Potret Diri Sang Penyintas
Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya
Djoko Pekik adalah lelaki yang berbahagia.
Di dalam usia lanjut, ia masih tetap mampu melukis, dan lukisannya tetap menarik. Tidak banyak yang sanggup melakukannya karena keburu sakit atau terlalu lemah. Sebagian besar lainnya tidak berusia panjang.
Kini hanya beberapa rekan sesama profesi yang masih ada. Tentu saja yang harus disebut terlebih dahulu adalah A.D. Pirous yang tanggal 11 Maret lalu berusia 90 tahun. Nama besar lain adalah Kartika yang kini 87 tahun. Ada pula Sidik W Martowidjojo, 84 tahun, jawara lukisan cat air dan tinta cina di atas kertas beras. Mereka sudah jauh melampaui usia harapan hidup Indonesia yang 72,32 tahun (patokan tahun 2021).
Mengapa menderetkan nama-nama para seniman sepuh?
Karena di dalam perspektif kesehatan, usia tinggi adalah prestasi, di samping tentu merupakan karunia. Itu merupakan prestasi individu, prestasi lingkungan alam dan sosial, sekaligus dianggap sebagai prestasi masyarakat sesuatu bangsa atau negara. Kesejahteraan fisik dan kualitas mental merupakan unsur-unsur yang penting untuk mencapainya.
Para manula plus-plus-plus ini terhitung sangat tangguh karena bisa dipastikan sebagian besar teman, kenalan, dan kerabat yang seusia sudah mendahului berpulang. Lingkungan sosial mereka berubah oleh hadirnya orang-orang yang lebih muda. Itu membutuhkan kemampuan khusus untuk bisa menerima dan menyesuaikan diri. Tak lebih tak kurang, mereka adalah para penyintas.
Di dalam hal Djoko Pekik perlu ada yang ditambahkan, yaitu bahwa dia sekaligus juga seorang penyintas dari peristiwa tragedi Indonesia di tahun 1965. Drama kolosal dengan korban ratusan ribu kehidupan itu (ada yang menyebut angka jutaan) meninggalkan trauma yang berkepanjangan.
Mereka yang selalu hidup nyaman mungkin sulit membayangkan apa yang dialami dan dirasakan bahkan bertahun-tahun sesudahnya. Konon ia sudah memaafkan siapapun yang perlu dimaafkan, dan (semoga) betul-betul sudah terbebas dari ganjalan pahit tersebut. Menurut para bijak, kesehatan mental bisa diukur dari kemampuan kita memaafkan.
Maka inilah Djoko Pekik, yang telah melewati gelombang dahsyat kehidupan, di usia 85 tahun (lahir 2 Januari 1937), dan masih terus berkarya. Sekarang ia malah berpameran tunggal. Harapannya tentu masih akan banyak pameran-pameran berikutnya.
Komunitas seni maupun masyarakat luas, juga media, jarang yang tertarik untuk menggunjingkan kaitan antara kreativitas, produktivitas, dan turunnya kemampuan fisik seseorang perupa. Barangkali banyak yang menganggap bahwa surutnya fisik tidak berpengaruh besar pada mutu karya.
Ketika Affandi berusia sekitar 70 tahun sempat ramai rumour tentang tenaga kepelukisannya dan hasil yang tampak di kanvas. Seorang perupa yang jauh lebih muda mengatakan bisa memahami kalau bidang gambar Affandi tidak lagi terisi “penuh” seperti ketika muda lantaran energi yang semakin berkurang. Seniman lain merasa tetap kagum karena dari berbagai garis pelototan yang lebih hemat tampak bahwa tenaga artistiknya tetap terjaga.
Di sekitar usia itu pula pelukis Widayat mengaku kontrol terhadap tangan dan jari-jari tangannya tidak lagi kuat sehingga mengganggu presisi. Tapi ia tidak menyerah. “Saya lebih banyak menggunakan totol-totol untuk mengkompensasinya,” tutur Widayat pada saat itu kepada penulis.
Singkatnya, kreativitas dan semangat boleh tetap tinggi, tapi fisik pun harus menyesuaikan diri.
Sampai melampaui usia 80 Djoko Pekik masih terus aktif. Bahkan pethakilan, melakukan kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan usia. Saya merasakan tangan dan kakinya gemetaran ketika membonceng sepeda motornya. Kendaraan itu hanya berjalan belasan meter untuk kami pakai bergaya potret-potretan di kediaman pelukis Hari Budiono, tetangga rumahnya. Keluarga kemudian melarangnya menggunakan kendaraan bermotor roda dua tersebut. Jadi dia beralih ke kendaraan yang lebih aman. Tapi nasib sial memburunya. Ia terseret ketika menghidupkan mesinnya. Itu berakhir dengan menjalani operasi kaki.
Sudah tentu ia tidak kapok. Terutama kalau itu dilakukan untuk pethakilan melukis. Ia tetap bisa tenggelam di depan kanvas ketika para penyintas lain hanya tertidur di depan televisi atau momong cucu.
Djoko Pekik tentu punya kiat tersendiri agar bisa mengontrol energinya di dalam melukis. Bohong kalau seorang lanjut usia mengaku tidak kecapaian ketika menjalani aktivitas yang melibatkan fisik –bahkan menguras emosi dan berkonsentrasi penuh.
Ketika membujuk Srihadi Soedarsono agar penjurian untuk kompetisi cat air antarbangsa IWS International Watercolor Society tahun 2019 bisa dilakukan di Jakarta, saya mendapat jawaban telak. “Kalau pergi ke Jakarta saya perlu beristirahat sampai 4 hari,” tutur empu seni rupa ini, yang wafat tanggal 26 Februari 2022 dalam usia 90 tahun. Alhasil dia melakukannya terpisah di rumahnya di Bandung, tempat ia masih menghasilkan lukisan berukuran besar tiga bulan sebelum tutup usia.
Para jawara yang super-manula ini mestinya sudah sangat terlatih untuk mengenali kesanggupan fisik dan batas-batas yang masih bisa ditoleransi. Untuk ukuran usia mereka relatif sehat. Pasang surut kehidupan tidak membuat patah namun menempa mereka menjadi lebih kuat.
Djoko Pekik pernah sangat terbanting. Selepas dari penjara politik Wiragunan ia menyambung hidup dengan membuka usaha menjahit. Dilihat dari sudut itu, kenyamanan hidupnya dengan rumah besar di atas tanah seluas 3 hektar di Bantul, Yogyakarta, adalah cerita manis hari-hari ini.
Yang tidak kalah sulit adalah di dalam pergaulan seni. Terpilihnya sebuah karyanya untuk ikut pameran Festival KIAS (Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat) tahun 1990-1991, memicu kontroversi karena persoalan politik. Itu bagian dari trauma penyintas yang berkepanjangan.
Meski demikian ia tetap menyimpan hasrat untuk kembali melukis. Bertahun-tahun kemudian jalan terbuka di hadapannya. Kelak ia bahkan mendapat durian runtuh. Karya-karyanya yang menampilkan wong cilik dengan berbagai dinamika kehidupan mereka, mendapat sambutan luas. Dihargai berkat mutu, sekaligus tinggi di dalam nilai keekonomian.
Djoko Pekik adalah “bom” karena kabar lukisannya, “Berburu Celeng”, laku seharga 1 milyar rupiah. Pada tahun 1998 itu angka yang fantastis. Kemudian tak terdengar lagi cerita heboh atau hal-hal semacamnya, kecuali mungkin yang beredar di kalangan terbatas. Namun jelas ia adalah angsa penelor emas yang diburu orang – untuk jangka waktu yang cukup lama. Ada cerita bahwa lukisan yang masih basah cat-nya pun sudah menjadi milik seseorang, bahkan segera berganti tangan. Memegang lukisan Djoko Pekik ibarat memborong saham yang nilainya meroket.
Ternyata angsa bertelor emas tersebut adalah seorang lelaki kurus (saya tidak tahu apakah ia pernah gemuk) yang penampilannya bersahaja. Ia hampir selalu mengenakan kaos oblong dan celana pendek. Berkacamata. Rambut gondrong dan sering dikuncir. Kumis dan jenggotnya yang panjang berwarna putih keperakan.
