Lahir dan besar dalam lingkungan pertanian padi tampaknya tidak membuat perjalanan hidupnya terjun ke sawah terjebur lumpur. Tampak sekali lebih menekuni wilayah lain yang penuh dengan keharmonisan irama dan keserasian laras gamelan. Dunianya adalah panggung kesenian berwujud teater tradisional, wayang golek menak.
Jika dunia pertanian sejak dulu mengenal diversifikasi usaha tani melalui pola tanam, intensitas tanaman, jenis dan keragaman komoditas, upaya Ki Dalang Warsad juga tampak demikian. Sejak sekitar tiga puluh tahun lalu hingga pada masa tuanya kini seperti mencuat diversifikasi usaha seni. Awalnya hanya kesenian wayang golek menak, kini di lingkungan rumahnya yang menjadi sanggar seni, bertambah pula dengan diversifikasi jenis dan keragaman kesenian lainnya: seni berokan, seni kebo ngamuk, seni arak-arakan berbagai replika binatang, seni rupa kedok untuk tari topeng, seni rupa wayang golek, seni rupa berokan, dan beberapa kerajinan tangan yang terbuat dari kayu.
Di antara jenis dan keragaman itu, Ki Warsad tetap berpendapat jenis unggulannya adalah wayang golek menak. Karena kesenian itulah yang pertama kali menyeret dirinya dalam pusaran kehidupan berkesenian. Sejak kecil hingga remaja dia sudah akrab dengan wayang golek menak karena sering menonton. Pada masa itu imajinasi seperti menyeret-nyeret dalam dunia wayang golek, yang kemudian terekspresikan dalam beberapa hal. Dia seringkali membuat wayang golek yang terbuat dari daun- daun singkong ataupun hati pohon pisang. Dengan benda itu ia memainkan sebagaimana layaknya seorang dalang. Beberapa teman kecilnya pada dekade 1950-an itu juga seperti kompak dengan suara tetabuhan yang bersumber dari beberapa benda yang dibunyikan: baskom, ember, drum minyak, ditambah kendang reog.
Siapa sangka dari berkesenian yang terlihat bermain-main tersebut pada perjalanan berikutnya ia menjadi dalang terkenal. Siapa menduga dalang kampung itu pada tahun 1960-an hingga 1980-an memiliki undangan pentas hingga mencapai 150 panggungan per tahun. Panggungannya di beberapa wilayah se-antero Indramayu, Cirebon, Majalengka, Kuningan, Subang, Karawang, Bandung (Provinsi Jawa Barat), Brebes, Tegal (Provinsi Jawa Tengah), dan Jakarta (Provinsi DKI Jaya). Hingga ia pun diajak berpentas di negeri sakura, Japang, pada tahun 1994.
Di Tokyo, Osaka, Hiroshima, Hitachi, dan kota-kota lainnya di Jepang selama 22 hari pada musim semi Ki Dalang Warsad memainkan wayang goleknya. Lakonnya selalu sama, yakni “Raden Panji”. Saat itu dia merasakan suasana yang berbeda dibandingkan berpentas di kampungnya. Sebab dia mendalang dengan menggunakan bahasa sebagaimana mestinya (bahasa Jawa dialek Indramayu), tetapi penonton selalu penuh di setiap pertunjukan dan tampaknya tidak mengenal bahasa yang dia ucapkan. Selesai berpentas Warsad senantiasa mengamati. Ternyata masing-masing penonton diberi buku petunjuk semacam brosur wayang golek “Jumlah buku yang dibagikan banyak sekali. Diangkut truk kayaknya sih,” ujar Ki Dalang Warsad sambil tersenyum mengingat-ingat.
“Sampé sekiyen masih kepikiran, priwén ya jaré wong Jepang,” ujar Warsad dalam bahasa Jawa- Indramayu, yang maksudnya sampai sekarang masih ada dalam pikirannya, bagaimana penampilan mendalangnya kata orang Jepang. Mungkin hal ini bisa dihubungan dengan pendapat Fuad Hassan (1991:152), bahwa seni memuat anasir estetika. Ukuran keindahan tidak bebas dari subjektivisme, namun sulit kiranya melepaskan seni dari suatu estetika itu. Jika kita tidak melepaskan matra estetika sebagai kriteria cipta seni, maka niscaya tidak akan terjadi pembauran antara apa yang seni (art), yang kriya (craft), dan yang hiburan (entertainment).
Warsad memang tidak memiliki pemikiran sampai ke sana dalam menganalisis seni, kriya, dan hiburan dalam pergelaran wayang goleknya. Yang jelas, berpentas di luar negeri merupakan kenangan manis di antara pentas-pentas lainnya di wilayah sendiri. Kenangan manis juga ia rasakan dulu pada tahun 1960-an hingga hingga 1980-an, yang bisa mencapai 150 panggungan/tahun.
Kini di rumahnya yang sederhana di Desa Gadingan, Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat dia selalu melayani tamu dengan ramah dan apa adanya, yakni selalu blegiran atau bertelanjang dada; dan bercelana komprang atau berukuran pendek di bawah lutut, tanpa sabuk, hanya dengan pengikat karet. Seringkali pula dia duduk seharian di gubuk belakang rumah sambil menekuni pembuatan wayang golek, kedok tari topeng, maupun lainnya.
