Basiyo, dari Keraton sampai Kaset
Seniman komedi Basiyo (1914-1979) “hadir” dalam pameran kaset Cassette Reborn di Bentara Budaya Yogyakarta 15-22 Maret 2022. Seniman dari Yogyakarta ini merupakan salah satu tokoh dalam kesenian tradisi.
Di jagat lawak atau dagelan berbahasa Jawa, Basiyo boleh disebut sebagai superstar. Meski telah tiada lebih dari 40 tahun silam, akan tetapi dari masa ke masa dagelan Basiyo tetap membikin tawa. Dari zaman radio, kaset, hingga era digital kini, lawakan Basiyo masih didengar orang.
Kita kenang salah judul dagelan Basiyo yang populer, yaitu “Basiyo Mbecak”. Alur ceritanya sederhana. Basiyo sebagai tukang becak, mengantar dua orang penumpang yang akan menghadiri resepsi perkawinan. Sepanjang jalan terjadi obrolan hangat sampai percekcokan sengit yang kemudian didamaikan oleh tokoh Pak Lurah.
Dari alur sederhana itu Basiyo menunjukkan ke-maestro-annya sebagai komedian. Betapa ia mendalami dan menghayati benar persona atau karakter, jiwa, dan perilaku tukang becak. Dia tahu benar karakter fisik tukang becak, juga cara berpakaian, dan bahkan posisi sosial ekonomi seorang tukang becak di tengah masyarakat. Dari pemahaman itu ia dapat dengan leluasa mengkomedikan kehidupan sehari-hari tukang becak.
Misalnya, bagaimana Basiyo membanggakan kaki tukang becak yang kokoh, gempal, dan kuat. “Mang tonton kempol kulo – coba lihat paha saya”. Begitu sombongnya, sampai ia pamer pernah ikut konkrus atau lomba becak naik Gunung Merapi.
Dia juga memahami benar cara berpakaian tukang becak, mulai dari sarung hingga handuk kecil yang dibebatkan di kepala. Ia juga membanggakan ubel-ubel anduk itu sebagai semacam mahkota kehebatan tukang becak.
Basiyo menjungkirbalikkan strata sosial tukang becak yang berasal dari kalangan masyarakat ekonomi bawah. Ia tonjok sifat-sifat feodalistik yang menempatkan warga berkemampuan ekonomi seakan warga yang lebih tinggi derajatnya sebagai manusia. Itu mengapa ia tidak mau disapa dengan identitas pekerjaan sebagai tukang becak.
Seperti dalam keseharian masyarakat, dalam kaset ini tokoh penumpang memanggil tukang becak dengan teriakan “Cak..!” dari kata becak. Dan Basiyo menjawab “Moh...” dari kata emoh atau tidak mau.
Tukang becak itu ingin disapa sebagai manusia. Di sini Basiyo memainkan sindiran sosial, tanpa berpretensi sebagai pejuang pembela rakyat melainkan dengan bahasa komedi. Maka ia pun menjawab, “Tukang becak niku nggih wonten tengere – tukang becak itu juga ada penandanya.
Dia menyarankan untuk dipanggil sebagai Den atau Gus. Den pemendekan dari Raden. Adapun Gus dari Den Bagus. Kedua sebutan itu merupakan penanda status sosial yang lebih tinggi dari warga biasa. Basiyo menjungkirbalikkan status itu sebagai sindiran sosial.
Lebih ekstrem lagi, ia menantang penumpang untuk berkelahi. “Bilamana kerengan…” Kerengan adalah berkelahi. Adapun bilamana adalah pengeliruan bahasa yang memang menjadi salah satu bahan lawakan Basiyo.
Mungkin bisa ditafsirkan sebagai bilamana perlu kita berkelahi. Basiyo sering mengelirukan bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Misalnya, “Saya tidak belerang...” Maksudnya, saya tidak silau. Dalam bahasa Jawa silau adalah blereng, yang kemudian dikelirukan sebagai belerang.
“The Jokefather”
Basiyo berjaya di dunia perkasetan pada awal era 1970-an hingga akhir hayatnya pada tahun 1979. Berbagai lakon dari lawakannya kerap disiarkan di radio-radio swasta pada masa tersebut, terutama di wilayah pengguna bahasa Jawa, seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur.
Kaset-kaset lawaknya banyak dijual di toko-toko kaset. Lawakan Basiyo bahkan terdengar di Suriname. Suatu kali di Suriname pada tahun 2010, saya pernah mendengar lawakan Basiyo yang berjudul “Degan Wasiat” diperdengarkan dalam siaran bahasa Jawa Radio Garuda.