Demikianlah yang selalu terlihat di dalam foto di media massa. Kini citra yang serupa muncul di dalam berbagai lukisan potret diri. Tidak tanggung-tanggung, untuk pameran ini ia menyiapkan delapan buah.
Sebenarnya masih ada dua lainnya yang bolehlah dianggap sebagai potret diri juga. Sebuah di antaranya adalah “Tapal Batas” yang menampilkan dirinya tengah berjalan dengan terbungkuk sambil memegang tongkat. Sebuah lainnya berjudul “Kolor” yang berisi sosok sang seniman bertelanjang dada, dengan kolor atau tali pinggang tampak mengikat celana panjang.
Di antara seluruhnya 23 buah karya yang dipamerkan, ada sederet lukisan pemandangan yang mengambil lokasi yang sama yaitu pantai Parangtritis. Menyertai itu tampil beberapa karya tunggal yang menggambarkan kedekatannya dengan kalangan jelata seperti “Tayuban”.
Seberapapun meriah warna-warni selendang para penari tersebut, atau hamparan pemandangan, atau baju yang dikenakan seorang perempuan pelacur di atas becak dalam lukisan terdahulu, tetaplah muncul kesan pedih, getir, atau tertekan.
Barangkali itulah “jiwa ketok” yang dimaksud oleh empu seni Sudjojono. Saya lebih tertarik untuk mengatakan bahwa, memang demikianlah yang ingin disampaikan oleh Djoko Pekik. Itulah jati dirinya, seluruh endapan pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan tanggapannya.
Dia adalah seniman yang tetap eksis di zaman baru namun berakar dalam-dalam pada kesadaran kultural yang lama disemai dan ditumbuhkan, praktis sejak masih sangat muda. Simpatinya terasa penuh memancar dari sosok penjaga malam, pelacur, pemain kuda lumping, tledek, dan rakyat kecil lainnya di dalam banyak kanvasnya.
Ada pengukuhan atas dugaan ini, yang berasal dari sang pelukis sendiri. Sering ia mengatakan, “Yang saya tahu hanya rakyat, lainnya saya tidak mengerti”. Kanvasnya memberikan kenyataan yang hidup di dalam lingkungan yang sungguh dikenalnya dengan sangat baik.
Tema-tema garapan ini disertai cara pewujudan visualnya yang sering terkesan kasar, deformasi yang mengukuhkan watak keseluruhan, dan pulasan warna yang kebanyakan cenderung kusam atau bahkan gelap.
Tajuk pameran ini, “Gelombang Masker”, diambil dari judul salah satu lukisannya. Itu diharap mewadahi seluruh karya yang dikerjakan pada masa pandemi covid-19, paling sedikit lewat suasana muram dan mencekam yang melatari kelahiran karya-karyanya.
Pada akhirnya perlu disampaikan di sini bahwa pada hakekatnya setiap karya maupun pameran juga merupakan “potret diri” senimannya di dalam arti tertentu. Orang akan lebih mengenal Djoko Pekik lewat lukisannya, lebih mengenal sisi-sisi terang dan sisi gelap, harapan dan impian maupun kekecewaannya. Singkat kata, lebih mengenalnya sebagai manusia, yang di usia lanjut terus berkarya.
Di dalam kaitan itu saya tidak segan menuliskan kesan yang mendalam pada lukisannya yang bertajuk “Megatruh”. Lebih daripada spekulatif ini memang sangat subyektif. Berkali-kali mengamatinya saya tetap terharu: sepasang manusia sesama lansia digambarkan sedang mengolah asmara. Latarnya pemandangan alam yang sunyi namun berwarna ceria. Itu kisah asmara sepanjang masa, tidak dibatasi ruang dan waktu, bahkan melampaui kesadaran tentang yang fana.
Selamat berpameran.
*Tulisan untuk pengantar pameran lukisan “Gelombang Masker” karya Djoko Pekik di Bentara Budaya Yogyakarta, tanggal 26-31 Maret 2022