Di ruang tengah rumahnya yang berdinding anyaman bambu terpajang beberapa piagam penghargaan. Di antaranya dari Kepala Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat (1980), Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Indramayu (1991), Kepala Museum Negeri Jawa Barat “Sri Baduga” (1999), Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat (2011), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2014).
Piagam Penghargaan juga diperoleh Ki Dalang Warsad sebagai penerima Anugerah Kebudayaan dan Masetro Seni Tradisi dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (2019), dan penerima Anugerah Seni dan Budaya Indramayu dari Bupati Indramayu (2021).
***
“Saya tidak belajar mendalang secara langsung kepada dalang tua,” tutur Ki Dalang Warsad.
Pernyataan itu benar adanya. Padahal saat Warsad kecil hingga remaja lingkungan di desanya dan beberapa desa tetangga banyak dalang wayang golek. Termasuk juga sepupu ayahnya, Dalang Masta. Bahkan buyutnya juga adalah dalang wayang golek cukup terkenal pada masanya, Dalang Dasipan atau Dalang Daim. Di sekitar Kecamatan Sliyeg memang dikenal sebagai wilayah potensial kesenian tradisional. Tetapi Warsad kecil justru tidak sekalipun masuk sebagai cantrik sebuah kelompok kesenian. Karena alasan kemiskinan, dia dibebani orang tuanya untuk berdagang tahu secara berkeliling. Alasan tersebut juga menjadikan Warsad kecil tidak bisa masuk sekolah rakyat secara rutin. Dia kadang masuk sekolah, kadang tidak. Hingga kelas tiga dijalani juga keadaan seperti itu, sampai akhirnya benar- benar keluar. Tentu saja orang tuanya juga tidak terlalu memprioritaskannya.
Warsad mengaku lahir sekitar tahun 1943. Kata orang tuanya dia terlahir pada hari Rabu bulan Jumadil Akhir, dan tanggalnya tanggal tua. Tentu saja momentum tersebut dia tidak tahu. Warsad hanya ingat hari-hari dalam masa kecilnya diisi dengan berdagang tahu. Setiap hari dia memikul tahu untuk dijajakan dengan berkeliling desa maupun desa tetangga. Jika tahunya habis, segera ia pulang ke rumah untuk mengambil tahu kembali, lalu dijajakan lagi. Satu hal yang membuatnya bahagia jika tengah berdagang tahu di tepi arena tontonan wayang golek. Jika pada musim kemarau selepas panen padi, hiburan semacam itu hampir digelar setiap hari pada orang hajatan maupun acara adat desa di halaman balaidesa, perempatan jalan, areal persawahan yang kering, ataupun areal pekarangan kuburan, baik di desanya sendiri maupun desa tetangga.
Kebahagiaan itu bukan hanya karena tahu-tahu yang ia jajakan cepat habis. Lebih dari itu Warsad kecil seperti hanyut pada imajinasi lakon golek dalam irama gamelan yang membuat hatinya merasa asyik. Selama bertahun-tahun apresiasi seperti itu belangsung dengan penuh perhatian. Lakon-lakon golek seperti merasuk dalam jiwanya. Demikian pula irama gamelan. Dia juga akhirnya memahami dengan seksama dua jenis laras gamelan dalam pergelaran wayang golek menak, yaitu laras pelog dan slendro, tetapi laras slendro di daerahnya sedikit berbeda sehingga lebih dinamakan sebagai laras prawa. Pada dasawarsa tersebut dalang wayang golek yang terkenal adalah Dalang Masta, yang merupakan sepupu ayahnya, Dalang Daman dari Tugu, dan Dalang Kaswad juga dari Tugu. Warsad sangat menikmati kepiawaian dalang-dalang tersebut dalam memainkan wayang golek. Dia menyelami lakon secara mendalam, sehingga bisa membuatnya hafal di luar kepala pada setiap lakon. Wayang golek di Indramayu sangat berbeda dengan wayang golek purwa atau wayang golek Sunda. Di Indramayu wayang golek memanggungkan tiga jenis lakon, yakni cerita panji, menak, dan babad. Hal ini berbeda dengan wayang golek Sunda yang melakonkan mahabharata dan ramayana, sebagaimana wayang kulit purwa.
Kebahagiaan Warsad mulai surut ketika menginjak masa remaja. Seperti ada gejolak psikologis pada masa itu. Ia terombang-ambing antara apa yang diinginkan dengan apa yang menjadi kenyataan. Apakah akan meneruskan berdagang tahu secara total dalam wiraswata yang lepas dari orang tuanya, ataukah terjun ke sawah sebagai buruh tani, ataukah menekuni dunia wayang dengan ikut rombongan kesenian yang ada. Kegamangan menyergap jiwanya. Ada tanda-tanda kejenuhan jika hari-harinya senantiasa dalam panorama lingkungan rumah, persawahan, dan jalan-jalan desa, serta orang-orangnya. Hal inilah yang kemudian membuat dirinya memutuskan untuk pergi ke luar daerah.
