorang penari. Di dalam kultur Jawa, seorang penari tidak hanya belajar gerak tari dan berbagai kaitannya dengan karakter sosok yang dibawakan, namun juga mesti mendalami filosofinya. Menari bukan sekedar perkara teknik mengolah tubuh, melainkan juga memahami dan mengalami isi atau nilai-nilai di balik yang kasat mata.
Lengkaplah hidup seorang Koentjaraningrat.
Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya