Oleh Frans Sartono (Wartawan – Kurator Bentara Budaya)
Mengenang Didi Kempot
Kepergian Didi Kempot pada 5 Mei 2020 membekaskan kenangan akan lagu-lagu cinta yang ambyar. Lagu cinta memang menjadi menu utama sepanjang sejarah musik pop, dangdut, keroncong, sampai campursari. Didi Kempot bermain di ranah itu. Entah itu cinta yang bikin bungah, atau bikin hati ambyar, lagu Didi tetap membahagiakan pendengarnya.
Tak terbayangkan sebelumnya, bahkan oleh Didi Kempot sendiri, bahwa lagu-lagunya akan disambut oleh kaum milenial di negeri ini seperti yang kita lihat dalam setahun terakhir ini. Pada awal tahun 2000, Didi Kempot mengisi acara tetap di TV7 bertajuk "S-Campur-S", tetapi tidak sefenomenal belakangan ini.
Jelang akhir era 1990-an, Didi populer dengan lagu seperti “Stasiun Balapan“, “Terminal Tirtonadi“, “Layang Kangen“, sampai “Kuncung“ dan menjadi lagu yang sering dibawakan kelompok musik di lingkup KG. Keroncong Mbelgedesh, misalnya, sering membawakan “Stasiun Balapan“ dan mengundang karyawan untuk berjoget. Lagu itu bicara tentang nasib orang terpisah dari kekasih. Akan tetapi, lagu berbahasa Jawa itu justru menyatukan karyawan dalam kebersamaan sebagai satu keluarga besar KG, dengan segala ragam latar belakang mereka. Tak peduli apakah mereka memahami liriknya yang berbahasa Jawa itu.
Begitu pula di perhelatan musik Ngayogjazz, di Kwagon, Yogyakarta, 16 November 2019, lagu-lagu Didi menyatukan orang dalam kegembiraan meski lagu bicara tentang hati yang patah. Didi adalah superstar yang bersahaja. Belum pernah rasanya ajang Ngayogjazz yang dirintis Djaduk Ferianto dan kawan-kawan itu dibanjiri begitu banyak massa. Terkhusus pada saat Didi Kempot tampil sebagai pemuncak acara.
Lagu seperti “Pamer Bojo“, “Banyu Langit“, atau juga “Kalung Emas“ yang sama sekali bukan berasa jazz, disambut ribuan penonton. Yang dielu-elukan adalah penyanyinya. Yang menjadi perekat rasa adalah lagunya. Tak peduli lagu-lagu itu bertutur tentang hati yang hancur berkeping-keping alias ambyar, ribuan orang larut dalam suasana riang, penuh sorak, dan paduan suara massal.
“Pamer Bojo“ atau memamerkan suami/istri, (bisa ditafsir sebagai pacar baru), bertutur tentang seseorang kangen akan kekasih. Akan tetapi di depan mata, orang yang dirindui itu justru pamer kekasih baru. Rasa dikhianati itu terucap dalam lirik: “Cidro janji tegane kowe ngapusi/Nganti sprene suwene aku ngenteni/Nangis batinku nggrantes uripku/Teles kebes netes eluh neng dadaku…. Terjemahannya: Ingkar janji teganya kau menipu(ku)/Sampai kini lamanya aku menanti/Menangis batinku sengsara hidupku/Kuyup air mata netes di dadaku....“
Rintihan semacam itu disambut dengan senggakan atau ucapan yang sama sekali tak terkait dengan isi lagu. Ucapan itu bicara tentang minuman bernama cendol dawet. Namun menilik cara massa mengucapkannya, tampaknya itu suatu ekspresi gembira.
Lagu-lagu “Banyu Langit“ dan “Kalung Emas“ kurang lebih bicara tentang perasaan yang hampir sama, yaitu kisah sengsara ditinggal kekasih. Isi lagu sejenis itu sebenarnya sudah menjadi menu utama lagu-lagu Didi. Tersebutlah misalnya “Stasiun Balapan“ dan “Terminal Tirtonadi“ yang populer pada akhir 1990-an. Semua bertutur tentang orang yang ditinggal kekasih.
Langgam Jawa
Didi Kempot tumbuh dalam tradisi lagu pop bersuasana patah hati, ditambah lagi dengan budaya langgam Jawa yang melingkupi hari-hari Didi sejak kecil di Solo dan Ngawi. Langgam Jawa, diwarnai tema wuyung alias kasmaran, dan putus cinta ditinggal kekasih. “Wuyung“ karya Ismanto menjadi salah satu langgam Jawa populer tentang insan kasmaran. Adapun “Jenang Gulo“ karya Slamet adalah jenis lagu patah hati karena dikhianati pacar.
