Sejarah bagaikan gambaran dalam kaca spion saat kita berkendara. Gambaran itu penting ditengok sesekali agar kita menyadari apa yang terjadi di belakang. Pengetahuan itu tak lantas membuat kita menjadi terpaku padanya, melainkan justru untuk memandu laju kendaraan menuju arah yang benar ke masa depan.
Sebagai kendaraan, bangsa Indonesia telah melaju lumayan jauh, setidaknya 78 tahun dihitung sejak Proklamasi 1945. Banyak hal terjadi selama perjalanan itu. Semua itu dapat kita anggap sebagai gambaran dalam kaca spion yang perlu ditengok sewaktu-waktu
Salah satu gambaran itu adalah Peristiwa Mei dan Reformasi 1998. Kedua momen ini berada dalam satu tarikan keserentakan sejarah yang turut mengubah perjalanan Republik Indonesia. Perubahan itu membentuk wajah Indonesia menjadi seperti sekarang. Bisa dibilang, apa yang berlangsung pada 2023 dan tahun-tahun mendatang, tak dapat dilepaskan dari momen penting 25 tahun silam.
Coba kita tengok lebih rinci ke belakang. Saat itu banyak peristiwa yang berlangsung secara serentak dan bersinggungan. Bermula dari tahun 1997, ketika krisis moneter menghantam Indonesia. Nilai rupiah anjlok, inflasi melejit, rakyat menjerit. Pemerintah tak mampu mengatasi keadaan, meski sudah meminta bantuan dari International Monetary Fund (IMF).
Krisis berkepanjangan membuat kehidupan masyarakat kian sulit. Harga-harga kebutuhan hidup tak terjangkau sebagian warga. Saat ekonomi masih buruk, Soeharto kembali dipilih menjadi presiden untuk kesekian kalinya oleh MPR pada Maret 1998. Kabinet baru bentukan Soeharto bersama Wakil Presiden BJ Habibie, ternyata tak juga mampu atasi keadaan.
Merebak ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintahan Orde Baru. Selama selama 32 tahun di bawah pemerintahan otoriter Soeharto, demokrasi tak berjalan baik. Jumlah partai politik dibatasi hanya tiga partai saja. Presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, bentukan pemerintah bersama tiga partai. Rakyat dijauhkan dari partisipasi politik praktis lewat Gerakan “floating mass” (massa mengambang).
Bangsa semakin rapuh lantaran marak praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kemakmuran hanya dinikmati segelintir elite penguasa bersama para kroninya. Sebagian besar rakyat hidup sederhana, sebagian lagi kekurangan. Kesenjangan antara kaum kaya dan miskin melebar.
Tak ada kebebasan berekspresi. Suara-suara kritis dibungkam. Pers ditekan lewat Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Media yang “mbalelo” (melawan), dibredel, dicabut izinnya. Media-media bertahan dengan main kucing-kucingan.
Sejumlah aktivis yang menentang pemerintah ditangkap atau diculik. Sebagian kemudian hilang begitu saja. Salah satunya, Widji Thukul, penyair dan aktivis demokrasi asal Solo, Jawa Tengah. Hingga kini, seniman itu tak diketahui rimbanya.
Kepercayaan publik pada pemerintah anjlok. Para mahasiswa turun ke jalan. Dalam aksi itu, empat mahasiswa tewas tertembak peluru yang diduga dari aparat keamanan. Tanpa ada pengusutan jelas atas pembunuhan itu, keadaan semakin “chaos”.
Gelombang demi gelombang demonstrasi semakin menggulung besar. Gedung MPR diduduki mahasiswa. Saat hampir bersamaan, meletup kerusuhan dan penjarahan di berbagai tempat. Sejumlah pusat perbelanjaan dibakar sehingga banyak korban tewas.
Terdesak oleh tekanan, pada 21 Mei 1998, Presiden Soeharto akhirnya menyatakan berhenti sebagai presiden. Wakil Presiden BJ Habibie dilantik mengantikannya. Orde Baru pun runtuh. Sejak itu, Indonesia memasuki era baru, era Reformasi.
Reformasi mendorong banyak perubahan mendasar dalam kehidupan bangsa Indonesia. Kini kita memasuki alam demokrasi multipartai. Jabatan publik dikontestasikan secara terbuka lewat pemilihan kepala daerah atau pemilihan umum. Walikota, bupati, gubernur, sampai presiden, semua dipilih secara langsung oleh rakyat dengan sistem “one man, one vote” (satu orang satu suara). Begitu pula dengan anggota legislator tingkat daerah dan pusat.
