Tiba di Penghujung Kerinduan
Oleh Sindhunata
Ipong Purnama Sidhi pamit pensiun. Untuk menandai masa akhir kerjanya, ia mengadakan pameran lukisan berjudul “Ipong Purnama Sidhi : Kakang Kawah, Adhi Ari-Ari” ini. Segera kita boleh bertanya, sungguhkah masa pensiunnya berarti juga masa dia berpamit sebagai perupa? Pasti tidak! Tak mungkin rasanya Ipong bakal berhenti dari seni rupa. Malah kesempatan pensiun ini kelihatannya akan menjadi momen yang makin mengajaknya untuk mematahkan segala belenggu dan keterbatasan, yang selama ini sempat mengurung hasrat seni rupanya.
Ipong sudah mempunyai pengalaman, betapa jenuh dan tersiksa ketika seorang seniman terpaksa “bekerja” di luar minat dan kreativitasnya, semata-mata hanya demi mencukupi nafkah, yang memang perlu untuk mempertahankan hidup keluarganya. Itu terjadi bertahun-tahun lamanya, sejak ia mulai masuk menjadi desainer buku di Penerbit Buku Gramedia (1982-1990), kemudian dilanjutkan menjadi ilustrator di Harian Kompas (1990-1995). Tampaknya seluruh rutinitas kerja sempat menenggelamkan otonomi dan kemandirian hasrat berkeseniannya.
Tahun 1996, ia sempat diundang untuk berkarya seni grafis di Royal University of Fine Art di Konsthogkolan, Stockholm, Swedia. Toh pengalaman ini belum juga mampu membangunkan dia dari “tidur seninya”. Ada niat untuk bangkit menjadi pelukis. Tapi rasanya niat itu jauh terpendam di dasar lautan. Memang bagi seorang seniman, niat untuk bangun itu sangatlah sulit, bila ia sudah lama tenggelam dalam dunia, yang menjauhkan dirinya dari segala kreativitas hidup berkeseniannya.
Pada Ipong, sangat lama niat itu terpendam. Sejak tahun 1995, ia tenggelam dalam rutinitas kerjanya di Bentara Budaya Jakarta. Aktivitas di Bentara Budaya memberinya peluang untuk berkesenian. Tapi toh peluang itu tak langsung bersentuhan dengan hasrat seni yang tersembunyi di kedalaman hatinya. Syukurlah hasrat itu akhirnya bisa tergugah, ketika ia diundang untuk berpameran di Galeri Tony Raka, Ubud, Bali, tahun 2007. Pameran itu diikuti perupa-perupa kondang yang sudah sering unjuk diri berpameran, seperti Putu Sutawijaya, Nasirun, Nyoman Erawan, Yunizar, Entang Wiharso, Ugo Untoro, dan Hanafi. Ipong belum pernah berpameran tunggal. Masuk akal, bila ia merasa minder di hadapan seniman-seniman tersohor yang sudah beberapa kali berpameran tunggal itu.
Di luar dugaan, karya Ipong diminati dan dikoleksi oleh kolektor-kolektor dari Singapura, Belanda dan Bali. Ipong tercengang. “Inilah momen kebangkitan sekaligus penghancuran kebekuan yang sudah terlanjur membatu di kepala saya dan hati saya selama 25 tahun! Saat itu di malam pembukaan saya mendapat kado istimewa dari sahabat saya Warih Wisatsana yang saya kira terpesona melihat karya saya dan langsung membacakan sebuah sajak kebangkitan. Kebangkitan buat diri saya untuk terus BERKARYA dengan seluruh jiwa raga lahir batin,”tutur Ipong. Saat itu ia seperti diingatkan, ia harus kembali ke hidup berkesenian setotal-totalnya. Ia makin merasa diteguhkan, karena pada waktu itu Jean Couteau, sahabatnya, tak jemu-jemunya mendorong, mendukung, dan memberikan kritik maupun masukan padanya.
