Hidup saya itu susah. Miskin. Dan sampai sekarang saya ini buta huruf. Maaf aja,” katanya. Sejak usia remaja, Warsad berdagang tahu karena orangtuanya pembuat tahu. Sambil berjualan tahu itulah, ia selalu hadir jika ada pergelaran wayang golek. Warsad selalu berusaha menempatkan dagangannya di dekat kelir sang dalang, untuk terus mendengar dan mengamati bagaimana dalang wayang golek beraksi. Tidak ada pilihan selain dagang, karena ia takut menolak tugas dari orangtuanya.
Siang dan malam ia berdagang, Dengan pedal sepeda yang belum bisa diraih dengan kaki, Warsad tiap hari membeli kacang tanah bahan pembuat tahu. Orangtuanya hanya bisa membeli 5 kg kacang tanah setiap hari dari pedagang Cina. Si babah rupanya kasihan pada Warsad kecil yang lugu. “Warsad, kamu mau bawa pulang 10 kg kacang? Nanti bapak kamu bayarnya boleh dicicil,” kata si babah.
Sejak saat itu, Warsad bahkan disuruh membawa pulang 10 kg kacang tanah. Begitu dagangan tahu habis, barulah Warsad membayar utang ke pedagang Cina tadi. Jumlah kacang yang boleh dibawa Warsad terus bertambah, menjadi 25 kg saban hari. “Kamu kuat tidak bawa kacang 25 kg dengan sepeda kamu, kata pedagang itu. Soalnya pedal sepeda belum kejawil kaki saya,” kata Warsad. Waah..Warsad kini harus memboncengkan kacang tanah 25 kg tiap hari.
Yang mengejutkan lagi, si babah penjual kacang kian percaya pada usaha orangtua Warsad. “Dia akhirnya mengirim kacang tiap hari setengah kuintal ke rumah saya. Wadduuh..kacange dianter dengan dokar punya babah pemilik toko tadi,” kata Warsad. Orang- orang sekampung jadi keheranan, dengan kemajuan “pabrik” tahu milik ayah Warsad. Saat itu, usia Warsad menginjak 16 tahun.
Karena dipandang sudah gede, Warsad pun dinikahkan. ”Tapi saya ora seneng sama deweke (tidak senang pada istrinya). Saya tinggal dia ke Cirebon. Melarikan diri saya.........,” kata Warsad ketawa. Jarak desanya di Indramayu ke Cirebon, bukanlah jarak yang dekat, lebih 70 km, apalagi kondisi transportasi dan jalan di tahun 1960-an tentulah memprihatinkan.
Di Cirebon Warsad kemudian ikut seorang majikan yang menguasai ilmu kerohanian. Ia seorang yang suka menolong lelakinya membuat Warsad ingin punya banyak teman lelaki di kampungnya. Ia lalu membuat beberapa tokoh wayang dari kertas dan memainkannya sekenanya.
Pancingannya berhasil, karena anak-anak lelaki kecil dan dewasa di desanya berkumpul di rumahnya. Ia meminta mereka memainkan instrumen gamelan sekenanya. Kain saringan tahu dipakainya sebagai kelir (layar) tempat pertunjukan wayang, drum bekas wadah tahu dijadikannya gong, dan modal satu-satunya hanya sebuah gendang butut untuk main reog. Pada usia sekitar 18 tahun kelakukan Warsad mendalang dengan wayang kertas itu menimbulkan rasa geli para tetangganya. “Sampe ada tetangga yang omong,’Kowek iki turunan dalang golek’ (kamu itu turunan dalang wayang golek), bukan dalang kertas,” kata Warsad menirukan tetangganya.
Warsad kemudian “dipaksa” oleh para nayaga tua di desanya untuk mendalang sungguhan. Tetangganya meminjam wayang golek dari beberapa orang dan terkumpulah 20 sosok golek papag khas Indramayu. ”Waaah...saya bingung, bagaimana nanti kalau pas ndalang kencing? Ceritae bae ora ngarti...,” kata Warsad sewot menghadapi keadaan darurat. Dia kemudian ingat, semasa jualan tahu bertahun-tahun, dia selalu mencatat lakon-lakon itu dalam ingatannya.