Pilihannya adalah menuju rumah “orang pintar” di Cirebon, yakni di sekitar daerah Tangkil. Ia seperti memasrahkan jiwanya pada orang tua tersebut. Mau diapakan saja, siap diperintah apapun, yang penting di rumah itu ia mendapatkan ketenteraman batin. Pilihan Warsad agaknya tidak salah, sebab di rumah itu juga ada 32 orang yang ingin medapatkan ketenteraman hati juga. Berbagai wejangan dan nasihat ia ikuti. Demikian pula ritual mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Hari-harinya penuh warna kembali, serta bisa berfokus pada satu hal dalam rutinitas keseharian. Sebagaimana perintah tuan rumah, dia bertugas memelihara kuda. Tugas tersebut dijalani Warsad dengan senang hati. Menyabit rumput untuk makanan kuda adalah salah satu tugas rutin itu. Tetapi dari situ pula terjadi insiden kecil. Saat Warsad remaja tengah menyabit rumput tiba-tiba ada seseorang yang menuduhnya mengambil keranjang rumput. Tuduhan itu langsung mengarah pada dia sebagai maling. Bahkan orang itu memukulnya dengan kayu dari tumbuhan singkong.
Warsad tak melawan. Ia pasrah saja akan apa yang diterima dari aksi orang tersebut. Tubuhnya lebam, keranjangnya dirampas orang. Akhirnya setelah pamit pada majikan, ia pulang kembali ke rumahnya di Gadingan. Tentu saja dia telah memperoleh berbagai pengalaman yang penuh perenungan. Kembali ke desa membuat dirinya planga-plongo (terpana dan tak berbuat apa-apa). Apalagi adiknya juga tidak ada. Suasana desa kembali mengantarkan jiwanya pada kerinduan. Ingin menemukan kembali masa kecil yang selalu diwarnai irama gamelan dan lakon wayang golek. Tetapi situasi sudah berubah. Teman-teman masa kecilnya entah ke mana. Mungkin sudah beristri lalu menekuni kerja mencari sesuap nasi. Mungkin juga ada yang sudah menjadi anggota rombongan kesenian, lalu hidup dari panggung ke panggung.
Untuk membunuh rasa sepinya secara iseng ia membuat wayang dari kertas. Benarlah, dengan wayang-wayang kertasnya itu tidak lama ia melakoni masa kesepian. Dia juga menemukan kembali imajinasinya. Ya, ia kembali menekuni pembuatan wayang. Lalu, situasi kembali seperti masa dulu, sebab dulu juga Warsad selalu dikerubuti teman-temannya. Bersama teman-teman lama ia memanggungkan wayang kertas --dengan tetabuhan layaknya pada masa kecil dulu-- yakni suara dari baskom, ember, drum minyak, dan kendang reog. Pada pergelaran wayang itu ia tirukan wayang kulit dengan menggunakan kelir, yang ternyata bahannya terbuat dari kain bekas saringan tahu.
Pertunjukan dolanan itu sering ia lakukan bersama para nayaga teman-temannya. Para tetangga dan teman sebaya lainnya juga acapkali menyaksikan bagaimana Warsad mendalang di pelataran rumah. Hingga pada suatu hari ada seorang nayaga dari kelompok seni wayang golek di desanya yang menegur dia, “Kamu itu main wayang golek, bukan. Main wayang kulit, juga bukan.”
Teguran tersebut membuat Warsad malah menjadi bingung. Ia tidak menemukan hal yang sebenarnya. Ihwal wayang golek itu bagaimana, ihwal wayang kulit itu bagaimana. Berhari-hari ia merenung. Dia juga kerap kali hadir dalam tiap pertunjukan wayang di desa sendiri maupun desa tetangga, baik wayang golek maupun wayang kulit. Melalui pengamatan ia banyak belajar dan menimba ilmu. Di situ pula mencuat lagi rasa puas dan asyiknya.
Puncak kepuasan dan keasyikan itu terjadi ketika di halaman balaidesa di desanya sendiri digelar pertunjukan wayang golek selama tujuh malam berturut-turut. Warsad seperti menemukan mata air yang mengaliri dahaganya. Kesejukan langsung terasa pada batinnya. Selama seminggu itu dengan seksama mata dan mata batinnya benar-benar mencerna. Tak pelak pula sesudah acara itu ia berkumpul lagi bersama teman-temannya untuk menggelar wayang golek di pelataran rumahnya. Kebetulan beberapa wayang golek terbuat dari kayu jaran sudah bisa ia buat. Gamelan terbuat dari besi juga sudah bisa dibuat bersama teman-teman.
Penonton kembali berkerumun. Warsad remaja seperti dalam kepungan kekaguman orang-orang yang menyaksikan, karena sabetan dan suaranya dalam memainkan wayang golek mulai memukau. Beberapa cerita juga mampu dilakonkan. Hingga pada suatu hari ia diajak Pak Kuwu Kamiyad, kepala desa setempat, agar kelompok wayangnya bermain di halaman balai desa. Awalnya dia terkaget-kaget, tidak percaya. Tetapi dalam batinnya dia bertekad untuk tetap tenang dan siap melaksanakan ajakan itu. Ajakan Pak Kuwu itu sama saja dengan melakukan legitimasi adanya dalang baru bernama Warsad.
