Apa yang umumnya terbersit dalam benak kita jika disebut tentang keris? Barangkali sebagian kita langsung teringat akan cerita-cerita klasik tentang pertarungan, pembunuhan, atau perang. Ingatan yang lazim lantaran keris memang lekat sebagai senjata pada masa lalu.
Sebagai senjata, keris ditandai dari desain batangnya yang berkelok bak liukan ular, pinggiran bilah yang pipih tajam, serta ujung yang meruncing. Dengan bentuk semacam itu, keris bisa menciderai lawan. Benda tajam ini pernah diandalkan untuk menikam lawan dalam pertarungan satu lawan satu, diam-diam, atau bergerombol.
Ingat saja legenda Ken Arok yang masyhur itu. Dia pesan keris pada Empu Gandring. Belum tuntas, keris itu keburu direbut dan memakan korban pertama, yaitu sang empu pembuatnya. Dengan senjata itu pula, Arok lantas menghabisi Tunggul Ametung, penguasa Tumapel. Arok berkuasa dan memperistri janda Ametung yang molek, Ken Dedes.
Naas, Arok kemudian juga tewas ditikam dengan keris buatan Empu Gandring itu oleh orang suruhan anak Tunggul Ametung, Anusapati. Tohjaya, anak Arok, ganti membunuh Anusapati dengan keris yang sama. Dalam rangkaian tragedi berdarah itu, keris Gandring memakan korban tujuh nyawa.
Legenda lain terkait Arya Penangsang. Adipati Jipang ini menuntut hak kekuasaan sepeninggal Raja Demak, Sultan Trenggono. Menantu Sultan, Joko Tingkir, mengutus anak angkatnya, Sutawijaya, untuk menghadapi Penangsang. Keduanya bertempur di tepian Bengawan Sore.
Penangsang terluka, bahkan ususnya terburai oleh serangan tombak Sutawijaya. Usus itu dia lilitkan pada keris Setan Kober. Saat hendak menusuk lawan, dia mencabut keris itu dengan cepat sehingga malah memotong ususnya sendiri. Satria ini pun gugur.
Ada juga keris yang semakin poluler setelah diserahkan Pemerintah Belanda kepada Pemerintah RI, yaitu Kiai Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro. Setelah 189 tahun berada di tangan Belanda, senjata itu akhirnya dikembalikan ke Museum Nasional Indonesia di Jakarta pada tahun 2020.
Berdasar catatan beberapa sumber (dari laporan Majalah "Historia"), sebenarnya masih agak misterius dari mana asal muasal keris tersebut. Namun, senjata itu memang menjadi salah satu pusaka Diponegoro, yang menemaninya bertempur melawan Belanda dalam Perang Jawa tahun 1825-1830.
Selain tiga kisah itu, masih banyak legenda lain terkait keris sebagai senjata dalam sejarah konflik, khususnya di Tanah Jawa. Sebagian kisah itu dapat ditelusuri dalam literatur Babad Tanah Jawa. Sebagian lain kemudian banyak dimbumbui berbagai bumbu mitos yang membuatnya lebih dramatis.
Mitos itu antara lain terkait keampuhan keris sebagai senjata yang memiliki kekuatan magis, melebihi bilah senjata biasa, katakanlah seperti pisau, golok, atau pedang. Beberapa keris dianggap memiliki kutukan yang mematikan. Sebagian lain membawa daya perlindungan yang ampuh. Semua itu telah menjadi foklor (cerita rakyat) yang hidup dan diwariskan turun-temurun dalam masyarakat.
Keris pada masa kini
Lalu bagaimana dengan kisah keris pada masa kini? Jika tidak sebagai senjata, lantas apa relevansi keris dengan kebutuhan zaman sekarang dalam alam yang damai? Jawaban atas dua pertanyaan ini merujuk beberapa sisi menarik dari keris yang masih dianggap penting sampai saat ini.
Selain sebagai senjata, keris sebenarnya adalah karya seni. Estetika bentuk (dhapur) nya terlihat dari keindahan anatomi keris. Jika pedang atau golok cenderung lurus, maka sebagian bilah (wilah) keris didesain berkelak-kelok (luk) luwes, mirip liukan ular yang melata. Ada banyak jenis luk dengan jumlah lekukan bervariasi.
Keris kian menawan dengan pamor atau aluralur cerah logam yang memperindah bilahnya. Dengan keterampilan tinggi, pamor dapat dirancang dengan bentuk-bentuk khusus.
