SEDANG DI RUMAH
Nujudibumi, judul pameran ini merupakan pemampatan kata-kata berbahasa Sunda, nuju di bumi yang artinya sedang di rumah. Judul ini muncul dari situasi dua tahun terakhir, ketika pandemi sedang menaungi dunia, termasuk di negeri, dan tidak ketinggalan Bogor. Sejumlah perupa perempuan bertahan dengan terus berkarya di bumi, alias di rumah. Dan kini, seturut semakin melandainya situasi, sebanyak 21 orang yang menyebut diri sebagai Perupa Perempuan Bogor N Friends mulai keluar dari rumah, dan menggelar pameran Nujudibumi ini.
Apa yang dialami para perupa hampir sama musikal “That’s What Friends Are For” yang digelar di Jakarta April lalu, dengan cerita berlatar pandemi. Ada suasana yang mengancam, akan tetapi ada kawan penguat harapan. Ada orang kehilangan pekerjaan, akan tetapi tapi ada suka cita yang dibangun dari pertemanan. Realitas panggung, dan apa yang dihadapi kelompok PPB itu kurang lebih sama: nuju di bumi. Mereka sama-sama “bersembunyi” di rumah saling memberi harapan untuk terus bergiat diri , termasuk melukis agar kehidupan tidak mandek di tengah situasi pandemi.
Realitas yang begitu menekan, dan kreativtas seni rupa mengingatkan kita pada perupa tersohor Meksiko Frida Kahlo. Dia menghadapi realitas hidup yang jika disebut dalam satu kata bisa berarti derita. Kahlo menghadapnya dengan melukis.
“Saya melukis realitas (hidup) saya sendiri. Satu hal yang ketahui adalah bahwa saya melukis karena saya memerlukannya. Saya melukis apa saja yang melintas di kepala, tanpa pertimbangan apa pun,” kata Frida Kahlo. Satu hal yang diyakini Kahlo adalah dengan bekerja, ia akan melupakan penderitaan hidup. Kesenian, termasuk seni rupa memang diyakini menjadi peneduh kehidupan. Penulis Junot Diaz mengatakan kultur memicu kita untuk selalu terburu-buru, tergesa-gesa, bergegas-gegas. Dalam situasi seperti itu, seni menjadikan kita untuk untuk lebih tenang. Dia mengingatkan kita untuk “Listen to the art,” mendengarkan, menikmati seni.
**
Pameran ini menampilkan wajah yang beragam, baik dalam tema, cara bertutur, maupun media yang digunakan. Sebagian besar merupakan lukisan atau citra dua dimensi. Sebutlah seperti karya cetak grafis Rotua Magdalena. Ia menggunakan etsa sekaligus aquatint untuk menangkap jejak garis maupun gradasi ruang, dan kemudian malah mengimbuhinya dengan sapuan langsung cat air. Ia memilih gagasan besar seperti “habitat kehidupan” untuk sasaran ekspresi artistiknya.
Ika W Burhan berada pada kutub yang lain, domestifikasi problem kehidupan yang tengah melanda seperti pandemi covid. Ia misalnya menggambari papan logam berbentuk wajan penggorengan dengan akrilik berupa gambar telor ceplok. Judulnya, “We Are Survive Today”. Karya-karyanya yang lain jelas menunjukkan posisinya: para perempuan berdaster, suasana arisan emak-emak, dan seterusnya.
Beberapa merambah kawasan trimatra, seperti “Lady Worker in the Next Story” yang terbuat dari polyresin karya Yana W Sucipto. Tampak sebuah catut yang kedua kakinya membentuk citra kaki perempuan bersepatu bot. Memberi kesan gagasan yang provokatif. Motif pada karya Duki Noermala terkesan menggelitik: ia menggambar kecoa di atas batu.
Namun sebagian besar isi pameran ini tidak bersoal pada perkara yang musykil atau sering jadi perbualan. Banyak karya yang menangkap pemandangan yang kasat mata seperti misalnya “Sungai Ciliwung” ciptaan Tannie van Rijn. Sebut pula lukisan Dara Sinta atau Diana Dee Mohy yang menggarap aspek hias pada motif bunga atau dedaunan. Teddy Arte menggambar di atas lembar daun, seperti “Lenggang”, yang tentu menuntutnya untuk puas dengan bidang gambar seluas 29 cm X 41 cm. Cukup banyak corak, teknik, dan kecenderungan perupaaan yang bisa dinikmati.
Pameran Perupa Perempuan Bogor N’ Friends ini akan digelar di Bentara Budaya Jakarta mulai tanggal 13 – 22 Mei 2022.
Frans Sartono
Kurator Bentara Budaya