Buat seniman, momen kebangkitan macam itu tidak gampang datang. Banyak dari antara mereka yang berhasrat untuk berkarya, tapi tak juga hasrat itu terlaksana, karena momennya belum datang-datang juga. Syukur, Ipong telah memperoleh momen itu. Dan kiranya saat memasuki masa pensiun ini juga merupakan momen yang dinanti-nantikannya. Mungkin, masa masuk pensiun ini bisa menjadi “momen kedua” bagi kebangkitan kehidupan berkeseniannya. Ipong sendiri memang pernah mengatakan, sesungguhnya ia menanti saat pensiun itu, karena dengan pensiun ia menjadi makin bebas tanpa hambatan untuk menuntaskan sisa-sisa daya dan kreativitas seninya.
Pada Ipong, rasanya semangat dan hasrat berkesenian itu tak mungkin padam, juga oleh pensiun sekalipun. Tak bakal padam, karena hasrat itu telah ada hampir sepanjang hidupnya. Sejak kecil, hasrat itu seakan adalah api, yang makin hari makin bernyala, sampai di lanjut usianya. Sejak duduk sebagai anak SD di Taman Siswa, “api melukis” itu sudah menyala dalam hati seorang Ipong.
Ipong teringat, bagaimana pada suatu hari di masa kecilnya, api melukis itu menyala dengan berkobar hebat. Ketika lulus Sekolah Dasar, ia disunatkan. Habis ritual sunatan, ia mendapat kado istimewa dari Ayahnya, yakni lima jilid buku koleksi lukisan Presiden Indonesia Soekarno. Buku itu tebal dan berat. Karena buku itu, hasrat Ipong untuk menjadi pelukis seperti tak terbendung lagi. Hampir setiap hari ia membalik-balik buku itu, melihat dan mengagumi karya-karya pelukis hebat: Sudjojono, Basoeki Abdullah, Hariyadi S, Agus Djaya, Le Mayeur, Antonio Blanco, Hans Sneil, Rudolf Bonnet, dan seniman top lainnya. Karya-karya itu menerapkan impresi yang sangat kuat pada diri Ipong
Tapi Ipong harus menahan kerinduannya. Ia masih terlalu kecil untuk bisa mewujudkannya. Meski demikian, dunia seni, khususnya seni rupa terus melekat padanya. Semasa SMP, ia gemar mendengarkan radio gelombang pendek berbahasa Indonesia, seperti Deutzsche Welle, BBC London, Radio Nederland Wereldomroep. Dari Deutszche Welle, ia menerima bulletin triwulanan dalam bahasa Inggris bernama Hello Friends. Ipong memilih artikel-artikel menarik, lalu menerjemahkannya, dan mengirimkannya ke koran-koran lokal di Yogya.
Pada waktu itu ia juga selalu bersentuhan dengan seni rupa, karena ia menerjemahkan misalnya Riwayat dan karya-karya tokoh ekpresionis Jerman, Emil Nolde, atau seniman grafis sekaligus pematung ekspresif, Kathe Kollwitz. “Jerih payah ini menghasilkan uang tidak sedikit bagi seorang anak SMP seperti saya. Untuk setiap artikel yang dimuat, saya mendapat honor Rp 500,00. Dengan menabung empat tulisan saya, pada tahun 1971 saya bisa membeli celana jeans Levis genuine yang tahun 1970 masih amat langka dipakai anak-anak muda kala itu.” Kenang Ipong bangga.
Membangkitkan Sensasionalitas
Selepas SMA barulah Ipong bisa melunasi kerinduannya. Ia segera mendaftarkan diri di STSRI Asri Yogyakarta. Begitu masuk, ia sadar, bahwa ia salah memilih jurusan. Ia masuk jurusan seni Reklame, di mana dipentingkan kerapian penuh disiplin. Padahal dalam benak Ipong, ia bercita-cita menjadi seniman bebas seperti Van Gogh, Picasso, Henri Matisse, Ernst Ludwig-Kirchner atau Emil Nolde. Ipong hanya bertahan sampai satu semester. Setahun kemudian ia menemui Fadjar Sidik, ketua jurusan Seni Lukis. Ia belajar di jurusan Lukis itu, dan menjadikan Fadjar Sidik sebagai mentor, guru dan pembimbing skripsi program S1-nya. Ipong menganggap Fadjar Sidik sebagai pribadi yang menuntun dan mengokohkan jalan seni rupanya. Fadjar Sidik dikenal galak, dan suka mengolok-olok mahasiswa yang tidak berani berpameran. Terbukti, Ipong sendiri terpacu oleh olok-olok itu. Bersama lima temannya yang berlatar Pendidikan Taman Siswa yang sedang belajar seni rupa di universitas berbeda-beda, ia membentuk sanggar Taman Siswa, dan berpameran di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Beberapa kali mereka mengundang para pelukis senior yang berlatarbelakang Taman Siswa ikut bergabung sebagai pelukis tamu, misalnya Sudjojono dan Nashar, ketika mereka mengadakan pameran di TIM Jakarta.
