“KEHADIRAN” IPONG
Oleh Jean Couteau
Maaf! Kenapa? Karena tidak menghormati peraturan.
Menulis soal Ipong, yang pamerannya di Bentara Budaya Jakarta dibuka pada 26 Februari,saya akan melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan: memulai dengan membuat kesimpulan. Sebuah kesimpulan umumnya membutuhkan argumen dan demonstrasi, dan perlu ada abstraksi. Sementara waktu, saya akan membuat kesimpulan tanpa ketiga hal itu. Bukannya tidak ada yang perlu dikatakan soal Ipong - saya akan mengelaborasi panjang lebar nanti, namun ini adalah masalah prioritas semata. Apa pun mungkin dikatakan orang-orang mengenai karya-karya Ipong, tentang gaya atau pesan di dalamnya, pada akhirnya semua itu akan tidak relevan, karena karya-karya Ipong tak bisa didefinisikan. Itu bukanlah ide tentang keindahan, sebuah pesan yang penting, maupun batu pijakan sejarah, namun itu masuk dalam kategori “keberadaan”.
Tangan yang “meraih”, sebagai gestur kelembutan atau ekspektasi. Mata yang mengomunikasikan cinta atau ketakutan. Tubuh-tubuh yang melompat atau berpelukan. Wajah badut-badut yang sedih. Impresi, alih-alih representasi, dari sikap keibuan, cinta, tawa, dan kesedihan. Semua karya lpong membawa kita jauh ke dalam ranah “esensial” ke dalam inti dari “emosi", di luar nilai artistiknya. Dia tak memberi tahu alasannya memiliki emosi-emosi tersebut, juga bagaimana bisa ia memiliki dan mengekspresikan emosi-emosi tersebut. Jangan mengharapkan sebuah penceritaan, pernyataan intelektual, atau keajaiban teknikal dari karya-karya lpong - itu tidak penting bagi lpong. la sekadar “memiliki” emosi, yang ia ekspresikan melalui bentuk “primitif”. Membawa serta kita, seolah dengan canggung, namun selalu dengan tujuan, ke esensi dari kesejatian kita: Sisi manusia dari diri kita semua.
Kesimpulan ini dibuat secara spontan, perlu disebutkan bahwa “esensialisme emosional” semacam itu tidak serta-merta muncul begitu saja. Ipong adalah seorang seniman yang belajar di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta sekitar tahun 1980. la juga menghabiskan beberapa waktu mempelajari seni grafis di Royal University Art di Stockholm, Swedia, sekitar tahun 1996. Jadi, apa pun ketertarikannya di “art brut”, di mana para senimannya beramai-ramai menuju ke esensi ekspresi tanpa basa-basi, tak dibebani oleh sejarah kesenian dan nilai sosialnya, perjalanan lpong sebagai esensialis adalah tipe yang berbeda dan lebih modern dari itu. Seperti seniman-seniman Cobra yang banyak digemari oleh teman-teman seniman lpong, dan bahkan lebih mirip lagi dengan Dubuffet, "penemu” dari “art brut”, esensialismenya tidak terikat dalam keberadaannya. Itu adalah hasil dari pencarian, tapi pencarian yang mana?
Bukan seniman biasa. Kala saya pertama kali menyadari kehadiran emosional dari karya-karyanya - beberapa tahun lalu, di tengah tahun 2000-an, saya bertanya-tanya tentang jalur yang telah ia lewati sampai bisa mencapai hasil seperti sekarang. Saya pikir ia mungkin adalah salah satu dari para pencipta yang "telat matang”. Yang di masa mudanya fokus dengan berbagai gaya aneh bin ajaib sampai akhirnya menyadari, sering kali akibat mengalami sebuah pengalaman baru, bahwa mereka harus bergerak maju. Beberapa orang seperti itu bisa menjadi seniman yang baik bahkan hebat. Namun, ada sesuatu yang aneh dari karya-karya lpong. Sulit didefinisikan. Saya sampai sekarang masih ingat impresi yang dihasilkanny bagi saya. Dengan kehadiran “emosionalnya yang besar dan terlihat kikuk. Namun, ada sesuatu yang lain pula di dalamnya, mentah dan riang secara bersamaan. Yang membuat saya bertanya, apakah ia membuat karya- karya tersebut di bawah pengaruh dorongan ekspresif atau setelah mengikuti serangkaian upaya simplifikasi tekun yang bertujuan mencapai “primitifisasi” bentuk? Saya tidak tahu.
