Di usia ke-70 tahun, wartawan senior Sindhunata telah menghasilkan begitu banyak karya literasi, mulai dari tulisan-tulisan jurnalistik, ilmiah, nonfiksi, sastra, hingga spiritualitas. Perjumpaan dengan para pekerja seks komersial dan tokoh sastra Pramoedya Ananta Toer menjadi sepenggal pergulatan jurnalistiknya bersama orang-orang sederhana, miskin, dan terpinggirkan.
Wartawan kelahiran Kota Batu, Malang, Jawa Timur, 12 Mei 1952, ini mulai menapaki jejak jurnalistik sejak 1974 di majalah Teruna, Balai Pustaka, Jakarta. Di majalah itu, Sindhunata bertugas sebagai reporter yang meliput aktivitas SMA-SMA negeri di Jakarta.
Sejak masih mahasiswa, Sindhunata mulai mencoba-coba menulis artikel dan mengirimkannya ke media nasional harian Kompas. Namun, siapa kira, ketika menyerahkan artikel, pihak redaksi menolak tulisannya.
Ia kemudian memberanikan diri bertemu dengan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas, Pollycarpus Swantoro, untuk berkonsultasi. ”Pikiran kamu terlalu teoretis. Kalau kamu mau, ikut saya saja kerja (di Kompas),” ujar Swantoro.
Ia pun menerima tawaran itu. Mulai tahun 1977, Sindhunata benar-benar belajar menjadi seorang wartawan profesional.
Pada tahun kedua, jurnalis muda itu mendapat tugas peliputan yang sungguh menantang, yaitu meliput suasana kompleks lokalisasi pekerja seks komersial (PSK) di Kramat Tunggak, Tanjung Priok, Jakarta Utara, selama dua minggu, bersama koleganya, Jimmy S Harianto.
Sebagai wartawan sekaligus calon pastor Jesuit, Sindhunata tidak mengecualikan ketika ditugaskan ke mana pun juga, tentu dengan segala risikonya. Di situlah, ia justru belajar banyak bagaimana menyelami kehidupan sehari-hari PSK secara detail.
Pada April 1979 kompleks Kramat Tunggak dihuni 1.803 PSK dan 231 mucikari yang terbagi dalam delapan RT. Ficer serial hari pertama terbit di harian Kompas, Jumat 25 Mei 1979, dengan judul ”Kisah si Mungil dari Indramayu”.
Sindhunata banyak belajar nilai-nilai ketika berjumpa dengan PSK di Kramat Tunggak. Salah seorang PSK bercerita kepada orangtuanya kalau bekerja di toko demi anaknya. Kalau pulang, dia berdandan biasa seperti orang pada umumnya.
”Ini sangat mengesan bagi saya, karena kita yang kadang mencita-citakan kesucian, tapi mereka ini justru menjual, bahkan mengorbankan ’kesuciannya’ demi orangtua dan anak-anaknya. Seorang pastor pun tidak bisa menandinginya, menjual apa yang paling dia miliki demi orangtua dan di sanalah penderitaannya,” ungkap Sindhunata saat peringatan ulang tahunnya ke-70 bertajuk ”70 tahun Sindhunata: Berkarya untuk Literasi Negeri”, Minggu (15/5/2022) malam, di Kompleks Omah Petroek, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada era Orde Baru, di tengah tugas peliputan bersama media dalam negeri dan asing ke Pulau Buru, Maluku, Sindhunata nekat memisahkan diri dari rombongan. Pada malam hari, diam-diam ia menyelundup mencari kamp pengasingan penulis legendaris Pramoedya Ananta Toer.
Insting jurnalistiknya membuahkan hasil. Tempat tinggal Pram berhasil ditemukannya.