Mungkin karena jiwa kesenimannya, sejak kecil Ipong rindu akan kebebasan, dan membayangkan, betapa indah bila ia sungguh mempunyai kebebasan. Kerinduan itu benar-benar menggema ketika di tahun 1967 sebagai anak bercerita, ia menyaksikan pameran seni rupa yang diselenggarakan oleh Sanggar Bambu di jalanan Malioboro, yang waktu itu masih sepi. Sebagai anak kecil, ia sudah biasa terpesona akan pameran patung-patung dan lukisan-lukisan itu. Ia bertanya, biasanya pameran diadakan dalam Gedung, mengapa kali ini pameran diadakan di jalanan? Ia menjawab sendiri, rupanya kebebasan tidak bisa dibatas oleh apapun. Tiba-tiba ia merasa seakan dirinya dihinggapi oleh keyakinan, bahwa dengan kebebasan ia bisa menjelajahi seluruh dunia dan seluruh hidup manusia. Kebebasan lalu menjadi salah satu pegangan kunci, yang kelak akan menentukan diri Ipong dalam berkarya dan berkesenian.
Sebagai anak, ia sudah tahu apa arti kebebasan. Ia adalah anak laki-laki pertama dari tujuh bersaudara. Ayahnya mendidik dia dengan nilai dan disiplin Taman Siswa, warisan Ki Hadjar Dewantara. Maklum, ayahnya bekerja di percetakan milik Taman Siswa, yang memproduksi naskah-naskah dan gagasan-gagasan Ki Hadjar Dewantara. Dari sejarahnya, Taman Siswa adalah lembaga yang bertradisi anti kolonial, karena itu lembaga itu menekankan kemandirian, yang tak mau menerima bantuan dari manapun, termasuk pemerintah. Jelas sebagai pegawai Taman Siswa, ayahnya berpenghasilan kurang dari cukup, kendati demikian ayahnya pantang mundur, dan selalu menekankan nilai-nilai Taman Siswa pada anak-anaknya termasuk Ipong.
Ipong menghargai dan menghormati nilai-nilai itu. Tapi betapa pun, ia tidak mau dibelenggu oleh apapun, termasuk oleh disiplin ayahnya, yang dianggapnya terlalu over protected. “Mungkin dari sinilah muncul bawah sadar keinginan untuk menolak, memberontak dari aturan-aturan standar yang membelenggu gerak-gerik saya. Saya didorong oleh perasaan untuk berontak dan tak hirau dengan disiplin kaku, maka sejak SMP mulai tumbuh keinginan untuk lepas, bebas dan merdeka kelak yang akan mempengaruhi cara berkarya saya ketika studi seni rupa,” kenang Ipong
Ketika sudah benar-benar mulai berkarya, Ipong merasa, tak mungkin ia bisa menumpahkan seluruh kreativitas dan daya seninya tanpa kebebasan yang dirindukannya sejak masa kecilnya itu. Karena itu, ia mengaku, ia amat menggemari karya Jackson Pollock, Arshille Gorky, dan William de Kooning. “Liar, keras, bebas dan ekspresif, itulah watak karakter dasar yang cocok dengan diri saya,” aku Ipong. Di samping itu, Ipong juga sangat terinspirasi oleh karya-karya naif kelompok Art Brut dan CoBrA, terutama Jean Dubuffet, Karel Appel dan Asger John. Inspirasi Art Brut inilah yang kiranya memudahkan Ipong untuk merasuk ke dalam bawah sadar dirinya, dan mengolah segala kekayaan kegelapan di alam bawah sadar itu.