Sejak tahun 1962 itulah dia mulai berkiprah sebagai dalang wayang golek dalam usia 19 tahun. Beberapa order panggungan mulai didapatkan. Tetapi peralatannya masih sangat sederhana. Gamelan pun terbuat dari besi. Tetapi dia sudah bisa membedakan wayang golek dengan wayang kulit, termasuk pada tembang suluk-suluknya. Wayang golek memiliki suluk yang mengikuti tembang macapat dengan beberapa pupuh. Ketika ditonton seorang pejabat tingkat kawedanan, Warsad diberi masukan. Wedana tersebut, Pak Masnun, mengatakan bahwa Warsad itu orang Gadingan, kenapa tidak menggunakan gamelan milik Pak Narpan yang juga orang Gadingan, dan terkenal memiliki delapan set gamelan perunggu yang bagus-bagus.
Dari situlah Warsad berkenalan dan akrab dengan Pak Narpan. Di situ Warsad banyak diberi gambaran tentang model-model golek. Ia juga makin mengakrabi laras pelog dan prawa pada gamelan perunggu tersebut. Ketika ditabuh suaranya terasa empuk dan nyaman. Pertemuan dengan orang tua yang wawasannya kaya itu membuat Warsad banyak belajar. “Pak Narpan itu tugasnya sebagai juru tulis desa. Tetapi sangat cinta pada kesenian daerah. Selain itu di rumahnya memiliki gamelan, juga buku- buku tentang cerita wayang terbitan dari Jawa,” tutur Warsad.
Selain cerita tentang Panji atau Raden Inu Kertapati, kekhasan wayang golek Indramayu terutama menukik pada eksistensi tokoh wayang Lamsijan. Ia adalah bujang (pembantu), batur (teman), pengiring, sekaligus penghibur bagi tuannya. Kesan pertama pada wajahnya adalah lucu, selanjutnya kelucuan-kelucuan pula pada busana, ucapan, maupun perilakunya. Tokoh wayang Lamsijan senantiasa muncul pada jenis cerita apapun di panggung wayang golek Indramayu, baik cerita panji, menak maupun babad. Dia seperti ikon wong cilik, sekaligus dengan karakter apa adanya (blakasuta). Dia juga simbol kepolosan, sekaligus mengendepankan sense of humor. Bahkan dia pun semacam duta wicara dalam khazanah kebudayaan ketika berhadap-hadapan dengan karut-marut jagat dan problematika kesejagatan yang ia sikapi secara santai tapi mendalam.
Beberapa nama tokoh wayang golek ternyata memberikan sumbangan filosofis kepada masyarakat. Selama ini tidak sedikit yang kurang memahami latar belakang nama asli wong Dermayu, tetapi ternyata masih berkaitan dengan nama tokoh dalam wayang golek. Nama-nama seperti Ermaya, Kesuma, Anggraeni, Rondasih, Kuraesin, Asmayawati, Siti Sondari, Ratnasari, Ratnawati, Durakman, Dulbaman, Umar Said, Umar Sandi, dan lain-lain memiliki keterkaitan sumber dari wayang golek sebagai kecenderungan kearifan dalam ranah lokalitas.
Oleh karenanya, baik cerita panji, menak maupun babad di panggung wayang golek Indramayu tersebut tetap memiliki watak aslinya yang khas Indramayu. Cerita-cerita bolehlah berasal dari luar, sejabané pesisir Dermayu, tetapi secara alamiah mengalami infiltrasi dan akulturasi dengan budaya setempat yang terekspresikan dalam ucapan dan tindakan kolektif pada tatar bahasa dan susastra Jawa Dermayu, serta kecenderungan budaya pinggiran. Posisi marginal dari dua kebudayaan besar: Jawa dan Sunda. Posisi marginal dari politik kebudayaan dan kekuasaan: Majapahit, Pajajaran, Demak, Cirebon, Banten, Mataram. Posisi marginal tersebut selama berabad-abad melekat dan membentuk identitas tersendiri dalam partikel kecil bernama budaya Dermayu.
Marginalitas itu juga melahirkan kekhasannya sendiri. Pada lakon wayang golek muncul cerita- cerita yang tampak “asing” dalam kacamata khazanah susastra secara umum. Diketemukan beberapa cerita dengan latar kerajaan dan nama-nama tokoh yang asing. Muncul nama Kerajaan Bata Kencana, Gambir Saketi, Sela Putih, Gedah Kencana, Plembang Kidul, Sepahang, Ayaban, dan sebagainya. Atau juga nama-nama tokoh yang juga seperti asing: Pernata, Perniti, Raden Surya Dewa, Prabu Desta Sengara, Prabu Bandar Alim, Dewi Mulat, Dewi Pametan, Dewi Onengan, Nyi Wadalardi, Raden Kudariya Nambang Sari, Prabu Umbul Sari, Prabu Kelata Saputra, Putri Kondali Wangi, Raden Kondali Wangsa, Raksasa Sindung Riwut, Jin Antaka, Jin Dadu, Jin Biru, dan lain-lain.