”Saya dititipi oleh istri dan anak Pram rokok. Yang mengharukan, Pak Pram bertanya, apakah ibu (istri Pram) masih mencintai saya? Dan saya jawab…pasti, saya jamin ibu masih mencintai Pak Pram. Dia kelihatan lega sekali dan kisah itu dia tulis di novel ’Nyanyi Sunyi Seorang Bisu: Catatan-catatan dari Pulau Buru’,” tutur Sindhunata.
Yang paling menantang Sindhunata pada waktu itu ialah saat Pram memintanya membawa sebuah dokumen keluar dari Pulau Buru. ”Saya mempunyai dokumen, apakah kamu berani membawanya keluar?,” pinta Pram kepadanya.
Pram hanya butuh dua jawaban, ya atau tidak. Tanpa berpikir panjang, Sindhunata mengiyakannya.
Dengan penuh ketakutan dan hati berdebar-debar, Sindhunata menyelipkan dokumen itu di dalam kopernya. Karena sangat takut dan tak berani membawanya terlalu lama, dokumen itu kemudian diserahkan kepada seorang wartawan asing di Jakarta.
Berdasarkan dokumen itulah, sesuai permintaan Pram, wartawan asing itu menulis laporan ke Lembaga Hak Asasi Internasional. Tak lama kemudian, ia diusir dari Indonesia dan pulang ke negaranya karena laporan tersebut.
”Saya paling tidak sudah bisa menyelamatkan apa yang ditulis oleh Pram. Itu pengalaman mengesan(kan) (bagi) saya sebagai wartawan,” kata Sindhunata.
Isu-isu kemanusiaan
Pemimpin Redaksi Harian Kompas Sutta Dharmasaputra mengatakan, Sindhunata telah meletakkan fondasi sangat kuat kepada harian Kompas untuk melakukan kerja-kerja jurnalistik dan menjadi panutan dalam penulisan isu-isu kemanusiaan. ”Romo Sindhunata bisa memadukan antara inteligensi, hati, dan kaki, ini yang tidak ada tandingannya sekarang,” ujarnya.
Sutta meyakini, apabila wartawan bekerja dengan gaya Sindhunata, media tidak akan terdisrupsi. Sebagai contoh, sekarang kamera mungkin bisa merekam setiap detik momen-momen. Namun, itu tidak bisa mengalahkan bagaimana Sindhunata mendeskripsikan pertandingan karena ia bisa melihat sebuah pertandingan ke dimensi masa lalu dan sekarang, tetapi dengan nilai-nilai yang tidak terekam oleh teknologi secanggih apa pun.
Karya sastra Sindhunata juga menginspirasi penyanyi sekaligus pendiri Jogja Hip Hop Foundation (JHF), Marzuki ”Kill the DJ” untuk membuat lagu. Syair-syair Sindhunata digubah menjadi lagu hip hop yang sangat populer di kalangan anak-anak muda. ”Karya-karya Sindhunata telah memiliki independensi. Dia bisa memunculkan karya-karya baru,” ucap Marzuki.
Album Semar Mesem Romo Mendem dinyanyikan JHF, Minggu (15/5/2022) malam. Para seniman, wartawan, penikmat seni, dan masyarakat bernyanyi bersama penuh keakraban di Taman Yakopan, Omah Petroek, dengan semboyan ”Kita Berteman Soedah Lama”. Hadir di acara itu Staf Khusus Presiden Sukardi Rinakit, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, pelukis Nasirun, juga Djoko Pekik.
Peringatan ulang tahun Sindhunata ke-70 juga diisi dengan beragam acara, seperti pentas kesenian, pameran seni rupa, dan peluncuran buku. Total ada enam buku yang diluncurkan penerbit Gramedia Pustaka Utama dalam acara tersebut dan lima di antaranya merupakan karya Sindhunata, yakni Jalan Hati Yesuit, Anak-anak Ignatius: Kontemplasi dalam Aksi, Sisi Sepasang Sayap, Anak Bajang Mengayun Bulan, serta Anak-anak Semar. Satu buku lainnya adalah The Secrets of Sindhunata karya Simon H Rae.