Elemen dasar lain yang memacu karya Ipong adalah garis. Ia mengaku, garis adalah hal penting yang mendominasi karyanya. Baginya, setiap garis memiliki arti sendiri. Dan garis adalah ekpresi keluar dari dunia kedalaman dirinya sebagai perupa. Masing-masing garis memuat perasaan dan emosi sendiri-sendiri. Maka baginya, ada garis riang, sedih, marah, kecewa, dan sebagainya. Garis pada hakekatnya adalah linear. Dan justru dengan kelinearannya itu, garis bisa menjadi jalan. Dan bagi Ipong, garis memang telah menjadi jalan pencarian. Dan inilah ironinya: ketika ia mencari dengan jalan garis itu, ia tak lagi bisa menemukan yang linear. Semuanya lalu menjadi berbengkok-bengkok dan berbelit-belit, serta melilit-lilit. Dan bagi Ipong, garis itulah akhirnya bukan hanya jalan menuju terang, tapi juga menuju kegelapan. Sebagai manusia, dan karena pendidikannya, Ipong tak bisa lepas dari kebudayaan Jawa, yang amat dicintainya. Di Taman Siswa dulu, ia dididik dalam suasana Jawa dan diajak untuk menghidupi nilai-nilai Jawa, Karena itu seni Jawa pun merasuk ke dalam dirinya. Dan suasana seni Jawa itu ternyata juga meninggalkan tapaknya dalam karya-karyanya. Seni Jawa sangat adiluhung dalam kedekoratifannya. Tak heran, jika karya-karya Ipong juga mempunyai watak yang dekoratif. Ketika kuliah di Kampus Asri Gampingan, corak yang dominan pada waktu itu adalah corak dekoratif. Pengalaman di kampus ini kiranya makin mengasah kemampuan Ipong untuk mengolah warisan-warisan dekoratif, yang sudah melekat padanya, sejak ia berinteraksi dengan kesenian Jawa yang juga amat dekoratif itu. Tak heran kedekoratifan itu kemudian menjadi sangat menonjol dalam karya-karyanya.
Kebebasan yang tak mau dibendung oleh norma dan kelaziman apa pun, kegelapan bawah sadar yang tidak sungkan-sungkan mengetengahkan naluri kepurbaan manusia, keliaran garis yang membengkokkan kelinearannya, hasrat dekoratif tak terbatas yang tak takut mengacar-acak warna, itulah unsur-unsur yang membuat karya-karya Ipong menjadi sensasional. Tak mudah memang menikmati sensasionalitas itu, kecuali jika kita, para penikmat seni, juga mau membangkitkan sensasionalitas yang ada dalam diri kita, ketika kita menghadapi karya-karyanya. Memang karya-karya Ipong yang sensasional itu akan berbunyi dan menyampaikan banyak pesan, jika kita menikmati dan merasa-rasakannya dengan sensasional pula.
Kekuasaan yang Hewani
Ipong banyak menampilkan tokoh dengan gaya dan wajah badut. Kostum makhluk-makhluk ciptaannya tidaklah lumrah, penuh dengan dekorasi aneka warna. Wajah-wajah itu tak beraturan, sia-sia bila kita mau memahami dan menangkapnya dengan kesan-kesan yang normal. Dan di wajah-wajah itu selalu tersungging senyum dari mulut yang lebar, figur-figur badut itu menampilkan sebuah keriangan dan keringanan. Ipong seakan mau berpesan, lepaskan beban hidup kita yang berat ini, untuk apa berat-berat, kan kita ini sebenarnya hanyalah badut dan pelawak? Ipong tidak hanya mengajak kita untuk tertawa, tapi juga menertawakan diri.
Memang kita sendiri atau banyak orang lain sering berulah kelewat lucu, tak tahu diri dan menjengkelkan. Lihatlah misalnya ulah para politikus-politikus itu. Mereka mengira diri dan tindakannya serius dan hebat, padahal ulah mereka sungguh bukan lucu menghibur tapi lucu menjengkelkan. Mereka tak mampu menertawakan dirinya sendiri. Padahal sesungguhnya mereka adalah badut-badut seperti dilukiskan Ipong. Ipong berhasil mengekstrimkan kekonyolan para badut-badut itu. Merasa diri superman, otot-ototnya kuat dan perkasa, tapi wajahnya menampilkan ke-bloon-an yang mengundang tertawa. Itulah sesungguhnya sensasi kekonyolan manusia, yang sering diperagakan tidak hanya dalam panggung badut tapi juga dalam panggung hidup harian kita, lebih-lebih dalam panggung politik kita. Sayangnya, kekonyolan itu tak pernah kita sadari, sehingga kita merasa diri kita normal-normal saja, padahal dalam lubuk terdalam, kita ini adalah badut konyol tingkat tinggi. Untuk tahu bahwa kita ini konyol, barangkali baik bila kita berkaca pada karya-karya badutan Ipong.