Bagaimanapun, dalam karya-karya lpong terdapat sesuatu yang melenceng dari jenis simplifikasi yang bisa ditemukan dalam karya Dubuffet, atau di Indonesia, karya Eddie Hara Saya memahaminya begitu saya diberitahu tentang perjalanan karier lpong. Ipong memiliki pendidikan seniman, namun baru aktif berkarya sekitar dua puluh tahun setelah menyelesaikan pendidikannya. Saya punya semacam teori: lpong yang pada dasarnya merupakan sosok yang sensitif, selalu memiliki semangat api untuk berkarya, namu terhalang oleh kurangnya kepercayaan diri. Sebelum beralih ke lukisan, ia merasa perlu belajar lebih jauh, dan dari situ membangun kepercayaan dirinya. Jadi, ketika ia ditawari pekerjaan sebagai seniman printmaking dan desainer grafis di grup Kompas Gramedia, ia tak ragu mengambilnya. Tentu saja, itu adalah pekerjaan yang sifatnya rutin, terlalu membosankan bagi beberapa orang, tetapi tidak begitu bagi lpong, karena ada sisi lain dari rutinitas tersebut: disiplin dan kendali atas diri sendiri, itu memenuhi ekspektasinya. Selain itu, di Kompas Gramedia, lpong diberi kesempatan untuk membangun sebuah karir - men-setting majalah, membuat layout buku, membuat ilustrasi untuk cerpen, dan pada akhirnya mengkuratori pameran-pameran di pusat kebudayaan Bentara Budaya. la meraih pengetahuan kelas satu mengenai Teknik seni sekaligus dunia kesenian di Indonesia. Menemukan posisi di jantung dunia tersebut lpong terus menggertakkan gigi, menunggu waktunya datang.
Waktunya pun akhirnya datang. Dan datang dengan tiba-tiba, sekitar tahun 2000-an.
Seniman grafis yang penyabar berubah menjadi seniman yang tak sabaran. Ada sesuatu yang ingin Ipong sampaikan, dan ia tak akan membiarkan dirinya dibebani oleh “kebudayaan” atau oleh pengalamannya. Jadi, ia tidak berbicara soal politik, identitas atau tema-tema sosial yang tren lainnya. Ia juga tidak membiarkan dirinya dipengaruhi untuk membuat karya yang indah melalui Teknik yang indah. Ia memilih untuk berterus terang. Apa yang ingin ia sampaikan akan dikatakan tanpa ada bumbu intelektual dan teknikal yang memperindahnya. Namun, itu akan tersampaikan. Itu harus disampaikan. Hasilnya, seperti yang telah saya jelaskan di atas, adalah karya-karya “mentah” yang membawa “kehadiran” yang sulit didefinisikan. Figur-figur frontal yang secara bergantian memancarkan cinta dan kengerian, kebahagiaan dan ketakutan, tragedy dan komedi – dialektik dasar dari emosi manusia.
Apa saja alat-alat Ipong? Untuk mengekspresikan emosi-emosi dasar, tak ada yang lebih baik daripada bentuk-bentuk yang mendasar. Untuk mencapai itu, kelinieran tidak cukup baik; yang menjadi penting adalah bangunan dari karyanya: itu harus memberi kesan bagi orang-orang yang melihatnya. Maka pilihan Ipong akan garis-garis yang sketchy dan aneh, paling cocok untuk menggambarkan “tipe-tipe” alih-alih menggambarkan individualitas di detailnya. Oleh sebab itu, fitur-fitur dari karyanya secara bersamaan tampak disimplifikasi sekaligus dibesar-besarkan, (simplified and overemphasized), dengan gaya yang populer ditemukan dalam lukisan-lukisan ekpresionisme Jerman untuk menekankan dorongan ekspresif mereka. Sebagai hasilnya, “kebenaran” yang tampil di karya-karya Ipong kadang tidak memiliki objek spesifik, melainkan ditemukan dalam detail-detailnya, namun dalam karakter arketip – seperti ibu, badut, superman, dll – yang masing-masing berkorespondensi dengan emosi mentah yang berusaha dibentuknya: cinta, ketakutan, harapan, dll. Yang terpenting, dan perlu saya ulang yaitu bahwa inti dari dunia Ipong adalah “emosi” yang muncul dalam berbagai bentuk.
Namun, yang memberi kekuatan pada dunia lpong adalah warna. Warna-warna ia gunakan dengan cara yang sama seperti ia menggunakan bentuk, dengan pengabaian yang jelas terlihat. Warna-warna pelangi yang fungsi utamanya adalah untuk memberi emosi Ipong sedikit sentuhan di luar realitas. Tetapi bukankah lpong benar-benar tepat sasaran? Kebahagiaan dan cinta memang lebih dari sekadar kebahagiaan dan cinta yang jasmani. Itulah arti dari campuran berbagai warna tersebut. Sebagaimana sudah disadari oleh lpong, yang adalah seorang kurator, warna tidak mengimitasi, melainkan menciptakan realitas yang tidak nyata, dalam bentuk emosi-emosi. Menariknya, meskipun bentuk di dalam karya-karyanya terlihat mentah dan apa adanya, itu tetap menarik hati, dengan warna-warna yang lebih bernuansa, itu telah menenggelamkan kita masuk jauh melewati “kehadirannya”, ke dalamsensitivitas penciptanya. Secara umum, primitifisme lpong memiliki bentuk yang unik. la mungkin saja terinspirasi oleh Cobra dan Dubuffer, namun perjalanannya bukanlah tentang primitifisme semata, perjalan itu adalah untuk menyampaikan intensitas dari perasaan-perasaan dan emosi-emosi manusia. Dalam karya-karyanya, intensitas menjad isebuah seni. Seni yang bagus.
Jean Couteau
Budayawan