Dalam suatu perbincangan, Irwansyah Harahap menungkapkan kegelisahannya tentang terabaikannya bunyi-bunyian yang mengisi peradaban Nusantara. Untuk melawan kekhawatiran itu, seniman musik, etnomusikolog asal Medan itu berupaya “membunyikan,” memperdengarkan bunyi-bunyian Nusantara ke depan publik. Adegan demikian diharapkan, lewat musik orang selalu ingat akan akar budaya bangsa, agar mereka tidak kehilangan jati diri.
Irwansyah Oemar Harahap, pria kelahiran Air Batu, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, 28 Desember 1962 itu berpulang pada Kamis, 4 November 2021. Etnomusikologi dari Universitas Sumatera Utara, Medan, yang mendapat gelar Master dari University of Washington, Amerika Serikat, itu menekuni musik, termasuk bunyi-bunyian yang mengisi peradaban Nusantara. Lewat kelompok musik Suarasama yang dibentuk bersama istrinya Rithaony Hutajulu Irwansyah, dia mengolah musik yang digali dari berbagai akar budaya. Mereka kerap berkeliling daerah, termasuk di Bentara Budaya untuk memperdengarkan akar budaya yang tumbuh di Nusantara.
Olah kebangsaan
Bahwa dalam bunyi-bunyian Nusantara tersebut ada berbagai pengaruh, hal tersebut memang sebuah keniscayaan yang bisa terjadi dalam peradaban manapun. Irwansyah memberi contoh alat musik gambus yang berasal dari Yaman. Pada suatu masa gambus masuk ke wilayah yang di kemudian hari Bernama Republik Indonesia. Gambus, alat musik petik berdawai itu, menjadi bagian dari bunyi-bunyian yang ikut membentuk peradaban bunyi di Nusantara. Gambus dikatakan Irwansyah sebagai nenek moyang dari alat musik petik Bernama oud, yang berkembang di Mesir, Suriah, Sudan, Lebanon, Palestina, Yaman, Arab, Turki, sampai Yunani.
Alat musik gambus kemudian tumbuh, dan berkembang di Indonesia dengan berbagai inovasi sesuai tempat alat musik itu berada. Hebatnya, menurut Irwansyah, tradisi gambus itu sendiri sudah kurang dikenal di jazirah Arab, tetapi kita justru punya di sini. Dengan kata lain, kita mewarisi tradisi yang hilang di akarnya sana, dan tumbuh sebagai budaya di negeri Nusantara. Gambus yang berkembang di Nusantara, sudah jauh berbeda dengan gambus dari negeri asalnya. Hal itu dimungkinkan karena keluwesan seniman Nusantara dalam mengadaptasi budaya apapun. Ada interaksi damai untuk menjadikan gambus nyaman terdengar di Nusantara.
Seperti gambus atau dambus di Belitung Timur yang secara organologis sudah berbeda dengan gambus versi Jazirah Arab. Irwansyah kebetulan pada September lalu menjadi Narasumber program Belajar Bersama Maestro di Belitung Tiumur yang berfokus pada gambus . Gambus yang ia jumpai di Belitung itu juga berbeda dengan gambus Melayu di Sumatera pada umumnya. Menurut Sukino, seniman gambus Belitung Timur, gambus di Belitung itu dulu dimainkan oleh perantau dari Kalimantan si Belitung. Di Belitung Timur, gambus sudah berubah dan berkembang sesuai situasi setempat.
Irwansyah melihat bagaimana dari alat musik gambus terlihat terjadi interaksi budaya, ada proses olah kebangsaan. Ada kemauan untuk memahami, menerima, mengolah, dan mengembangkan. Persoalannya, dalam catatan Irwansyah, upaya olah kebangsaan lewat musik itu saat ini kurang mendapat ruang yang layak. Dalam pandangan Irwansyah, interaksi antarmanusia, pluralisme itu, kurang tergarap. Padahal, lewat pintu musik interaksi antar manusia itu akan lebih cair.
Dengan memahami akar tradisi dan budaya, akan terbangun rasa saling pengertian. Dengan memahami, dan mencintai akar tradisi , orang akan mudah memahami akar budaya dan tradisi orang lain. Selanjutnya akan muncul sikap toleransi, dan pada gilirannya akan tumbuh sikap saling memahami bahwa berbeda merupakan kensicayaan yang lumrah.
Tradisi dan inovasi
Dalam berbagai kesempatan Irwansyah Harahap mengingatkan bahwa musik tradisi itu tidak untuk dipertentangkan dengan inovasi. Di dalam tradisi itu sendiri terkandung dinamika untuk merespsons zaman, tanpa harus kehilangan nilai-nilai warisan para pendahulu. Inovasi dan tradisi, dikatakan Irwansyah tak selalu bertolak belakang, bahkan justru dapat saling melengkapi, jika digarap dengan bijak dan kreatif. Tradisi dan inovasi tidak berbenturan, tapi justru dapat saling menginspirasi, dan menguatkan.
Lewat kelompok musik Suarasama, Irwansyah menghadirkan kekuatan tradisi di tengah masyarakat hari ini. Mereka antara lain pernah tampil di Bentara Budaya Jakarta, pada tahun 2013. Mereka menggunakan saz gitar, udu, gitar, mandolin, jembe, dan alat musik lain. Saz-gitar adalah instrumen yang dirancang sendiri oleh Irwansyah. Instrumen ini menggunakan struktur dawai seperti pada saz, alat petik serupa mandolin dari Persia. Irwansyah memadukan saz dan gitar. Dengan saz-gitar ini, ia bisa menjangkau wilayah nada tinggi.
Lewat komposisi “Timeline”, Irwansyah mereinterpretasikan tradisi lut, keluarga alat musik petik, yang mengembara melintasi zaman dan menembus sekat geografis. Lut dalam perputaran peradaban telah melintasi Timur Tengah, menuju Cordoba di Spanyol. Dari sini, misalnya, lut ikut berjasa dalam lahirnya musik flamenco. Lut terus mengembara dan sampailah ke abad ke-21. Dalam perjalanan berabad-abad itu, dikatakan Irwansyah, telah terjadi proses saling memberi, saling menerima, saling memengaruhi.
Begitu pula musik tradisi Nusantara lahir dari interaksi berbagai budaya. Indonesia dikatakan Irwansyah sangat kaya dengan sumber musik. Dengan kreativitas dan inovasi, kekayaan musik di berbagai wilayah kultural tersebut menurut Irwansyah bisa digarap menjadi musik baru, yang tetap berakar dari budaya sendiri.
Irwansyah Harahap telah pergi. Ia begitu setia merawat bunyi-bunyi yang ikut membentuk jati diri negeri ini. Ia adalah inspirasi bagi siapapun untuk terus memahami, dan mencintai tradisi bangsa sendiri. (Frans Sartono, Kurator Bentara Budaya )