Soal cerita dan urutan mendalang, Warsad muda justru dipandu sejumlah panjak (nayaga) Indramayu yang biasa mengiringi dalang lain. Dan ketika ia dan “grupnya” baru belajar seminggu, sudah datang tanggapan, permintaan untuk mendalang karena musim panen padi telah tiba. “Cincing-cincing teles.
Dicincing tetap teles. Uwis kebacut arep dadi dalang...(kepalang basah menjadi dalang), ia pun memberanikan diri mendalang. Namun ia tidak sanggup hanya mengandalkan kemampuannya yang masih mentah dan polos untuk tampil.
Akhirnya ia tanya pada dukun. Uang yang diminta dukun besar sekali, Rp 10.000—setara dengan 20 ton beras waktu itu.
Ia tak sanggaup membayar uang sebegitu besar. “Saya hanya minta ada kemajuan panggung saya. Saya kesini saja minta-minta tetangga ongkosnya. Bagaimana kalau Pak Dukun, saya bayar 10 kali pentas, satu pentas duitnya untuk Pak Dukun,” kata Warsad.
Di luar dugaan, pentas pertamanya batal secara mendadak. “Itu sudah zaman PKI itu. Jadi pentas wayang golek sempat dilarang,” kata Warsad. Ia mencatat tahun 1963, saat ia mulai menjadi dalang, dalam setahun hanya 9 kali dapat tanggapan, dan tahun berikutnya apes peees...Cuma sekali pentas dalam setahun!
Saat itulah, ia mendengar komentar buruk orang tentang dirinya: Warsad kuwi dalang ditembelekin ayam! Ora payu (Warsad dalang kena tai ayam, makanya tidak laku). “Saya nyesel...sediih,” kata Warsad.
Ia lari lagi ke Cirebon, minta “jalan” ke dukunnya. Dukun itu malah memaki-maki Warsad, dan mengulangi cerita Warsad, Warsad memang dalang ditembelekin ayam. Dia mendapat ejekan dan pelajaran penting: wirange dalang, yen ora payu (malu hatinya dalang itu jika dalang tidak laku).
”Sudah sana, kalau kamu mau jadi dalang sanggup tidak makan nasi ketan selama 40 hari?” kata pak dukun. Warsad mencobanya, tetapi ia tak sampai ujung. “Saya hanya sanggup puasa 21 hari, sambil ngecat wayang golek majikan saya,” kata Warsad. Namun begitu selesai puasa datang tawaran mendalang untuk “rendengan” dengan bayaran murah, karena bukan musin panen di utara Jatibarang.
Sejak itulah nama Warsad mulai diminati petani-petani kaya yang merayakan hasil panenan mereka di sisi barat Sungai Cimanuk—daerah pertanian subur di Jawa Barat.
Sejak tahun ketiga menjadi dalang itulah, “karir” Warsad mulai meroket: 60 kali tanggapan setahun. Tahun berikutnya 80 kali tanggapan setahun, dan meningkat sampai rata-rata 150 kali tanggapan setahun.
Menarik dicatat, selama sembilan tahun pertama karirnya (1962-1971), Warsad belum memiliki gamelan dan wayang golek sendiri. Ia mendalang dengan wayang dan gamelan pinjaman milik bos wayang golek. Tidak tanggung-tanggung, Warsad menyewa tiga set wayang golek (tiga peti besar), karena permintaan mendalang bertubi-tubi. Satu set wayang (terdiri sekitar 200 tokoh wayang), disiapkan di sisi timur Sungai Cimanuk, satu set lain di sisi barat Sungai Cimanuk, dan satu peti wayang terakhir ditaruh di luar Indramayu, di sekitar daerah Haurgeulis. Itulah mengapa, ia juga “memiliki” sekitar 30-40 nayaga yang dibagi-bagi tugasnya, dan nyaris tiap hari bergerak ngalor- ngidul mengikuti kemana Warsad mendalang. “Saya ke mana-mana naik sepeda sebagai dalang,” kata Warsad.
Honornya Rp 5.000 sebagai dalang pun dibagi tiga: Rp 2.500 untuk para panjak (nayaga), Rp 1.000 untuk sewa wayang golek dan gamelan, dan Rp 1.500 untuk ki dalang. “Waktu itu, uang Rp 5.000 itu dapat beras kira-kira 10 ton.”