Masyarakat mendapatkan kebebasan berekspresi. Siapapun boleh tampil menyatakan pendapat, termasuk mengritik pemerintah, tanpa dihantui rasa takut ditangkap dan dibui. Terbangun “free public sphere” sebagai ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam berpendapat.
Pers memperoleh kemerdekaannya. Warga bebas menerbitkan media, tanpa harus mengantongi SIUPP. Tak ada lagi pembredelan pers. Terkait gerakan pemberantasan korupsi, dibentuk lembaga formal Bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Masyarakat juga leluasa mengembangkan usaha untuk menopang kehidupannya
Namun, masih juga banyak pekerjaan rumah yang perlu dibereskan. Sebut saja, antara lain, KKN zaman dulu sekarang bermetamorfosis menjadi oligarki di pusat dan daerah. Partai-partai politik tumbuh terlalu kuat menjadi entitas elite yang menentukan segalanya. Padahal, sebagian elite partai itu lebih memenuhi kepentingan pragmatis ketimbang memperjuangkan aspirasi rakyat.
Sempat menjadi primadona publik lantaran tindakan hukum terhadap koruptor tanpa tebang pilih, tetapi KPK kemudian melemah di bawah pengaruh kooptasi kepentingan elite. Di ruang publik, kebebasan berekspresi acap dimanfaatkan kelompok intoleran untuk memaksakan kehendak. Geliat ini rentan memicu gesekan sosial politik luas.
Revolusi teknologi informasi mengembangkan ruang baru, yaitu media sosial. Di sini, publik menemukan sarana terbuka untuk berbagi bermacam informasi yang serba seketika, massal, global, dan 24 jam. Namun, fasilitas ini menimbulkan dilema serius, terutama terkait pemanfaatannya dan dampaknya yang sulit dikendalikan.
Semua kelompok sekarang leluasa menggunakan medsos. Ada saja kelompok-kelompok yang sengaja menebarkan “hoax” (kabar bohong) atau “fake news” (berita palsu) demi meraih kepentingan tertentu. Terlebih kini medsos kian menjadi sarana kampanye yang efektif dalam memenangi kontestasi politik dari daerah hingga nasional. Munculah gejala “post truth”. Banyak orang melulu memihak pada kepentingan sosial-politiknya, tanpa peduli lagi soal benar-salah.
Kini, setelah 25 tahun usai Peristiwa Mei dan Reformasi 1998, coba kita ambil jeda sejenak. Kita manfaatkan momen penting ini untuk merenung sambil mempertanyakan kembali arah perjalanan bangsa. Apakah kita sudah melaju di atas rel perubahan yang benar? Jangan-jangan kita hanya jalan di tempat atau berputar-putar dengan problem yang serupa tanpa jalan keluar? Atau malah kita telah melenceng dari spirit reformasi?
Dalam konteks ini, Bentara Budaya menggelar pameran yang mengangkat tema 25 tahun Peristiwa Mei dan Reformasi 1998. Pameran berlangsung secara pararel di Jakarta dan Yogyakarta sekaligus.
Di Bentara Budaya Jakarta, dihelat Pameran “Indonesia Kini, 25 tahun Peristiwa Mei 98”, 19-29 Mei 2023. Kegiatan diikuti 47 peserta terpilih dalam program “open call drawing” serta 12 seniman undangan. Dipajang juga arsip koran dan sejumlah foto jepretan wartawan dan fotografer Harian Kompas yang merekam detik-detik peristiwa bersejarah 25 tahun silam.
Saat bersamaan, di Bentara Budaya Yogyakarta, juga dihelat pameran Pameran “Kita Berteman Sudah Lama”, 20- 25 Mei 2023. Sebanyak 100 seniman dan perupa berpartisipasi untuk mengenang 25 tahun Reformasi 1998. Kreasi para seniman itu menampilkan beragam bentuk ekspresi seni rupa yang unik.
Terima kasih kepada para seniman yang berpartisipasi dalam pameran di Bentara Jakarta dan Yogyakarta. Penghargaan kepada semua pihak yang turut serta menyokong kegiatan ini. Salut buat tim Bentara yang berjibaku mewujudkan program ini sehingga berjalan lancar.
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya
& Communication Management, Corpcomm, Kompas Gramedia