Meski dengan nama kerajaan dan tokoh yang asing, kronologis cerita justru mengalir secara klasik. Seringkali dari sisi pembuka cerita, konflik, penyelesaian, hingga penutup berlangsung secara itu-itu juga: cinta, adu kesaktian, perang, nasihat begawan, pemberian pusaka kesaktian, hingga perkawinan dan menjadi raja. Demikian pula pada latar tempat, yakni ruangan istana, alun-alun keraton, hutan belantara, ataupun padepokan di tempat yang jauh dan sepi. Ciri lainnya adalah keterlibatan hewan- hewan yang bisa berbicara dalam bahasa manusia, seperti harimau, gajah, banteng, ular naga, kuda, hingga babi.
Tipikal cerita semacam itu memang ramai dan mengasyikkan menjadi karya sastra ataupun teater yang menghibur. Tetapi masyarakat selama berpuluh-puluh tahun menemukan rembesan makna dan nilainya. Melalui panggung wayang golek itulah masyarakat belajar untuk memahami makna dan nilai di dalamnya dari cerita yang berkadar sosial-kemasyarakatan, sosial-kebudayaan, struktur politik- kekuasaan maupun sistem agama-kepercayaan. Akan tetapi di situ pula ada rasa cinta yang mendalam, yang bersumber dari pengembangan fiksi dan imajinasi. Rasa cinta yang berkadar universal itu juga membuncah di atas panggung wayang golek melalui beberapa tokohnya, lalu menyebar-viral dalam struktur dan kultur kemasyarakatan.
***
Profesionalisme Warsad makin terasah dari panggung ke panggung. Penggemarnya makin banyak. Terbukti ketika pertama kali ia berpentas pada tahun 1962 baru memiliki order sembilan panggungan. Bahkan pada tahun berikutnya hanya satu panggungan. Tetapi pada tahun 1964 melonjak menjadi 60 panggungan, lalu pada tahun 1965 menjadi 80 panggungan. Pada saat itu pergelaran hanya di atas tanah pekarangan dengan alas tikar pandan. Lampunya adalah lampu dlepak, yaitu terbuat dari kaleng bekas wadah cat yang diisi minyak tanah dengan sumbu penyala api. Tetapi acap kali juga disediakan yang lebih moderen yaitu lampu petromak. Pengeras suara juga belum ada, sehingga penonton lebih banyak berkumpul di depan pentas tersebut.
Pergelaran seluruh jenis kesenian kemudian dihentikan sama sekali pada tahun 1966 karena pasca peristiwa politis. Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama, sebab pada tahun 1967 ijin panggungan dibuka kembali. Warsad meraih order hingga 90 panggungan. Sejak tahun 1968 hingga beberapa tahun berikutnya panggungannya sudah berjumlah di atas 100 kali per tahun.
Dekade awal Warsad sebagai dalang menyimpan memorinya sendiri. Dia masih ingat, bayarannya sebagai dalang sebesar Lima Ketip. “Satu Ketip itu sama dengan Sepuluh Sen. Sedangkan Satu Talen itu 25 Sen. Lalu, Rp 1 sama dengan 100 Sen atau 10 Ketip. Jadi, Satu Ketip itu serupa dengan 50 Sen atau Rp ½. Kalau dihitung pada masa kini bayaran saya itu mungkin sama dengan Rp 50 ribu. Saat itu juga belum ada rokok kretek. Adanya klobot atau kawung. Para nayaga mendapatkan bagian klobot atau kawung itu,” tutur Warsad tertawa.
Pada awal-awal itu juga dia belum memiliki nama grup, padahal panggungan sudah banyak. Wilayah panggungannya selain desa sendiri, Gadingan, juga desa-desa tetangga, seperti Tugu, Sudimampir, Majasih, dan beberapa desa lainnya. Tiba-tiba ada peraturan dari Dinas Kebudayaan setempat, bahwa kelompok kesenian harus memiliki nama. Setelah berpikir agak lama ia beri nama sesuai dengan kedaan dirinya yang masih sendirian, dan merupakan dalang yang masih bau kencur. Seketika ia beri nama Kelompok Wayang Golek “Jaka Baru”.
Dengan nama yang pasti itu kelompoknya makin banyak dikenal. Melalui lakon wayang golek, penonton banyak mengapresiasi cerita dan karakter manusia-manusia. Wayang golek juga mendapatkan order yang berkaitan dengan upacara adat desa, seperti unjungan di areal kuburan, baritan di perempatan jalan, sedekah bumi di areal persawahan atau halaman balai desa. Ada satu adagium Warsad saat itu yang mementingkan cerita yang enak ditonton, sehingga muncullah ucapannya, “Gampang lakon mah, sing penting payu” yang memiliki arti, “Gampang lakon itu, yang penting panggungan laku.”
Pada zaman itu kesenian yang banyak mendapatkan panggungan adalah jenis wayang golek dan wayang kulit. Beberapa tahun kemudian barulah menyusul sandiwara atau ketoprak dan tarling. Warsad juga ingat lagi ada pejabat Dinas Kebudayaan dari provinsi yang datang, lalu mengatakan sebagai “kesenian wayang golek cepak”. Nama itu kemudian dikenal hingga kini. Warsad mengungkapkan, “Padahal aslinya wayang golek menak. Sebutan wayang golek cepak sesuatu yang baru, yang katanya dilihat dari kepalanya yang tanpa mahkota. Mungkin untuk membedakan dengan wayang golek Sunda, yang pada bagian kepalanya bermahkota.”
