Mungkin ini hanya kebetulan. Mungkin ada artinya. Ardus -- wartawan Kompas, kurator Bentara Budaya, anggota dewan pakar Senawangi --- berpulang ketika saya sedang berkeliaran di Jawa Tengah. Jadi saya bisa hadir di rumah duka dengan cepat.
Saya menyesal tidak langsung ke Solo selagi dia dirawat di ICU sebuah rumah sakit karena jantung bermasalah. Meskipun tidak diijinkan masuk ke ruangan yang dijaga ketat itu tapi paling tidak kita bisa mengintip dari balik kaca.
Tapi sesal kemudian memang tak berguna. Teman selagi muda dan sahabat setia itu meninggal pada dini hari Minggu 30 Januari 2022, empat bulan sebelum mencapai usia 72 tahun. Ia meninggalkan seorang isteri, tiga anak lelaki, satu menantu, dan satu cucu.
"Bersyukur Mas Ardus tidak tampak kesakitan. Seperti hanya tidur pulas," kata isterinya Retno sambil memandang jenazah Ardus yang terbaring di sebuah peti terbuka berwarna putih. Ardus juga mengenakan setelan baju lengan panjang dan celana berwarna putih.
Aneh rasanya melihat dia terbujur diam di situ, tidak ikut berbicara, dan tidak mendengar komentar atau tertawanya yang khas.
Ini ruang tengah rumah yang dia usahakan bernuansa Jawa lama lengkap dengan pintu masuk berukir yang begitu rendah sehingga orang harus membungkuk untuk melewatinya.
*
Ardus M. Sawega, banyak teman semasa muda mengenalnya sebagai Sancoyo, lahir dalam keluarga Jawa dan sampai meninggalnya lekat dengan budaya Jawa.
Tidak mengherankan kalau kiprahnya di dalam kegiatan seni budaya memperlihatkan akar tradisinya tersebut. Mereka yang membaca tulisannya di Kompas akan merasakan bahwa dia tidak sekedar menuliskan tugas jurnalistiknya tetapi sekaligus juga pernyataan eksistensialnya. Itu kentara betul antara lain ketika membuat ulasan tentang pertunjukan tari. Sederhananya: passion-nya memang di situ.
Itu yang saya maksud ketika menjawab pertanyaan seorang wartawan koran Solopos yang siang tadi bertanya tentang Ardus. Mungkin kedengaran ekstrim tapi saya melihat Ardus menikmati betul berkiprah sebagai aktivis kegiatan seni budaya, lebih daripada ketika mengerjakan laporan jurnalistik yang memang sudah menjadi tugas sehari hari.
Saya bersamanya ketika meliput kongres bahasa Jawa di Semarang tahun 1980-an. Di situ muncul berbagai kenyataan yang ironis. Kongres bahasa Jawa dilaksanakan dengan bahasa pengantar bahasa Indonesia saja sudah boleh dipertanyakan (dan dimaklumi).
Tetapi banyak pidato berapi-api untuk mempertahankan bahasa Jawa dari kepunahan, namun sangat sedikit yang mau berlangganan media massa berbahasa Jawa tentu lelucon yang tidak lucu. Ardus tampak terpukul dan kelak masih sering menggerundel.
Dalam berbagai rapat Bentara Budaya Ardus sering menempatkan diri sebagai wakil dari kepentingan kelompok seni yang tersingkir. Contohnya adalah kelompok karawitan, yang ternyata terus aktif bermusik di tengah arus baru yang sangat kuat, yang berpaling dari akar tradisinya. Ardus merangkul berbagai krlompok karawitan dari berbagai kampung dan dukuh di sekitar Solo, membujuk mereka untuk tampil di Balai Soedjatmoko yang kemudian menjadi bagian dari Bentara Budaya.
"Mereka sangat bersemangat untuk tampil. Tidak ada honor. Uang secuwil hanya cukup untuk mengangkut peralatan gamelan," kata Ardus. Semula kegiatan pentas karawitan itu dianggap hanya klangenan namun Ardus berhasil menepisnya tanpa kata: kegembiraan untuk menghayati seni tradisional itu tumbuh lagi di berbagai pelosok.
Taktik serupa ia terapkan kepada para pegiat seni keroncong (dan kemudian juga pada irama musik blues & jazz). Komunitas penggemar wesi aji dan keris juga mendapat perlakuan khusus.
Itu semua melengkapi menu awal kegiatan di seputar eksposisi seni rupa, diskusi, atau ceramah sastra. Salah satu hajatan kebudayaan yang masih berkesan di kalangan masyarakat setempat adalah pameran seni rupa dan diskusi "Wong Jowo Ilang Jawané". Itu kegiatan yang menyengat kesadaran para perupa dan penggiat sastra jawa maupun akademisi.
Kita perlu mundur sedikit supaya tidak hanya berbicara tentang berbagai kegiatan tersebut. Ini soal keteguhannya dalam memperjuangkan sesuatu. Istilah "ngotot" mungkin terasa kasar tetapi intinya demikian: kalau sudah punya mau, itulah yang terus diusahakan. Ia ngotot agar Balai Soedjatmoko tidak lagi sekadar "petilasan" atau bangunan yang terletak di jalan utama kota Solo yang punya kaitan dengan semangat belajar Soedjatkoko muda. Maka ia merancang berbagai kegiatan seni dan diskusi --- maaf kalau harus saya katakan bahwa "kalau perlu nombok".
Ketika Balai Soedjatmoko telah menjadi bagian dari Bentara Budaya maka semangatnya makin meluap, dan mungkin membuatnya sering lupa akan kondisi fisiknya. Namun semangatnya untuk berlatih senam pernafasan BEP telah menjaga kesehatannya. Ia kemudian juga menjadi instruktur/ pelatih BEP di berbagai komunitas sehat.
Ia selalu bersemangat. Tentu intensinya bisa berbagai.
Saya teringat ketika ia mengajak untuk memproduksi satu nomor drama "Ariadne". Itu menyenangkan karena saya bisa ikut naik beca (kemewahan bagi saya) dan terkadang makan enak bergizi (apalagi ini). Seorang gadis cantik dari kalangan tinggi di Solo berperan sebagai Ariadne.
Adapun Theseus sang pangeran pecinta tentu saja diperankan sendiri oleh Ardus sekaligus sebagai sutradara.
Kita tahu kemudian bahwa Ariadne dan Theseus di abad 20 tidak dipersatukan oleh nasib di dunia nyata. Itu tidak jadi soal karena saya sudah kenyang naik beca dan makan enak.
*
Di luar itu Ardus setia kawan. Ia mengantar dan menunggui saya ketika belajar mewawancara untuk kemudian hasil tulisan dimuat di majalah Midi tempat ia bekerja. Ketika saya menggelandang di Jakarta ia mengantar saya ke berbagai tokoh publik misalnya penyanyi Zwesty Wirabuana yang kemudian dimuat di Kompas.
Ardus adalah dewa penolong saya di samping Jimmy S Harianto yang menyelundupkan saya untuk ikut tidur di mess Kompas jalan Kramat Kwitang, dan memberi jatah makan. Kami bertiga berasal dari kota kecil yang sama dan sering diolok sebagai "trio soloensis". Kini Ardus sudah pergi sehingga tinggal duo.
Selamat jalan Ardus.
Solo, 30 Januari 2022