40 TAHUN BENTARA BUDAYA
Senin Kliwon, 26 September 2022, Bentara Budaya merayakan ulang tahunnya yang ke-40. 40 tahun bukanlah waktu yang pendek bagi sebuah lembaga swasta yang berjuang untuk mengabdi pada seni dan budaya. Maklum dalam sejarah bangsa, seni dan budaya adalah wilayah pinggiran, dan kehidupan yang tak menarik untuk dijamah oleh masyarakat maupun negara dan pemerintah.
Maka kalau Bentara Budaya sebagai lembaga swasta berani dan bisa hidup dalam pengabdiannya bagi seni dan budaya selama 40 tahun lamanya, kiranya itu sungguh patut disyukuri sebagai berkah dan anugerah yang luar biasa. Apalagi Bentara Budaya memilih prioritas pengabdian yang khas, yakni “seni dan budaya pinggiran” yang pada umumnya kurang diperhatikan warga masyarakat maupun pemerintah.
Seperti diketahui, Bentara Budaya adalah lembaga budaya yang berada di bawah Harian Kompas. Seakan bukan sebuah kebetulan, 40 tahun lalu Bentara Budaya didirikan persis sehari sebelum ulang tahun Jakob Oetama, pendiri Harian Kompas. Jakob Oetama adalah seorang jurnalis yang amat memperhatikan dan mencintai seni dan kebudayaan. Sebagai wujud dari cinta dan keprihatinannya, ia mendirikan Bentara Budaya. Dengan demikian, Harian Kompas tidak hanya mengungkapkan perjuangan budayanya lewat pemberitaan-pemberitaan jurnalistik, tapi juga mewujudkannya secara nyata dalam kehidupan sebuah lembaga seni dan kebudayaan, bernama Bentara Budaya.
Salah satu visi utama Harian Kompas adalah menghidupkan humaniora dalam konteks sosialnya yang nyata, yakni perjuangan keadilan. Artinya, Harian Kompas ingin menegakkan kemanusiaan tanpa melalaikan kewajiban sosialnya, yakni pembangunan masyarakat yang adil dan sejahatera, merata ke siapa saja, lebih-lebih mereka yang papa. Maka visi itu diperkatakan dalam semboyannya “membela yang papa mengingatkan yang mapan dan kaya.” Tak mungkinlah menegakkan kemanusiaan dalam konteks keadilan, tanpa menghidupi seni dan kebudayaan. Di sinilah letak pentingnya Bentara Budaya bagi Harian Kompas.
Bentara Budaya memang terus berusaha menghidupi visi itu. Maka sejak pendiriannya, dan selama 40 tahun hidupnya, Bentara Budaya memfokuskan gerak dan perjuanganya pada wilayah seni dan budaya, yang terpinggirkan, tak terpandang, dan tak mendapat kesempatan untuk tampil menunjukkan dirinya.
Bentara Budaya mencoba setia membela, memperjuangkan dan menampilkan seni dan budaya pinggiran itu, lewat pameran seni mereka, atau penampilan mereka di panggung.
Agar seni pinggiran itu makin menarik dan layak tampil, Bentara Budaya selalu mengajak seniman-seniman modern untuk ikut mengemasnya, menginterpretasikan dan menggarapnya dalam karya-karya mereka. Umumnya, seni-seni pinggiran itu sangat dekat dengan tradisi dan kebudayaan rakyat. Upaya mengajak seniman modern untuk terlibat dalam menggulati seni pinggiran itu sekaligus juga berarti mendekatkan kembali seniman modern pada tradisi. Simbiose seni tradisi dan seni modern ternyata bisa membuahkan kreativitas seni yang tak terduga. Dan kreativitas itulah yang telah diabadikan Bentara Budaya selama 40 tahun ini.
