Pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia nyatanya menghambat banyak orang untuk menjadi produktif. Namun, hal itu sepertinya tidak berlaku bagi Joko Pinurbo. Penyair asal Yogyakarta ini justru menjadikan pandemi yang tengah terjadi sebagai sebuah kesempatan untuk fokus berkarya. Tidak tanggung-tanggung, Joko Pinurbo dalam tahun ini telah menulis tiga buku puisi. Yang terbaru di antaranya ialah Kabar Sukacinta, terbitan PT. Kanisius (2021) yang diluncurkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 12 Oktober.
Kepiawian Joko Pinurbo dalam bidang sastra puisi tidak perlu diragukan lagi. Kiprahnya dalam dunia sastra Indonesia menjadikan Namanya begitu populer di kalangan penyair maupun khalayak luas. Semua ini berawal dari kehidupannya semasa SMA yang mulai mendekati puisi sebagai media berekspresi. Sadar bahwa dirinya lebih suka menyendiri, ia melihat puisi sebagai ruang bagi dirinya dalam meluapkan curahan isi hatinya menjadi karya sastra yang apik. Beberapa sastrawan terkenal seperti Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono turut memberikan inspirasi dan wawasan mengenai kesusastraan.
Dalam Program Pesona Indonesia (15/10) kerjasama Sonora FM Jakarta dengan Bentara Budaya, Joko Pinurbo mengisahkan seluk-beluk proses kreatifnya. Buku puisinya yang baru terbit berjudul Kabar Sukacinta bisa menjadi gambaran betapa Joko Pinurbo sangat menyukai puisi. Ia memberikan judul Kabar Sukacinta karena ingin mewartakan kebahagiaan penuh kasih dan cinta. Inilah yang kemudian membuat Joko Pinurbo membuat padunan kata sukacinta yang merupakan gabungan dari suka dan cinta. Ia berharap kompilasi puisi ini bisa memberikan harapan serta menyalakan semangat kita dalam membangun kembali peradaban pasca pandemi covid-19 yang tentu saja diwarnai dengan kebingungan hingga kesedihan.
Dengan gaya kepenulisan yang naratif, Joko Pinurbo berharap akan lebih banyak orang yang membaca puisinya dan lebih mudah ditangkap oleh banyak orang. Tetapi tetap saja, Joko Pinurbo memberikan makna-makna filosofis di dalam puisinya sehingga puisi yang ditulisnya tidak kehilangan kontemplasi untuk dijadikan bahan renungan bagi banyak orang. Menurutnya, makna puitis tidak melulu tentang pemilihan diksi yang harus klasik atau rumit namun bagaimana sebuah puisi mampu menggerakkan emosi pembacanya. Inilah yang lebih ditekankan Joko Pinurbo dalam menulis puisi.
Penulisan buku Kabar Sukacinta berawal dari permintaan teman-teman Kanisius untuk membuat puisi yang sumber inspirasinya berasal dari kitab suci. Setelah mengiyakan, Joko Pinurbo mulai menulis inspirasi-inspirasi yang bisa dijadikan bahan penulisan selanjutnya. Menurutnya, seorang penulis tidak perlu memaksakan kehendaknya atau memforsir tenaga dan pikirannya untuk berkarya. Ia lebih memilih untuk berdamai dengan kondisinya. Justru ia berpikiran kalau dengan berdamai dengan kondisi di sekelilingnya ia bisa mendapatka inspirasi dan ide yang lebih cemerlang.
Bagi Joko Pinurbo, adaptasi terhadap lingkungan sekitar sangat penting bagi para penulis guna mendapatkan ide atau inspirasi. Saat pandemi, misalnya, ia memanfaatkan kondisi ini sebagai peluang atau kesempatan untuk bisa lebih fokus menulis. Inilah yang kemudian membuat eksekusi dari permintaan teman-teman Kanisius kala itu, untuk membuat puisi yang sumber inspirasinya dari kitab suci, bisa dilanjutkan saat ini. Joko Pinurbo melihat hal ini sebagai momen yang tepat, mengingat banyak orang yang sedang berduka dan kebingungan. Puisi-puisi yang ditulis oleh Joko Pinurbo diharapkan bisa menginspirasi mereka dalam merenungi kembali kondisi yang ada.
Sebagai bagian dari proses adaptasinya, Joko Pinurbo juga beranggapan agar tetap eksis, sebuah karya seni harus mampu berkolaborasi dengan lingkungan sekitarnya. Inilah yang kemudian juga turut menginspirasi Joko Pinurbo untuk membuat kolaborasi karya seni baru. Kedepannya ia mungkin akan mulai memadukan sastra puisi dengan cerita pendek, sesuai apa yang ia sukai, yakni membuat narasi yang indah. Pada akhirnya, ungkap Jokpin, puisi-puisi yang ditulis oleh seorang penyair harus bisa memberikan renungan dan inspirasi sembari menghibur pembacanya. (Aulia Rachman/Bentara Budaya)