Kini wayang golek Indramayu itu memanggungkan tiga jenis cerita: panji, menak, dan babad (Kasim, dkk, 2020:3-4). Cerita panji itulah yang secara akar memiliki kedekatan dengan proses akulturasi dengan perkembangan susastra sejak era Jenggala, Kediri, dan Majapahit. Hampir seluruh lakon tersebut sudah demikian hafal diungkapkan para dalang golek di Indramayu pada masa sebelum 1980-an. Keberadaannya menjadi sastra lisan yang dipanggungkan. Tampaknya hal serupa juga digenggam pada cerita menak. Awalnya adalah sastra tulis, yakni Qissa Il Emir Hamza dari Persia, yang kemudian disadur dalam sastra Melayu menjadi Hikayat Amir Hamzah. Proses tersebut berlanjut dikembangkan dalam sastra Jawa di Kasunanan Kartasura, yang juga divisualisasikan sebagai wayang golek menak.
Perjalanan itulah yang telah sampai juga di wilayah Indramayu atau pantai utara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kisah tersebut mengetengahkan cerita tentang sahabat-sahabat Nabi dalam nuansa kesultanan. Akulturasi dengan budaya setempat menjadi kekhususan tersendiri yang membumi, sehingga tida aneh jika nama-nama tokoh dalam wayang golek lakon menak di Indramayu tidak berjarak secara sosial dan kultural, seperti Menak Amir Jayengrana, Menak Kambyah, Umar Maya, Umar Said, Umar Sandi, dan lain-lainnya. Hingga tahun 1980-an lakon tersebut sangat populer dalam pergelaran di pelosok-pelosok desa.
Pada masa kini masyarakat lebih memilih cerita dengan lakon babad setempat, yang kemungkinan memiliki dua latar belakang. Pertama, cerita tersebut amat dekat dan akrab secara waktu dan tempat dengan lingkungannya sendiri, seperti babad Dermayu, babad Cerbon hingga kaitannya dengan Demak, Majapahit, Sumedanglarang, Pajajaran, bahkan hingga Belanda di Batavia. Kedua, ada keinginan lebih terperinci untuk mengenal asal-usul desa atau lingkungannya secara histroris melalui tontonan yang menghibur. Kedua faktor inilah yang melatari popularitas cerita babad hingga kini dalam pergelaran wayang golek Indramayu.
Sebagai teater tradisional, wayang golek memang memiliki penggemarnya sendiri. Mungkin hal ini berkaitan dengan masyarakat dalam hubungannya membaca perilaku penguasa ataupun karakter- karakter tokoh dalam lakon-lakonnya. Secara langsung maupun tidak langsung tersirat pula tentang hubungan politik-pemerintahan, sosial-kemasyarakatan, dan perilaku individual yang semuanya bisa menjadi cermin untuk berkaca bagi penonton. Hal ini ada kesesuaian jika dikaitkan dengan pendapat Abdurrahman Wahid (2001:43). Menurutnya, awal teater sudah sarat dengan muatan-muatan politik. Tetapi yang kemudian digali dari situ adalah perkembangan watak-watak dari berbagai peran di dalam masing-masing lakon. Di dalamnya terbentang secara total keseluruhan sejarah umat manusia. Upaya manusia untuk mencapai ketinggian, keluhuran dan keagungan hidup, bukan keagungan diri.
Dengan latar yang hanya anak desa dan tidak bersekolah, Warsad merambah dunia atas seperti itu dalam lakon-lakon wayang goleknya. Namun ada pula sisi lain yang bersifat individual sebagai dalang wayang golek terkenal pada zamannya. Hal ini beriringan dengan cerita tentang gadis-gadis desa yang meliriknya. Beberapa orang tua juga berharap dia jadi menantu. Agaknya persoalan itu membawa Warsad pada jati dirinya kembali. Meskipun ia dalang terkenal, ia pun merasa memiliki asal-usul dari keluarga tidak punya. Seringkali ia merasa demikian. Mungkin rasa rendah dirinya ini demikian mencuat. Pernah pula ada seorang gadis dari wilayah lain yang merasa cocok dengan dirinya. Kebetulan gadis tersebut juga mulai menapak sebagai seorang pesinden. Awalnya ada getar-getar dalam dadanya. Apalagi dilihat dari berbagai sisi ia juga merasa cocok. Namun tiba-tiba ada sesuatu yang membuat dirinya berubah sikap. Sesuatu itu berkaitan dengan adat-istiadat sesudah perkawinan secara sah.
Pada masa tersebut adat seperti itu seperti menjadi wajib. Biasanya setelah acara itu ada adat mengirim makanan dan lauk-pauk yang diberikan kepada mertua. Jika acara perkawinan dilangsungkan di rumah pihak mempelai perempuan, yang dikirim makanan adalah orang tua mempelai laki-laki. Begitu pun sebaliknya. Nah, itulah yang membuat langkah Warsad mundur. Pasti dia akan berboncengan sepeda dengan istrinya itu menuju rumah orang tua. Padahal calonnya tersebut memiliki kediaman di wilayah yang jaraknya mencapai sekitar 50 km. “Saya bayangkan saya tak kuat untuk berboncengan sepeda dengan jarak sejauh itu,” tutur Warsad, diselingi tawanya.