Dalam gambaran Ipong, kekuasaan itu juga suatu kekonyolan. Tapi apakah sejatinya kekuasaan itu? Dijawab secara sosial dan politis, kekuasaan itu menjadi suatu yang rasional, bahkan sesuatu yang perlu untuk mempertahankan dan membela kehidupan masyarakat yang bermoral. Tapi Ipong menjawabnya secara seni. Maka baginya, kekuasaan itu adalah potret diri yang menampilkan dirinya sebagai Rahwana. Dalam wayang, kalau sedang murka, Rahwana itu digambarkan berubah menjadi sepuluh muka atau kepala, karena itu ia juga disebut Dasamuka. Sepuluh muka atau kepala itu adalah sama. Ipong membuatnya berbeda. Muka-muka itu adalah kepala kuda, anjing, buaya, ular, kambing, gurita dan udang galah.
Dengan itu hendak digambarkannya, bahwa kekuasaan yang murka itu sesungguhnya adalah naluri-naluri hewani purba yang ada dalam diri kita. Kasarnya, dalam kekuasaan itu ada kebinatangan yang liar dan buasnya luar biasa. Nyaris, kebinatangan itu tak bisa dikultivasikan dengan peradaban apa pun jua, apalagi dengan seni politik, yang justru sering harus memainkan naluri purba hewani itu. Itulah warta zaman edan yang hendak dicetuskan oleh lukisan Ipong,”Aku Rahwana”. Di sana kita seperti diajak kembali menyadari kembali semua ulah kekuasaan dengan naluri kebinatangan yang akhir-akhir ini seakan bangkit kembali dengan serentak dan amat menyeramkan.
Republik Mabuk
Kelihatannya bagi Ipong, kekuasaan yang tak terpisahkan dari naluri kebinatangan itu tak bisa dilepaskan dari kemabukan akan kekayaan, uang, korupsi dan kenikmatan hedonis yang tak ada batasnya. Itulah yang digambarkan Ipong dalam "Republik Mabuk". Seorang mahkluk yang serba semrawut memegang botol minuman. Wajahnya tak jelas, dia laki-laki atau wanita. Mungkin wanita, karena kostum dan rambutnya seakan didandani dengan dekorasi kunciran liar yang berasosiasikan dekorasi keperempunan. Tapi tangkaplah gambar itu secara sensasional, lalu tidak perlu menjadi jelas, apakah dia laki-laki atau wanita. Dia adalah penghuni "republik oplosan”, di mana orang-orang kehilangan akal dan membunuh dirinya dengan minuman yang mematikan. Tapi sungguhkah orang yang mabuk itu adalah rakyat? Kelihatannya juga bukan! Karena di lain pihak Ipong juga menggambarkan orang yang memegang botol itu ternyata juga memakai topi cowboy: Dan konyolnya, di atas topi cowboy diterakan lambang Garuda Pancasila. Jadi, dia bukan lah rakyat biasa, melainkan penguasa yang seharusnya memelihara moral Pancasila. Celakanya, kendati menyematkan lambang negara, ia memegang botol minuman berwarna merah bermerk Santa Ema. Dia adalah penguasa yang mabuk. Atau tepatnya: dia adalah gambar dari kekuasaan yang tak mungkin terlepas dari kemabukan, mabuk bukan hanya dengan botol oplosan yang merenggut nyawa, tapi juga dengan 1 kehedonisan, uang, tahta, dan kekayaan. Ipong ingin mensyukuri hidup. Karena hidup adalah berkah. Itulah yang ingin dilukiskan. Ipong dalam karyanya “Semarak Pesta" la berusaha untuk menampilkan bahwa
“hidup ini harus dirayakan", kendati isinya adalah kepahitan, kegetiran, sengsara kesedihan, dan kegusaran. Ipong berusaha untuk gembira. Tapi tetaplah tampak dalan lukisannya: kesedihan, kemarahan, dan kegetiran. Figur yang digambarkan dengan segala kesemrawutannya itu tetaplah figure yang gelap dan muram. la memegang botol, hendak berpesta ria, tapi wajahnya menyimpan durja. Botol di tangannya seakan tak membawa kegembiraan pesta, tapi! keputusasaan yang menuntunnya kedalam gelap dan sengsara.
