“Saya senang menjadi orang yang terbuka, bebas. Saya bisa berkarya semaunya,” kata Daniel Kho (66 tahun), seorang perupa senior Indonesia, pada suatu sore awal Januari 2023. Sore itu, kami ngobrol via “video call” dalam layanan aplikasi WhatsApp. Saya di Palmerah, Jakarta. Daniel Kho di Ubud, Bali. Perbincangan mengalir hangat. Seniman ini asyik bercerita tentang proses kreatifnya sambil mengkritisi berbagai fenomena sehari-hari, yang kerap menggelikan. Dari semua ceritanya, bisa dibilang semangat keterbukaan dan kebebasan menjadi spirit penting dalam proses kreatifnya. Tak hanya ditunjukkan dalam karya-karyanya, tetapi juga dalam perjalanan hidupnya yang dinamis. Kehidupan dan kesenian bergerak dalam satu tarikan nafas. Kebebasan terlihat jelas dalam pergeseran pilihan-pilihan hidup Daniel Kho yang kerap berbelok mengagetkan. Daniel lahir di Solo, Jawa Tengah, tahun 1956 dan kemudian tumbuh dan dibesarkan di Klaten. Dia menyelami bermacam ekspresi seni budaya Jawa sambil belajar membatik, mengukir, dan melukis. Gairah menekuni jalan kesenian mendorongnya untuk menjelajahi dunia yang lebih luas. Tahun 1977, saat berusia 21 tahun, Daniel bertekad untuk belajar seni ke Prancis. Negara itu menjadi salah satu kiblat seni dunia, bahkan hingga sekarang. Tidak menggunakan penerbangan langsung, Daniel transit di Frankfurt, Jerman. Saat itu, kunjungan antarnegara masih bebas visa selama tiga bulan. Di Frankfurt, dia berjumpa dan berkenalan de– ngan seseorang. Setelah ngobrol, sahabat baru itu menawari Daniel untuk tinggal di Stuttgart, ibu kota negara bagian Baden-Württemberg di selatan Jerman. Tertarik dengan ajakan itu, Daniel pun tinggal di Stuttgart, kota industri yang menjadi salah satu pabrik pabrik Mercedes Benz.
Kehidupan baru di kota Eropa menyuntikkan gairah segar. Selama di Jerman, Daniel pernah mengenyam pendidikan seni dan desain di tiga kampus yang berbeda. Berbekal ijazah dari tiga kampus itu, dia juga sempat bekerja sebagai desainer selama bertahun-tahun dan hidup dengan baik. Namun, Daniel kemudian memutuskan untuk menjadi seniman yang bebas. Kebebasan itu juga diungkapkan dengan tidak mencatat pendidikan formalnya dalam seni dan desain di Jerman pada CV (curriculum vitae)-nya. “Saya tidak pernah menuliskan catatan pendidikan formal seni. Saya selalu tulis belajar secara otodidak,” katanya. Jika dihitung sejak tahun 1977, maka sudah 45 tahun lebih, Daniel tinggal di Jerman. Dia betah hidup di negara modern itu. Sejak tahun 2012, dia memilih mukim di tiga tempat sekaligus: di Bali (Indonesia), Barcelona (Spanyol), dan Cologne atau Köln/Koeln (Jerman). Dia sewa studio di Ubud. Di Barcelona, ada kerja sama dengan galeri seni yang memberikan support. Kalau di Köln, dia punya studio sendiri. Hingga kini, atau 10 tahun lebih, tiga tempat itu menjadi rumah kreatif yang dia sambangi bolak-balik secara bergatian. Kenapa mau repotrepot pindah-pindah di tiga tempat yang berbeda dan berjauhan? Daniel bilang, “Saya ingin menjadi manusia dengan adonan pikiran yang lebih terbuka. Di Barcelona, saya bicara dengan bahasa Spanyol. Di Jerman, saya seperti orang Jerman. Di Bali, saya berpikir sebagai orang Indonesia.” Pilihan yang menarik. Perjalanan hidup, juga “ground” (tempat berpijak) di tiga kota beda negara itu, membuat Daniel menemukan kemerdekaan untuk terus mengolah bermacam inspirasi untuk dijadikan karya seni. Sebagian karya itu mencerminkan pengembaraannya keluar-masuk di antara bermacam ekspresi kebudayaan dunia. Sintesa dari peradaban dunia kerap memunculkan ekspresi yang unik.