Saat itu yang namanya jalan adalah lapisan tanah yang berlumpur jika sehabis hujan. Lalu tanah menjadi kasar setelah tertimpa sinar matahari. Beberapa jalan lainnya bercampur pasir dan batu, yang juga dalam keadaan tidak mulus. Tentu saja saat itu belum ada kendaraan mobil umum. Sepeda motor juga belum dikenal. Rakyat umum hanya memakai sepeda atau berjalan kaki.
Bayangan tak kuat itu bukan saja dalam perkiraan semata. Tetapi benar-benar dilakoni jika akan menuju tempat tuan hajat yang telah mengorder grup wayang goleknya. Kotak wayang harus dipikul. Begitu pula seperangkat gamelan. Terkadang kotak wayang dan gamelan itu tidak sempat pulang ke rumah karena jauhnya jarak, tetapi langsung menuju tempat yang baru yaitu pada tuan hajat yang telah mengorder panggungan berikutnya. “Capek sekali jika harus ditambah dengan jarak rumah orang tua istri yang juga jauh,” tuturnya lagi tertawa.
Pada akhirnya memang karena bukan jodoh. Jika karena jodoh, jarak tentu bukan halangan. Apalagi hanya 50 km.
***
Pada tiga dasawarsa ini order panggungan wayang golek memang menurun. Pada satu musim (enam bulan) boleh dikatakan order panggungan hanya dalam hitungan jari tangan. Kebanyakan undangan berpentas dalam acara adat desa, seperti unjungan yaitu pergelaran di areal kuburan desa semacam mengenang kembali para leluhur desa. Sisi lainnya adalah Warsad juga mulai menua.
Menurunnya intensitas pertunjukan wayang golek menak bukan hanya di Indramayu, juga di beberapa daerah Jawa lainnya. Menurut Dewanto Sukistono (dalam Timbul Haryono, 2009:73), pada masa sekarang pertunjukan wayang golek menak Yogyakarta semalam suntuk sangat jarang dijumpai. Pergelaran yang ada lebih bersifat kemasan untuk pariwisata, misalnya yang diselenggarakan di Kraton Yogyakarta.
Sejak sepuluh tahun lalu tongkat estafet sudah ia berikan kepada anaknya, Rasnoto, yang kini sudah dikenal pula sebagai dalang wayang golek. Terkadang ada yang meminta dirinya untuk mendalang, dan hal itu tidak ia tolak. Terkadang pula ia menyodorkan putranya tersebut dan diterima oleh pengundang. Saat Festival Panji di Jawa Timur tahun 2019 yang digelar di beberapa daerah, seperti Blitar, Malang, dan Tulungagung, Warsad melimpahkan sepenuhnya kepada putra ketiganya itu. Dia juga tidak ikut serta untuk menyaksikan. “Biasanya kalau Rasnoto mendalang saya tidak ikut dalam rombongan. Khawatir dia grogi,” ujarnya.
Tetapi, kadang-kadang dia juga ikut serta, seperti pada acara Smaradharmayu di Indramayu yang digelar pada November 2020 pada program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Kemendikbud RI. Di dalam hatinya bahkan berucap harus datang, sebab dalam acara itu ada peluncuran buku tentang wayang golek yang berisikan kumpulan cerita golek menak, panji, dan babad, yang salah satu narasumbernya adalah dia. Selain itu ada pemberian penghargaan kepada sosok yang berjasa pada pengembangan wayang golek di Indramayu, yakni kepada peneliti dan dokumentator kesenian daerah, Endo Suanda, Ph.D. “Pak Endo itu banyak berjasa. Pada tahun 1990-an seringkali ia ikut ngobrol, ikut memainkan gamelan, banyak bercerita tentang lakon dan pentas di mana-mana. Dia juga yang membawa saya ke luar negeri,” tuturnya.
Pada acara tersebut berlangsung seminar yang membahas cerita Panji, yang merupakan cerita khas dari Jawa yang menyebar hingga nusantara dan Asia Tenggara. Cerita tersebut, seperti kata Poerbatjaraka (1957:22), berasal dari masa Kerajaan Kadiri di abad-11 M. Raja Kadiri, Kameswara, mempunyai permaisuri Sri Kiranaratu, putri dari Kerajaan Jenggala. Kameswara dalam cerita dikenal dengan nama Hinu (Inu) Kertapati, sedangkan Kiranaratu dengan sebutan Dewi Candrakirana. Lakon tersebut terekspresikan dalam dongeng maupun dalam beberapa jenis kesenian, seperti tari topeng, wayang krucil, wayang beber, dan wayang gedhog. Sedangkan di Indramayu merasuk dalam lakon wayang golek.