Sekali lagi ini membawa kita pada potret rakyat yang tak tahu bagaimana harus bergembira kecuali dengan oplosannya. Botol kemabukan itu tahu-tahu hanya membenamkan dia dalam kesengsaraan, bahkan kematian. Dan wajah kematian itulah yang tertera dalam figur karya Ipong, walau ia sejatinya hendak menggambarkan semarak pesta. Tampak bahwa, setiap kali hendak menggambarkan impian dan kegembiraannya tentang orang kecil, Ipong selalu terjerumus kembali ke dalam kesedihan, kesengsaraan, kegusaran, dan keputusasaan yang tak menemukan jalan dan harapan. Ia pernah melukiskan hal itu dalam Life is Tragedy. Di sana tampak lukisan figur yang tak menyisakan harapan sama sekali.
Situasi di atas terulang kembali dalam “Semarak Pesta". Walau Ipong berniat untuk gembira, ia toh tetap menjerumuskan figurnya ke dalam sengsara dan kegelapannya. Tampaknya Ipong tak bisa membohongi realitas orang kecil, jika realitas itu dikupas dari kedalaman bawah sadar orang kecil sendiri. Ipong gagal dalam melukiskan kegembiraan orang kecil, tapi ia berhasil membuka realitas bawah sadar mereka: realitas yang muram, gusar, sedih, putus asa tanpa harapan, ya sebuah realitas oplosan yang merenggut nyawa terus-terusan.
Berpamit dengan Cinta
Kendati sepintas sulit terbaca, lukisan Ipong kelihatannya selalu berkait dengan pengalaman yang nyata. Itu nampak dalam karya-karya yang hendak menampilkan tentang tidur manusia.Tidur adalah kebutuhan pokok manusia. Dan dalam tidur, manusia menemukan baik istirahat maupun kedamaiannya. Ipong tampaknya sangat merindukan kedamaian dalam tidur itu. Rasanya, lukisannya tentang tidur seakan memenuhi hasrat dan kerinduannya itu. Tiap kali ia menggambarkan tidur, ia berhasil meraba kedamaian dan istirahat yang lelap. Wajah-wajah mereka yang tidur sepintas kelihatan tenang, bahkan cantik dan indah. Selimutnya adalah warna-warna yang cerah. Ada lengan menyembul dari selimut warna itu, seakan hendak menggambarkan kehangatan dan kemesraan mereka-mereka yang sedang tidur.
Di situ Ipong seakan tidak menjadi seorang ekspresionis yang keras dan lugas, tapi menjadi seorang surealis yang lembut, halus, dan romantis. Memang, kendati seluruh minatnya adalah ekspresif, Ipong pernah sempat terlelap dalam kekaguman akan suasana surealis yang pernah menghinggapi para seniman, semasa ia studi di Asri Yogyakarta. Toh kemudian Ipong tetaplah Ipong. Ketika ia harus bergulat lagi dengan realitasnya, dan bukan dengan
kerinduan atau impiannya, ia pun kembali terjun dalam corak lukisannya yang sensasional,berat dan keras. Itulah yang tampak dalam lukisannya yang baru berjudul “Lelap". Di sini Ipong ingin melukiskan tentang tidur, tapi ternyata tidurnya kali ini lain dengan tidur-tidurnya yang terdahulu. "Bagi sebagian orang, tidur nyenyak adalah kemewahan. Bagi orang sakit paru-paru
seperti saya, bisa tidur lelap adalah upaya yang sulit, harus dibantu dengan obat tidur," kata Ipong seakan hendak menuturkan umurnya yang sudah merambat tua, dan badannya mulai era sakit aneka rupa. Pantaslah, jika dalam lukisannya yang terbaru itu, tidur kelihatannya tidak seindah seperti dalam lukisannya yang terdahulu. Wajah dia yang tidur itu tetaplah cerah, tapi selimut warna yang menutupinya tidaklah secerah seperti dulu: selimut itu menjadi gelap dan berat, segelap dan seberat beban orang yang sudah tidak lagi dapat tidur dengan nyenyak dan lelap.