Namun kerjasamanya dengan majikan pemilik wayang dan gamelan bubar, setelah bolak- balik Warsad mendengar rasanan dan tuduhan sang majikan bahwa Warsad dianggap utang beras berton-ton karena sewa wayang dan gamelannya dianggap kurang. “Saya ini dianggep utang beras 15 kilogram dikalikan 150 kali pentas dikalikan 9 tahun. Waaaduuh....padahal saya ini paling lurus- lurusnya orang Pak………..,” kata Warsad terkekeh-kekeh.
Sejak konflik bagi hasil memuncak itu peti-peti wayang golek dan gamelan yang disewanya, ditarik oleh juragan pemiliknya. Panik karena sudah dijadwal mendalang, sejak saat itu Warsad bekerja habis-habisan membuat sendiri berbagai tokoh wayang yang dibutuhkannya. Ia meniru dan memodifikasi tokoh wayang dengan pengerjaan bagus dan cermat.
Keterampilannya membuat wayang golek, terus berlanjut dengan membuat topeng-topeng yang biasa untuk tarian topeng. ”Bu Wangi Indriya, baru saja datang kemari mengambil topeng- topeng pesanannya. Kalau tidak ada pembuat topeng seperti kami, tari topeng Cirebon dan Indramayu tidak akan terus,” kata Warsad.
Wangi Indriya, dan sejumlah sanggar tari di Cirebon dan Indramayu mengakui, mereka antara lain mengandalkan Sanggar Jaka Baru milik anak- anak Warsad yang memproduksi topeng, pakaian penari topeng, wayang golek, lukisan kaca, serta menyediakan tanggapan seni karawitan Dermayu.
Warsad bukan cuma laku di Indramayu, ia juga dipanggil mendalang ke Kabupaten Subang, Majalengka, Cirebon (Jabar), tetapi juga sampai di Kabupaten Brebes, dan Tegal di Jawa Tengah (Jateng).
“Warsad, Brabar Koal”
Seiring perjalanan usia dan prubahan zaman, karir Warsad pun mulai surut di tahun 1980-an, bukan karena tak bisa lagi mendalang, tetapi karena hiburan desa telah digantikan musik tarling, dangdut, organ tunggal, dan gempuran siaran televisi.
Sejak 1980-an, frekuensinya mendalang merosot hanya 70 kali setahun, 1990-an turun lagi jadi 60 kali, dan 1994 tinggal 40 kali dalam setahun.
Namun tahun 1994, ia diundang keliling Jepang, mengisi agenda perhelatan pesta olah raga internasional. Bersama 13 orang panjaknya ia mendalang selama 20 hari antara lain di Tokyo, Osaka, Kyoto, dan Hiroshima.
”Sekarang ya sudah jarang. Baru tiga kali tahun ini,” kata Warsad berscerita tanpa beban lagi. Karirnya sebagai dalang populer dan serba bisa, kini sudah digantikan toleh empat dari lima orang anaknya.
Bahkan rumahnya, tempat Sanggar Jaka Baru beroperasi, ibarat pabrik seni rakyat Indramayu saat ini. Saban hari, beberapa lelaki memperoduksi topeng, wayang golek, lukisan kaca, dan berbagai perlengkapan kesenian setempat.
Anak pertamanya perempuan bernama Cinati, kini menjadi sinden wayang golek. Anak kedua Suyatno menjadi pembuat topeng (kedok), anak ketiga Rasnoto (lahir tahun 1976) menggantikannya sebagai dalang wayang golek. Sedangkan Oni (30) anak keempatnya dan Rulti (28) menjadi pembuat topeng dan wayang golek. Kelima anaknya pun selalu terlibat sebagai panjak dan sinden manakala Rasnoto mendapat job mendalang.
Rumahnya sebenarnya bengkel wokshop kriya untuk berbagai barang kerajinan itu, termasuk pabrik “sisingaan” atau tandu mainan anak-anak yang oleh anak-anak Warsad dimodifikasi jadi kereta dorong beroda berbentuk patung kerbau dan kuda sangat besar setinggi 2-4 meter dengan panjang antara 3-6 meter. Kereta kerbau berwarna hitam besar dengan tanduk kerbau sungguhan itu, terlihat angker menghiasai ruang tamu miliknya. Saking besarnya kereta kerbau itu, orang yang menyewa harus menggunakan trailer untuk mengakutnya keluar desa. Di rumah itu, kini ada 20 ”kebo- keboan” gede yang disewakan untuk pesta-pesta sunatan anak, dan hajatan adat.