Dalam usia 78 tahun (Warsad lahir tahun 1943) hari-hari Ki Dalang Warsad diisi dengan kegiatan yang tetap produktif. Membimbing para anggota grup dalam memainkan gamelan, menuntun anak- anaknya dalam mendalang, juga mengarahkan anak, cucu, keponakan dalam pembuatan ukiran kedok untuk tari topeng, ukiran wayang golek, ukiran berokan, dan beberapa kerajinan tangan yang terbuat dari kayu. Sesekali jika ada order panggungan dia juga memantau dalam pentas kesenian kebo ngamuk, berokan, dan tentu saja penampilan anaknya sebagai dalang wayang golek.
Upaya tersebut tanpa terasa mengarah pada diversifikasi kesenian. Pada zaman yang tampak bergerak cepat ini dia tidak hanya berfokus pada satu jenis kesenian, yakni wayang golek semata. Akan tetapi dunia kesenian yang masih dalam satu spesies juga dilakoninya. Oleh karenanya, kiprahnya seperti tidak pernah mati. Keberadaannya selalu beriringan dengan pergerakan zaman yang tampak dinamis. Meski demikian di antara varietas itu, ia anggap wayang golek merupakan varietas unggulan dalam kelompok seninya. Kearifan lokal pada esensi wayang golek yang sejak dulu ia tekuni, kini pun tetap ia pertahankan. Di sisi lain diversifikasi usaha seni itu menampilkan sesuatu yang menarik. Jika beberapa seniman tradisional lainnya terengah-engah karena turunnya order panggungan hingga mencapai titik nadir, Warsad tidak demikian. Melalui berbagai varietas itu seakan-akan ia tidak pernah mati. Dalam berkesenian dia selalu menunjukkan eksistensi.
Pustaka Acuan:
Haryono, Timbul. 2009. Seni dalam Dimensi Bentuk, Ruang, dan Waktu. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hassan, Fuad. 1991. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka.
Kasim, Supali, dkk. 2019. Smaradharmayu: Cerita Panji, Menak, dan Badad dalam Wayang Golek Indramayu. Indramayu: Rumah Pustaka.
Munandar, Agus Aris. 2017. Arkeologi dan Sumber Tertulis. Depok: Center for Indonsian Arts Documentation.
Sedyawati, Edi. 2010. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sumber Lisan:
Wawancara Ki Dalang Warsad (2021)
Sumber foto:
Dokumentasi Supali Kasim
Biodata Penulis:
Supali Kasim, lahir di Indramayu, 15 Juni 1965. Sejak remaja sudah menekuni aktivitas membaca buku perpustakaan di sekolah maupun perpustakaan umum. Dia tergabung dalam Kelompok Remaja Pencinta Sastra Indramayu (Kreasi) tahun 1982-1984, lalu mendirikan Forum Komunikasi Sastra (Fokus) tahun 1989-1994, dan ikut juga tergabung bersama sastrawan lain dalam wadah Forum Sastra Indramayu (FSI) tahun 1994.
Pernah menjadi Ketua Dewan Kesenian Indramayu (DKI) periode 2001-2003. Kini bergiat dalam komunitas Peguron Alit di bawah Lembaga Kebudayaan Indramayu (LKI) dengan fokus pembahasan bidang bahasa, sastra, sejarah, dan budaya. Secara rutin komunitas tersebut mengadakan kegiatan komunal maupun individual berupa penulisan dan bedah buku: kajian bahasa, sastra, sejarah, budaya, juga penulisan karya sastra puisi, cerpen, dan novel.
Buku-buku yang sudah ditulisnya antara lain Tarling: Migrasi Bunyi dari Gamelan ke Gitar- suling (2003); Fenomena dan Dinamika Seni Tradisi Indramayu (2004), kumpulan puisi Bergegas ke Titik Nol (2006), Menapak Jejak Sejarah Indramayu (2010); Sesambat: 3 Kumpulan Puisi (2011); Budaya Dermayu: Nilai-nilai Historis, Estetis, dan Transendental (2012); Sugra; Perintis Seni Tarling & Maestro-maestro Seni-Budaya Lainnya (2015); Bratayudha: Fenomena Moral, Sosial, Politik, dan Perang (2017); Jagat Panggung: Teater Tradisional Cerbon-Dermayu (2017), Durung Mati Sukmané Wis Nglayung-layung: kumpulan naskah drama (2018), Bahasa Jawa Indramayu: Latar Sosiolinguistik, Dialektologi, Politisasi, dan Pemertahanan Bahasa (2020); Sawiji Dina Sawiji Mangsa: kumpulan puisi (2020), Kalésan Daslam: Crita Guyon Dermayon (2020).
Buku kumpulan puisinya yang berbahasa Jawa dialek Indramayu, Sawiji Dina Sawiji Mangsa, memperoleh anugerah Hadiah Sastera “Rancage” tahun 2021 untuk kategori bahasa Jawa.
Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia lulusan Universitas Swadaya Gunung Jati (UGJ) Cirebon itu juga menulis buku mata pelajaran bahasa daerah SD: Genau Basa lan Sastra Cerbon- Dermayu (2014); Blajar Basa lan Sastra Cerbon-Dermayu (2015); Bahasa Indramayu: Mata Pelajaran Muatan Lokal Kabupaten Indramayu (2019).
Sekarang menetap di Griya Paoman Asri, Jl. Jati No. 9 / B-6 Indramayu, Jawa Barat, email: supalikasim123@gmail.com serta WA 085224102317.