Kaset lawak Basiyo sampai dekade 2010-an masih bisa dijumpai di toko-toko kaset. Di sebuah toko musik di Jakarta yang cukup lengkap, kaset Basiyo terpajang di seksi kesenian daerah. Selain Basiyo, ada pula lawak dari Djunaedi, seri wayang kulit dari Ki Nartosabdo, ketoprak, kaset karawitan, tayub, dan beberapa jenis kesenian daerah.
Pada era digital, mulai sekitaran 2010, Basiyo eksis di jagat maya. Lawakan Basiyo banyak diunggah di Youtube. Terlacak setidaknya 50 judul lawakan Basiyo yang diunggah di Youtube. Cukup ramai juga peminat lawakan Basiyo dan kawan-kawan.
Sebagai misal, untuk satu judul saja, yaitu “Basiyo Mbecak”, ada sejumlah unggahan yang ditonton lebih dari 500.000 kali. Di panggung Youtube itulah, Basiyo mengalami semacam “rebranding”.
Ia dihadirkan kembali sebagai bintang hari ini dan dinobatkan sebagai “The Jokefather”, sebuah plesetan dari judul novel Mario Puzo dan film Francis Ford Coppola The Godfather.
Di kalangan penikmat dagelan, terkhusus lawakan dalam bahasa Jawa, nama Basiyo memang menjadi salah satu bintang. Di ranah dagelan Mataram memang ada sederet tokoh, akan tetapi mungkin Basiyo salah satu yang terpopuler, terutama lewat jalur kaset.
Ada sejumlah tokoh, seperti Darsono, Harjo Gepeng, Ngabdul, dan lainnya, akan tetapi hanya Basiyo lah yang dijadikan ikon produk kaset. Tokoh-tokoh lain tersebut menjadi kawan tampil Basiyo yang mampu mengimbangi keterampilan Basiyo.
Para penikmat, pecinta, pengidola Basiyo di Yogyakarta, pada tahun 2015 tampil pada acara Gelar Karya Maestro Basiyo yang diselenggarakan Taman Budaya Yogyakarta. Acara dimaksud untuk menghadirkan jejak kreatif Basiyo.
Grup peserta yang datang dari berbagai penjuru Daerah Istimewa Yogyakarta, mementaskan dagelan yang pernah direkam Basiyo di kaset. Mereka memberi tafsir ulang atas cerita yang pernah dikasetkan oleh Basiyo dan kawan-kawan, dan menempatkannya pada konteks hari ini. Dengan demikan, dagelan Basiyo menjadi kontekstual, hidup sesuai zaman.
Kejelian Produser
Kaset Basiyo pada era 1970-an diproduksi oleh Ramayana Record, Lokananta, Fajar Record, dan Irama Record. Diperkirakan jumlahnya tak kurang dari 70 judul. Dalam format kaset, Basiyo tampil bersama sejumlah tokoh panggung, seperti Harjo Gepeng, Darsono, Ngabdul, Bu Basiyo, Bu Tik, dan lainnya.
Menyebut beberapa judul, kaset yang terkenal antara lain “Basiyo Mbecak”, “Maling Kontrang-Kantring”, “Dadung Kepuntir”, “Blantik Kecelik”, “Basiyo Gandrung”, “Gatotkoco Gandrung”, sampai “Popok Wewe”. Bolehlah kita sebut penampilan Basiyo dan kawan-kawan tersebut sebagai format reguler atau standar kaset dagelan Basiyo.
Di luar yang standar tersebut, produser cukup kreatif dalam membuat variasi tema. Ada, katakanlah, semacam terobosan yang menarik, antara lain dengan mempertemukan Basiyo dengan grup lawak Bagio CS dalam lakon “Nusul Baul”.
Bagio dan kawan-kawan termasuk grup lawak populer secara nasional, terutama lewat penampilan di TVRI. Berawak S Bagio, Darto Helm, Diran, dan Sol Saleh, mereka terbiasa tampil dengan lawakan berbahasa Indonesia. Adapun Basiyo tampil dengan bahasa Jawa. Dalam “Nusul Baul”, Basiyo dan Bagio menggarap kesalahpengertian soal bahasa.
Basiyo juga dipertemukan dengan Djunaedi dalam “Djunaedi Anak Basiyo”. Djunaedi adalah pelawak asal Yogyakarta yang juga terkenal di panggung dan kaset dagelan. Pernah juga Basiyo dipertemukan dengan Surono, tokoh Petruk terkenal dari grup wayang orang Sriwedari, Solo, dalam lakon “Gara-gara Hadiah”.