Lukisan, patung, atau instalasi karya Daniel memendarkan semangat pengembaraan yang segar. Seniman ini kerap menampilkan makhluk-makhluk alien dari luar angkasa yang berkomunikasi dan bergerak dengan cara berbeda dari lazimnya manusia. Ketika menggerakkan sesuatu, misalnya, makhluk-makhluk itu tak membutuhkan tangan atau kaki, melainkan dengan pikirannya. Kadang, Daniel juga menampilkan pemanda– ngan (landscape) yang melampaui tampilan sehari-hari. Satu kali, pemandangan itu mirip alam dengan kawasan Madagaskar, pesisir timur Afrika. Kali lain, dia gambar penampakan Andromeda, galaksi spiral di luar galaksi Bima Sakti. Semuanya mencerminkan penjelajahan pikiran dan visual. Karya-karya semacam itu mengingatkan bahwa kita hidup di dunia ini tak sendirian. Ada tata surya lain di luar galaksi yang kita huni. Di sana juga ada kehidupan, yang sebagian besar justru masih miterius dan perlu dieksplorasi lebih jauh. Sekilas, karya-karya Daniel bersemangat menjangkau masa depan. Membuka kemungkinan kehidupan baru. Namun, ternyata inspirasi dari penjelajahan yang futuristik itu justru kerap didorong oleh pergulatannya dengan tradisi di Jawa, termasuk animisme. Animisme merupakan keyakinan bahwa setiap benda di Bumi mempunyai roh atau jiwa yang patut dihargai. Beberapa tahun silam, saat pameran di satu galeri seni di Jerman, Daniel menampilkan gambar pohon kehidupan. Karya itu menarik minat public dan media. Lewat karya itu, dia berusaha menggambarkan bagaimana peran pohon dalam menopang kehidupan. Pohon menyerap karbondioksida (CO2) sekaligus memproduksi oksigen (O2) yang penting bagi kelangsungan hidup manusia. Gagasan macam itu mengingatkan kita pada gambaran pohon kehidupan (hayat) dalam kisah-kisah perwayangan. Visualisasi pohon itu menyatu dalam segitiga gunungan. Tampaknya Daniel mencoba mempertemukan rasionalitas modern dengan tradisi etnik Jawa. “Karya saya berlandasan pikiran Jawa yang kemudian dimodern-kan. Semacam etnik pop art,” katanya. Semangat itu juga tercermin dalam pameran “OwALAH” di Bentara Budaya Jakarta, 19-26 Januari 2023.
Kata “OwALAH” ditulis dengan huruf kapital, kecuali “W“ dalam huruf kecil. Diksi itu ungkapan kaget yang lazim diekspresikan, terutama dalam komunikasi bahasa Jawa, saat mendengar sesuatu yang mengejutkan. Tema ini merujuk pada banyak kejutan yang kerap kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Kejutan terasa sebagai sesuatu yang mengagetkan karena memang peristiwa itu baru. Namun, bisa jadi kejutan itu juga terasa karena kita terlambat memahami perubahan itu. Seiring berjalan waktu, kita kemudian memahami dinamika itu secara lebih utuh. Lantas kita memakluminya sebagai hal yang lumrah. Saat itu, kita juga lazim mengungkapkan, “owalah”, ternyata begitu saja. Ambil contoh, kita sekarang kerap menerima kampanye hidup modern yang lebih alami, konsumsi makanan organik dan dimasak secara alami, hindari “junkfood”, menjaga lingkungan. Kampanye itu seperti sesuatu yang baru karena didesakkan oleh negara-negara Barat. Tapi, sejatinya gaya hidup selaras dengan alam itu sudah menjadi bagian dari keseharian para leluhur kita di Nusantara, “Owalah”, ternyata kita malah lebih dulu punya tradisi menerapkan gaya hidup sehat. Daniel lantas bercerita. Belum lama ini, dia mampir ke sebuah warung kopi di pinggir jalan di Bali. Seorang bule (turis asing) masuk ke warung. Tak berapa lama, bule itu mulai kasih ceramah tentang pentingnya hidup sehat, jangan konsumsi makanan berminyak dan sebaiknya. Mendengar semua itu, Daniel tenang-tenang saja. Apa yang disampaikan bule itu sudah lama dipraktikkan dalam kehidupan tradisional masyarakat Nusantara. Nenek moyang kita terbiasa minum empon-empon dari bahan-bahan alami yang menyehatkan badan. Contoh lain. Dulu, kita punya tradisi buang air besar dengan jongkok sehingga desain WC pun dibuat jongkok. Kemudian kita meniru gaya hidup Barat dengan WC duduk. Belakangan semakin disadari, ternyata buang air besar dengan jongkok lebih sehat. Sebagian orang Barat pun mulai dorong kesadaran jongkok. Kalaulah tidak di kamar mandi, jongkok menjadi gerakan senam. “Owalah”, ternyata tradisi lama kita di kamar mandi dianggap lebih sehat. Ungkapan “owalah” akhirnya juga bisa dianggap sebagai ajakan untuk semakin menerima kejutan-kejutan dari dalam atau luar lingkungan itu secara lebih santai. Jangan mudah kaget. Jangan-jangan sesuatu yang dianggap baru itu malah merupakan sejarah kita sendiri yang terlupakan. Selamat untuk Daniel Kho yang berpameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta. Penghargaan untuk Asmudjo Jono Irianto dari Fakultas Desain dan Seni Rupa (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB) sebagai kurator. Terima kasih untuk semua pihak, termasuk tim Bentara, yang terlibat menyiapkan segala sesuatu sehingga pergelaran ini berlangsung baik.
Palmerah, 16 Januari 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management CorpCom Kompas Gramedia