Warsad dan generasi penerus seni tradisi desa Gadingan itu tak rubuh oleh perubahan.
Malahan wangsa seni tradisi dari Gadingan itu bisa tumbuh-bersemi. ”Tapi semua kesenian tradisonal sekarang ini kalah dengan organ tunggal. Tapi saya puas jadi dalang. Puji syukur karena saya sudah sampai ke ujungnya. Sekarang saya ini brabal koal— orang bebas,” kata Warsad.
Pembuatan topeng, wayang golek, wayang kulit tak bisa lepas dari “konsumen” grup-grup tari, dan dalang yang masih tumbuh subur di Cirebon dan Indramayu. Ketua Dewan Kesenian Indrayamyu, Sayidin mencatat jumlah dalang wayang kulit di Indramayu sekitar 30 orang, sedangkan dalang wayang golek papag 6 orang. ”Cerbon jumlahnya lebih banyak, ada 100- an orang dalang wayang kulit.
Dalang golek 6 orang, dan satu orang dalang wayang babad kreasi baru,” kata Made Kosta, Sekretaris Disbudpora, Kabupaten Cirebon menambahkan.
Sebaliknya penjualan wayang kulit dan wayang golek, serta gamelan dari kalangan dalang, bukannya tak terjadi. Dalang wayang kulit Indramayu, Ki Taham (82) misalnya, sudah melepas sejumlah tokoh wayang kulitnya karena desakan ekonomi.
Pelukis kaca Rastika menambahkan ia siap menjual koleksi wayang kulitnya meski salah satu anaknya berprofesi dalang. ”Dijual karena anak saya sudah punya wayang dewek, “ ujar Rastika.
Desa Gadingan, Kecamatan Sliyeg rupanya memang desa seni yang “gemuruh”. Ini mirip Kabupaten Klaten di Jateng, di mana penduduk di berbagai pelosok desa seperti”berlomba” menciptakan peluang usaha dengan industri rumahan, kerajinan, peternakan, makanan, dan macam- macam usaha. Gadingan, bukan cuma “tanah air” para dalang wayang (dalang Warsad, dan dalang Taham misalnya), tetapi juga Sanggar Tari Tembi, dan puluhan sanggar-sanggar dan grup tarling, organ tunggal, dangdut, sintren, dan seterusnya. Mudah sekali Anda mendeteksinya: masuklah ke gang-gang desa, segera Anda akan berjumpa dengan belasan papan nama yang menawarkan hiburan-hiburan dan kerajinan tadi.
Regenerasi kesenian Desa Gadingan, bukan hanya mulus tetapi juga boleh disebut mencapai pertumbuhan yang luar biasa.
Warsad Darya dianggap tokoh penting desa itu karena kharisma dan perhatiannya pada anak-anak muda, sedangkan semua anaknya dan pemuda-pemuda Gadingan tengah mereproduksi berbagai seni tradisi sesuai bakat dan lingkungan mereka sendiri.
Saat keluar dari desa Gadingan, lampu-lampu listrik sudah menyala, bersama hujan yang turun lagi di tanah berlumpur Gadingan.
Dalang Warsad, meneruskan celotehnya dengan sekitar tujuh pemuda desa yang asyik memahat kedok-kedok yang siap dibawa ke Bentara Budaya Jakarta untuk dipamerkan 13-23 Juni 2013.***
Warsad Darya
Lahir: Tahun 1942 di Desa Gadingan, Kecamatan Sliyeg, Indramayu
Profesi: Dalang wayang golek sejak 1962, pembuat wayang golek (1970-an), pembuat topeng, pemilik Sanggar Jaka Baru
Istri: Daspen (64)
Anak-anak:
Cinati (43, perempuan sinden Suyatno (40, pembuat topeng) Rasnoto (37, dalang wayang golek)
Oni (30, pembuat topeng) Rulti (28, pembuat topeng). Kelimanya pun tak asing sebagai panjak (nayaga, penabuh gamelan)
*tulisan ini pernah dipublikasikan dalam buku Warisan Budaya "WANGSA CERBON-DERMAYU" yang diterbitkan oleh Bentara Budaya Jakarta