Sebagai lembaga swasta, Bentara Budaya sadar akan segala keterbatasannya. Maka untuk mempertahankan eksistensi dan visinya, Bentara Budaya membuka diri selebar-lebarnya bagi seniman siapa pun dan kelompok seni mana pun. Adalah fakta, eksistensi Bentara Budaya selama ini tergantung pada demikian banyak seniman. Tanpa partisipasi, bantuan dan pertolongan mereka, tak mungkin Bentara Budaya bisa berada sampai ulang tahunnya ke-40. Syukurlah, para seniman juga ikut merasa memiliki Bentara Budaya.
Karena partisipasi tersebut, Bentara Budaya, khususnya di Yogyakarta, bukan hanya menjadi ruang publik, tapi juga milik publik. Ini yang membuat para seniman “entengan” dan rela membantu apa saja, bila Bentara Budaya mengadakan acara[1]acara. Bantuan mereka membuat banyak acara seni bisa terlaksana, kendati hanya sedikit dan sangat kuranglah biaya yang tersedia. Bersama-sama dengan para seniman dan pencinta seni, Bentara Budaya telah membuktikan, bahwa seni tak boleh macet dan berhenti hanya karena kurangnya biaya. Berkat dari tekad ini muncullah di Bentara Budaya seni-seni organik, seni-seni spontan, bukan seni-seni yang terprogram, seni-seni orisinal, yang betapa pun sederhana, bisa mendatangkan kegembiraan dan penghiburan, karena tumbuh dari kebersamaan dan kerjasama banyak orang dan pihak.
Dua tahun menjelang ulang tahunnya yang ke-40, seperti lembaga kebudayaan lainnya, Bentara Budaya juga mengalami masa sulit karena pandemi Covid-19. Namun dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan, Bentara Budaya tetap bisa menyelenggarakan beberapa acara kesenian. Ini disebabkan karena Bentara Budaya memberanikan diri untuk menampung semangat para seniman, yang tidak ingin menyerah dalam menghidupi seninya kendati pandemi. Syukurlah, acara-acara itu dapat berjalan dengan selamat, karena para seniman dan pengunjung mau menaati protokol dengan ketat. Seni tidak boleh berhenti, kendati kesulitan apa pun. Itulah pelajaran seni, yang dialami dan dipetik Bentara Budaya dari masanya yang sulit karena pandemi. Dan pelajaran itu boleh terjadi karena dorongan dan kerinduan para seniman, yang selama ini selalu mendukung Bentara Budaya.
Begitulah, hampir sepanjang hidupnya, Bentara Budaya telah ajur-ajer dengan hidup, harapan dan perjuangan para seniman. Maka “Ajur -Ajer” ini dipilih sebagai tema dan judul pameran seni rupa menjelang ulang tahunnya yang ke 40. Pameran ini dimaksudkan sebagai semacam “rekonstruksi” eksistensi Bentara Budaya, sampai keberadaannya bisa sampai seperti sekarang ini. Untuk itu Bentara Budaya mengundang teman-teman perupa yang pernah ikut meramaikan acara-acara di Bentara Budaya untuk memamerkan karyanya. Harapannya, pameran tersebut bisa menjadi kenangan kembali akan keterlibatan dan kerjasama para seniman bersama Bentara Budaya selama ini.
Setiap 5 tahun sekali, Bentara Budaya membagikan sekadar penghargaan bagi beberapa seniman, yang hidup dan perjuangan seninya secara istimewa dianggap mewakili dan mengungkapkan keprihatinan dan perjuangan Bentara Budaya. Sebagai rasa syukur atas ulang tahunnya yang ke 40, kali ini Bentara Budaya membagikan penghargaan bagi Serang Dakko, maestro gendang, Sahilin, maestro Seni Batanghari Sembilan, Ong Hari Wahyu, pegiat seni organik, dan Warsad Darya, pelestari wayang golek Cepak Indramayu. Hidup dan perjuangan para seniman ini dapat dibaca dalam kenangan yang ditulis para kurator Bentara Budaya dalam katalog ini.
Sindhunata
Kurator Bentara Budaya
*tulisan ini dimuat dalam buku Katalog "Penghargaan Bentara Budaya 2022"