Sebagian keris juga diberi ornamen (ricikan), semisal pada bagian pangkal dengan detail ukiran khusus. Ukiran bisa mengacu pada florafauna (tumbuhan-hewan) atau figur manusia, seperti tokoh pewayangan. Kerap juga muncul imbuhan kaligrafi (seni tulisan indah) dalam aksara Jawa, Arab, atau Latin.
Pegangan (gaman) keris juga memungkinkan dirancang agar tak hanya enak digenggam, tapi juga indah dipandang. Bentuknya beragam sehingga menambah keelokan senjata ini. Belum lagi sarung keris (warangka) yang juga terbuka pada berbagai kemungkinan material dan kemasan rupa. Digarap dengan serius, warangka ini juga mengimbuhkan daya tarik visual tersendiri.
Semua anasir visual keris (mencakup luk, bilah, ricikan, pegangan, warangka) mencerminkan kebudayaan masyarakat. Setiap desain keris menggambarkan lapisan sejarah kebudayaan dari masa-masa produksinya. Dalam setiap kebudayaan, terkandung nilai, perilaku/adat, dan material khas.
Bagian terpenting dari keris, tentu saja adalah "dongeng"-nya. Dongeng mencakup banyak hal. Bisa terkait usia keris yang tua, sejarah asal-usulnya yang nyantol dengan tokoh-tokoh penting, atau informasi bahwa keris tertentu pernah digunakan dalam momen-momen penting. Lebih dari itu, sebagian keris diyakini memiliki energi spiritual tertentu.
Pada keris-keris tua warisan masa lalu, dongeng itu bahkan kerap melampaui bentuknya. Meski barangkali bentuknya sederhana, satu keris yang dipercaya menyimpan narasi yang menarik akan bernilai sangat tinggi. Apalagi, jika narasi itu terbilang penting dan langka.
Dengan semua kombinasi itu, wajar saja jika keris menjadi benda koleksi yang diincar banyak orang sampai sekarang ini. Sebagai koleksi, siapa pun yang mendapatkan keris idaman akan merasakan kepuasaan, juga kehormatan. Koleksi itu dapat dijadikan sebagai bagian dari aksesori tampilan (ageman) atau digunakan dalam upacara-upacara sakral. Lebih dari itu, bagi mereka yang percaya akan energi lebih keris, koleksi itu juga menambah kepercayaan diri atau kemantapan hati.
Dengan semua kelebihan dan tradisi itu, sangatlah beralasan jika sejak tahun 2005 keris diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia yang berasal dari Indonesia. Pengakuan ini patut disyukuri dan ditindaklanjuti dengan kegiatan yang memupuk penghargaan kita pada karya seni itu. Tak terus memburu keris bersejarah, sebagian komunitas juga memproduksi keris-keris baru dengan bentuk yang memikat.
Pameran "Keris Indonesia for Peace and Humanity" di Bentara Budaya adalah bagian dari penghargaan atas keris sebagai warisan budaya yang masih aktual sampai kini. Berlangsung 22-27 November 2022, kegiatan ini tak hanya menyajikan keris-keris warisan masa lalu, tapi juga keris produksi masa kini.
Tema "Peace and Humanity" menunjukkan semangat komunitas pecinta keris untuk menempatkan keris dalam konteks kekinian. Tak lagi berfungsi sebagai senjata tajam untuk bertarung, kini keris menjadi karya seni yang memperkuat hubungan persahabatan antarmanusia. Bukan lagi untuk mengobarkan perang, keris sekarang justru untuk menyemai perdamaian.
Dalam catatan kami, Bentara Budaya pernah menggelar kegiatan serupa. Sebut saja, di antaranya, "Pameran Seni Tosan Aji" (21-28 Agustus 1996), "Pameran Keris Nusantara dan Lomba Membentuk Keris" (14-23 Juni 2006), "Pameran Keris Kamardikan Award" (12-16 Agustus 2008), “Pameran Keris dan Senjata Pusaka Bahari” (12- 16 Agustus 2015), dan " Pameran Keris Bugis dan Serumpun" (9-13 November 2011).
Terima kasih kepada seluruh panitia, komunitas, dan para kolektor keris yang bekerja keras untuk menggelar pameran "Keris Indonesia for Peace and Humanity" di Bentara Budaya. Penghargaan untuk empu-empu modern yang memproduksi keris kreasi baru. Salut untuk temanteman Bentara yang menyokong kegiatan ini.
Semoga energi dari keris yang disajikan dalam kegiatan ini benar-benar dapat memperkuat persahabatan dan perdamaian di Indonesia dan dunia.
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya &
Communication Management Kompas Gramedia