Cukup jeli juga ketika Basiyo ditampilkan bersama dalang kondang Ki Nartosabdo. Dalang ini juga dikenal sebagai pemimpin karawitan Condong Raos yang biasa mengiringi dagelan Basiyo.
Bahkan, pernah pula produser menyandingkan Basiyo dengan penyanyi keroncong Ismanto dalam “Basiyo Nanggap Keroncong.” Dalam kaset ini terdapat dua bintang, yaitu Basiyo, sang superstar panggung lawak, dan Ismanto penyandang gelar Bintang Radio untuk jenis keroncong.
Di kaset ini, Ismanto memperdengarkan suara emasnya. Lagu-lagu yang ia bawakan disesuaikan dengan tema cerita Basiyo yang dikisahkan sedang punya gawe. Isi lagu disesuaikan dengan kebutuhan hiburan dagelan. Sedangkan Basiyo merespons lagu-lagu Ismanto sebagai bahan dagelan.
Dagelan Mataram
Maraknya kaset lawak dari Basiyo dan kawan-kawan pada era 1970-an, bisa dikatakan merupakan bagian dari perjalanan sejarah panjang Dagelan Mataram sejak 1930-an. Dagelan Mataram pada masa itu menemukan format baru, yaitu dalam bentuk kaset. Apa yang kemudian dinamakan Dagelan Mataram itu lahir di lingkungan keraton Yogyakarta.
Arswendo Atmowiloto dalam sebuah tulisan di harian Kompas memaparkan sejarah lahirnya Dagelan Mataram. Paparannya tersebut berdasarkan cerita dari Handung Kus Sudyarsono, yang pada masa itu adalah redaktur Mekar Sari, majalah berbahasa Jawa yang terbit di Yogyakarta.
Menurut Handung, Dagelam Mataram berawal dari sekumpulan Abdi Dalem Oceh-Ocehan, pegawai Keraton yang bertugas memberi hiburan di lingkungan keraton. Gusti Pangeran Hangabehi, putra Hamengkubuwono VIII kemudian memberi ruang tampil kepada para abdi dalem tersebut di kediamannya pada setiap weton atau hari kelahirannya.
Artinya, setiap 35 hari sekali, kelompok dagelan itu tampil menghibur. Materi lawakan berupa cerita sehari-hari yang dianggap lucu. Di antara Abdi dalem tersebut ada yang kemudian terkenal, antara lain RB Lebdojiwo alias Bekel Tembong, RB Jayengsuwandi, dan Den Jayengdikoro. Mereka tampil spontan dan improvisatif tanpa naskah. Model demikian berlanjut sampai ke masa Basiyo.
Dari penampilan langsung di depan penikmat terbatas di ndalem atau kediaman di lingkungan keraton itu, mereka mulai tampil untuk siaran radio Mavro, singkatan dari Mataramse Vereniging Voor Radio Omroep.
Pada saat itulah penampilan kelompok penghibur tersebut dinamai Dagelan Mataram. Dagelan berasal dari bahasa Jawa dagel, yang artinya belum masak atau tanggung. Sesuatu yang belum masak, yang terasa aneh. Dan karena aneh dan janggal maka ada potensi menimbulkan tertawaan.
Di antara kelompok Dagelan Mataram terdapat kelompok Barisan Kuping Hitam. Nama ini diambil dari ciri fisik tokoh Bekel Tembong, yang mempunyai tembong atau tompel hitam di telinga. Salah satu anggota yang kemudian menjadi pelawak terkenal adalah Atmonadi. Dia juga merupakan kakak pelawak Srimulat, Johnny Gudel.
Basiyo tumbuh dari budaya lawak di Dagelan Mataram ini. Ia pada awalnya tampil bersama Jayeng Suwandi sebagai dagelan dalam kelompok ketoprak. Dagelan yang semula hanya selingan dalam pergelaran ketoprak, kemudian mendapat porsi durasi yang lebih panjang. Bahkan kemudian, dagelan itu menyempal sebagai kelompok di luar ketoprak.
Basiyo dan kelompok dagelan yang berjumlah sekitar 6 orang sering tampil di acara resepsi perkawinan. Kemudian sampai pertengahan 1970-an, Basiyo tampil rutin setiap Kamis malam di Radio Repubik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Ketika bisnis kaset marak, lawakan Basiyo pun tinggal melompat dari corong RRI ke studio rekaman.
Frans Sartono
Kurator Bentara Budaya