Lagu-lagu nelangsa putus cinta yang populer di genre langgam Jawa antara lain, ciptaan Dharmanto seperti “Lara Branta“ (Sakit Asmara) dan “Kencono Katon Wingko“ (emas tapi tampak pecahan gerabah). Begitu pula lagu karya Bambang Mustari, “Timbangono Tresnaku“ (pertimbangkan cintaku), dan “Keranta-ranta“ (tersiksa) adalah jenis balada memelas karena kekasih ingkar janji. Juga lagu “Pamit“ dari Gesang yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan dinyanyikan Broery. Bisa dikatakan, itulah tipikal lagu patah hati era 1960-an yang memengaruhi tema-tema lagu genre langgam Jawa pada era berikutnya.
Lirik lagu Didi Kempot yang sedikit banyak dipengaruhi oleh suasana lagu-lagu tersebut. Seperti pada “Stasiun Balapan“ di mana disebut: “Janji lunga mung sedelo/Malah sewulan ra ono/Pamitmu naliko semono ing stasiun Bapalan Solo. Lali opo pancen nglali. Yen eling mbok enggal bali....“ Terjemahan bebasnya: saat pamit di Stasiun Balapan Solo, kau berjanji hanya pergi sebentar, bahkan kurang dari sebulan. Kau lupa, atau pura-pura lupa.
Godfather of Broken Heart
Dengan lagu-lagu hati yang ambyar itu Didi Kempot berjuluk Godfather of Broken Heart. Sebuah gelar yang ia dapat setelah sekitar 30 tahun montang-manting di jagat musik. Juluk-menjuluki memang sudah lazim di dalam budaya massa. Kita mengenal Michael Jackson dengan gelar King of Pop, Elvis Presley sebagai King of Rock n’ Roll, dan Godfather of Soul yang disandang James Brown (1933-2006). Di Indonesia pada paruh kedua 1970-an kita mengenal Rhoma Irama sebagai Raja Dangdut.
Meminjam istilah dalam bisnis, Didi Kempot mendapat semacam rebranding, cap baru sebagai Godfather of Soul. Brand ini lahir karena para penikmatnya mengenal Didi sebagai penyanyi lagu-lagu bertema patah hati. Branding lahir bukan dari luar pihak Didi Kempot, melainkan dari pendengarnya, termasuk para milenial usia likuran atau 20-an tahun. Ketika Didi mulai populer pada akhir era 1990-an awal 2000-an, mereka masih anak-anak usia 5-14 tahun.
Generasi itulah yang menciptakan panggung bagi Didi Kempot, utamanya di media sosial. Gelar yang dekat dengan generasi milenal, seperti Lord Didi, Lord of the Broken Heart. Julukan Lord mengingatkan pada nama tokoh Lord Voldemort pada novel dan film Harry Potter.
Gelar ini tidak lahir dari sebuah kesadaran dagang untuk mendongkrak nama atau popularitas Didi. Julukan itu semata muncul karena kecintaan audiens pada lagu-lagu Didi, terkhusus lagu bertema patah hati. Bahkan bisa dikatakan, cap untuk Didi Kempot melawan hukum pasar industri musik yang cenderung menjual sosok muda, ganteng, dan cantik. Didi usia kepala lima dan cuek dengan fashion. Ia lebih sering pakai batik dan blangkon, dan rambut gandrong sisa masa ia mengamen era 1980-an.
Rebranding ini tumbuh dari bawah, dan menggelinding di dunia medsos. Sosok Godfather itu kemudian menemukan bentuk konkret dalam pentas-pentas Didi, termasuk antara lain pada acara “Rosi“ di KompasTV, Synchronize Fest 2019, dan di YouTube yaitu Ngobam Didi Kempot asuhan Gofar Hilman yang per 6 Agustus 2019 disaksikan lebih dari 3 juta penonton. Didi dan cinta yang ambyarnya itu pula yang mampu menyatukan orang untuk berbelarasa lewat acara “Konser Amal dari Rumah“ yang ditayangkan KompasTV pada 11 April 2020.
Didi Kempot telah pergi. Lagu-lagu ambyarnya menyatukan hati pendengarnya…. (*)