Dalam tampilannya, karya-karya Ipong memang kelihatan keras dan tegas. Tapi bila mengenai emosi romantiknya, Ipong ternyata bisa juga menampilkan kelembutan dan kehalusan. Ini Nampak misalnya dalam karyanya “Mother of Hope, Love and Beyond”. Latar belakang karya ini adalah kisah nyata, di mana seorang anak miskin meninggal, lalu karena orang tuanya tak mampu membayar uang penguburan, ia menggendong anaknya dalam gerobak dari Jakarta menuju Bogor. Lain daripada biasanya, dalam Mother of Hope itu Ipong melukiskan wajah seorang perempuan dengan warna-warna yang lembut dan wajah yang indah. Lalu tampaklah tangan-tangan menyodor-nyodorkan diri ke arahnya, dan ia seakan menyambut dengan tangan lembutnya.
Itulah kiranya gambaran, betapa seorang ibu itu adalah pengungsian di mana segala harapan ditumpahkan. Ibu adalah pengandung harapan, karena tangan-tangan itu menggapai-gapainya untuk meraih harapan. Kedukaan seakan lenyap, ketika orang menemukan harapan yang menjanjikan, seperti biasanya diberikan oleh seorang ibu. Ipong melukiskan keceriaan itu dalam serial Mother and Child Reunion. Di sana seorang perempuan yang gembira dan Bahagia menggendong anaknya. Dan tentu saja kegembiraan itu juga tampil dalam wajah anaknya.
Berdasarkan pengalamannya dalam berkarya seorisinal mungkin, Ipong berpendapat lukisan itu tak harus indah. Kendati demikian, jangan sampai lukisan itu tidak menarik dan tidak charming. Maka walau bentuk-bentuk tampilannya adalah deformatif disertai warna-warna kontras, lukisan itu haruslah tetap dapat merekam jejak-jejak rasa yang dalam. Jejak rasa yang dalam itu kelihatan dengan amat jelas dalam karyanya yang baru All we need is love. Seluruh warna dalam lukisan itu adalah khas Ipong: terang yang selalu dibungkusnya dalam kegelapan. Mungkin itulah gambaran dan penemuan diri Ipong, ketika ia sudah mau menginjak usia lanjut.
Tapi anehnya, di lain pihak sepasang figur yang dilukisnya, lelaki dan perempuan adalah figur-figur muda yang penuh gairah. Keduanya berpelukan dengan mesra. Seakan tak ingin lagi terlepas satu dari lainnya. Dinamika kemesraan itu terasa dalam goresan-goresan garis Ipong yang keras. Sementara rahasia kemesraan itu tetap disembunyikan dalam pilhan warnanya yang gelap. Perpaduan ini menampilkan sepasang wajah, yang bergairah. Dalam kegairahan itu orang serasa boleh merasakan nikmatnya kemesraan, seperti tampak dalam sepasang figure yang ditampilkan Ipong, lebih-lebih pada figur wajah perempuannya.
Mungkin itulah cinta dalam rasa seni seorang Ipong. Di sana ia mengajak kita semua bermuara pada kata: all we need is love. Ipong telah mengembara lewat kebebasannya yang liar, bawah sadarnya yang gelap, hasrat dekoratifnya yang tak terbendung. Semuanya itu memberinya sensasi. Dan sensasi itu tertinggal dan terbaca dalam lukisan-lukisannya. Ternyata, muara dari segala kebebasan, bawah sadar dan hasrat dekoratifnya, dan kesensasionalnya akhirnya adalah cinta. Mungkin cinta inilah yang akan dibawanya sebagai sangu untuk pamit pensiun. Cinta itu kiranya takkan pernah padam. Semoga karena cinta itu juga takkan pula padam hasrat untuk berkarya…dalam kebebasan… Pong, selamat pensiun menuju kebebasanmu ya!
Yogyakarta, 17 Januari 2015
Sindhunata
Wartawan dan Kurator Bentara Budaya