Dalam Satu Tanah, Kita Bertumbuh
Pameran Satu Tanah, Seribu Ketangguhan hadir sebagai perayaan atas daya hidup yang terus mengalir dalam tubuh bangsa Indonesia. Setiap detail di ruang pamer merupakan ajakan untuk merasakan denyut keteguhan, menyentuh akar sejarah, dan menyapa keindahan. Di sini, seni menjadi jembatan antara tubuh manusia dan tubuh tanah. Keduanya hidup dan saling memberi makna. Setiap karya menyimpan cerita tentang bangsa yang tumbuh dari keberagaman, dari luka yang menyuburkan kekuatan, dan dari tanah yang melahirkan kehidupan.
Tanah selalu menyimpan ingatan purba. Ia memberi kehidupan, arah, dan rasa. Tanah adalah tubuh yang menampung air dan cahaya, tempat akar menembus dalam, tempat manusia merasakan kedekatan dengan semesta. Dalam pameran ini, tanah menjelma simbol ketahanan dan kebersamaan. Ia menyerap hujan, menumbuhkan tunas, memeluk kehidupan yang baru lahir. Ia mengajarkan kesabaran dan kelapangan. Dari sanalah muncul gagasan tentang ketangguhan Indonesia. Ketangguhan yang tumbuh dari kekuatan sosial, dari kebersamaan yang lembut seperti humus, dari cinta yang lahir dalam perjumpaan sehari-hari.
Setiap karya dalam pameran ini berbicara dengan bahasa yang berbeda, namun berirama sama. Lukisan, instalasi, warna, dan bentuk menjadi suara yang saling bersahutan. Dari tangan para seniman, tanah berubah menjadi bahasa batin. Ia dilihat, dirasakan, disentuh, dan dihirup. Ia mengalir dalam setiap lapisan warna, setiap gurat tekstur, serta setiap cahaya yang menimpa permukaan karya.
Dalam lukisan “Sembuh, Tumbuh” karya Asmara Wreksono, misalnya, permukaan kanvas menyerupai tanah yang baru tersentuh hujan. Lapisan akrilik impasto menebal seperti kerak bumi yang retak lalu merekah, menampakkan warna-warna kehidupan. Setiap sapuan mengandung energi penyembuhan. Ada harapan yang tumbuh dari lapisan cat, ada kehidupan yang muncul dari permukaan luka. Dalam konteks Indonesia, karya ini menjadi cermin tentang masyarakat yang terus bangkit dari bencana, dari krisis, dari perubahan zaman. Semangatnya segar. Getarnya hangat. Ia menyapa hati dengan pesan sederhana bahwa setiap luka menyuburkan kehidupan.
Adapun pada “Tanah yang Menghijau” karya Emmy Go menghadirkan keselarasan. Hijau dan coklat berpadu dalam napas lembut. Warna-warna itu menenangkan mata, menyejukkan jiwa. Sapuan lembutnya mengundang rasa teduh, seperti naungan pohon di tengah ladang setelah hujan reda. Di sana tumbuh kesadaran ekologis, sebuah pandangan bahwa manusia dan alam saling memelihara. Lukisan ini mengingatkan bahwa tanah air adalah rahim kehidupan. Ia memberi makanan, udara, dan rasa syukur. Warna hijau memancarkan semangat pemulihan, menghadirkan rasa terima kasih atas anugerah yang terus diperbarui setiap hari.
Sementara instalasi “Sarang Penyamun, Sarang Penyayang” karya Setiyoko Hadi berdenyut dalam kehangatan sosial. Triptych, ranting, sarang, dan telur partisipatif saling bertaut. Pengunjung menjadi bagian dari karya, dengan menulis atau menggambar telor artifisial lalu menaruhnya di sarang yang tersedia. Ranting menggambarkan kehidupan yang saling menguatkan. Sarang menjadi pelindung, menjadi peluk. Telur menjadi tanda awal kehidupan, tanda harapan yang terus menetas. Karya ini beresonansi dalam bahasa kasih. Ia menegaskan bahwa kekuatan kolektif tumbuh dari kedekatan, dari kepercayaan, dari kerelaan untuk berbagi ruang dan kehidupan.
Pameran ini diikuti 27 seniman yang menampilkan 40 karya. Melalui karya karya tersebut, pameran menenun narasi tentang hubungan antara manusia, alam, dan sejarah. Seni menjadi cara untuk merasakan kembali makna Tanah Air. Tanah Air sebagai rumah, sebagai tubuh bersama. Pameran mengajak pengunjung untuk menyelami, mengalami. Setiap langkah di ruang pamer adalah perjalanan batin menuju kesadaran baru bahwa ketangguhan tumbuh dari kasih, dari gotong royong, dari rasa syukur terhadap kehidupan yang terus bergerak.
Bangsa Indonesia tumbuh dari solidaritas yang mengalir dalam setiap peristiwa sejarah. Dari Sumpah Pemuda hingga Reformasi, dari masa penjajahan hingga pemulihan pascabencana, tangan-tangan selalu saling menolong. Denyut itu masih berlanjut, mengalir di setiap gerak kehidupan. Pameran Satu Tanah, Seribu Ketangguhan menghadirkan denyut yang sama, yakni denyut gotong royong, denyut cinta, denyut kebersamaan. Dalam setiap karya, tersimpan gema semangat bangsa yang terus menemukan kekuatan di tengah perubahan.
Tanah menjadi saksi bagi setiap langkah. Ia menyimpan jejak manusia yang berjalan, bekerja, dan berdoa di atasnya. Ketika seniman menafsirkan tanah, mereka sesungguhnya sedang menulis ulang ingatan bangsa. Setiap tekstur menjadi lapisan waktu. Setiap warna menjadi bahasa jiwa. Setiap karya menjadi doa, sesuatu yang menautkan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu nafas panjang.
Pameran ini menghadirkan ruang penyembuhan. Ia menata energi yang lembut, menyatukan nilai spiritual, sosial, dan ekologis. Warna dan bentuk berdiam dalam keseimbangan, seperti detak jantung yang tenang. Pengunjung diajak untuk menyelami makna bahwa ketangguhan selalu tumbuh dari kasih dan kebersamaan. Di tengah dunia yang bergerak cepat, pameran ini menawarkan ruang hening, ruang untuk berhenti sejenak dan merasakan kembali irama kehidupan.
Setiap karya bernafas. Setiap warna berdenyut. Karya-karya itu mengingatkan bahwa kehidupan selalu memberi ruang untuk tumbuh. Tanah yang subur mengajarkan keseimbangan antara memberi dan menerima, antara berjalan dan berakar. Dalam kesadaran itu, seni menjembatani manusia dan alam, sejarah dan masa depan, jiwa dan tubuh bumi.
Pameran Satu Tanah, Seribu Ketangguhan memancarkan wajah Indonesia yang lembut dan lentur. Ia menghadirkan keyakinan bahwa bangsa ini terus tumbuh, terus mencipta, terus merayakan kehidupan dengan cahaya yang hangat. Dalam satu tanah yang sama, seribu cara tumbuh. Seribu cara kuat. Seribu cara hidup. Tanah yang sama menyatukan semua langkah, semua doa, semua harapan. Dari sana, kehidupan terus berdenyut penuh kasih, penuh daya, penuh cahaya.
Jakarta, 13 November 2025
Hilmi Faiq, Kurator