Jejak Sejarah dalam Bali Art Lounge #2
Bali memiliki sejarah panjang seni rupa. Bermula dari tradisi, menyerap pengaruh seniman Eropa, masuk seni rupa modern, hingga melaju dengan ekspresi seni kontemporer zaman sekarang. Semua itu membentuk wajah seni rupa Bali zaman yang unik.
Tradisi mengakar kuat dalam seni rupa Bali. Sejak dulu, masyarakat Pulau Dewata memiliki kebiasaan melukis, yang dikerjakan di sela kegiatan Bertani, berdagang, atau ritual keagamaan. Lukisan gaya Kamasan, Ubud, dan Batuan mewakili kecenderungan ini. Tak hanya mengambarkan kehidupan sehari-hari masyarakt, lukisan tradisional ini juga berusaha menyajikan kisah pewayangan, cerita rakyat, atau kisah-kisah keagamaan yang sarat warisan nilai.
Pada lukisan bergaya tradisional, para seniman memperlihatkan keterampilan dan untuk menggambar obyek secara dekoratif, detail, dan berlapis-lapis. Mereka tekun untuk mengikuti proses dan prosedur melukis yang dijaga kelestariannya turun-temurun.
Kehadiran beberapa seniman dari Eropa memberikan sentuhan yang menarik. Sejak zaman kolonial, terutama tahun 1930-an, para seniman ekspatriat tiba, kepincut dengan keindahan alam dan budaya di Pulau Dewata, menetap, berkarya seni, dan mengenalkan gaya modern. Mereka antara lain, Walter Spies (Jerman), Johan Rudolf Bonnet (Belanda), Arie Smit (Belanda), Le Mayeur (Belgia), dan belakangan Antonio Blanco (Spanyol).
Bersetuhan dengan para ekspatriat itu, para seniman lokal Bali mengenal perspektif, tata warna lebih natural, dan tata komposisi dengan adegan visual lebih dramatis. Dengan support para seniman ekspatriat, para seniman lokal lebih mudah terhubung dengan kancah seni rupa global.
Seni rupa Bali semakin kuat dengan sokongan para seniman lokal yang kemudian belajar seni rupa secara akademik di kampus seni di kota lain. Contonnya, Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), kemudian jadi Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, atau Fakultas Seni Rupa dan Desain Instut Teknologi Bandung (ITB). Usai studi, sebagian seniman Bali bahkan berlanjut menetap di Yogyakarta.
Untunglah, sebagian seniman akademik itu kemudian pulang ke kampung halaman. Bekal akademik dikembangkan sesuai potensi lokal di Bali. Persahabatan para alumni dan dosen kampus seni menambah kekuatan jejaring nasional.
Kecenderungan ini semakin kuat dengan pengembangan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada 2003, yang merupakan gabungan dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar dan Program Studi Seni Rupa dan Desain (PSSRD) Universitas Udayana. Para seniman lokal memiliki opsi belajar di kampung sendiri, selain pergi studi ke kampus seni di luar. Sekarang, bahkan sejumlah seniman dari kota lain menuntaskan kuliah di Bali, termasuk di jenjang pasca sarjana.
Memasuki era kekinian, spirit "kontemporerisme" menggeliat di kalangan seniman muda. Mereka hidup di lingkungan yang lebih terbuka, menerima arus seni dari Yogyakarta, Bandung, Jakarta. Akses internet juga memungkinkan mereka mengakses karya-karya seni rupa terkini dari berbagai belahan dunia.
Para seniman muda itu menunjukkan gejala globalisme seni rupa. Mereka menerabas lintas batas, menggamit fenomena teknologi digital, dan memanfaatkan jejaring media sosial sebagai etalase virtual. Karya-karyanya lebih cair, lebih “colourfull”, dan relevan dengan isu-isu kekinian.
Jejak-jejak dari sejarah Panjang seni rupa Bali itu dapat ditemukan dalam Pameran Bali Art Lounge #2: "Pradnyana Purusottama – Transcending the Past, Present, and the Future" di Bali Nusa Dua Hotel, 26 September–10 Oktober 2025. Pameran diikuti oleh 23 seniman. Sebagian karya seniman merupakan koleksi kolektor Prof Yudha Triguna, sebagian lagi diundang langsung oleh Bentara. Mereka, antara lain, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Made Djirna, I Made Bendi Yudha, Made Sumadiyasa, Made Gunawan, Putu Sudiana Bonuz, Nyoman Sujana Kenyem. Kurasi pameran dirangani Warih Wisatsana dan Dewa Putu Sahadewa.
Pameran ini merupakan tahun kedua dari Bali Art Lounge, yang dimulai tahun 2024. Melalui program ini, Bentara Budaya menggandeng hotel dalam jaringan Kompas Gramedia untuk menyediakan ruang pameran bagi para seniman Bali. Penyajian karya dirancang lebih inklusif dan disesuaikan dengan tata ruang interior hotel. Karya-karya seni tak hanya ditujukan oleh komunitas seni, tetapi juga menjangkau khalayak luas, termasuk para tamu hotel. Pendekatan ini ditujuan untuk memperluas medan pameran seni.
Pameran ini sekaligus menjadi momen bagi Bentara Budaya untuk mensyukuri ulang tahun ke-43. Didirikan di Yogyakarta tahun 1982, disusul di Jakarta pada 1986, dan kemudian di Bali pada 2009, Bentara Budaya berusaha untuk memanggungkan karya seni hasil kreasi para seniman lintas bidang di Nusantara. Lembaga kebudayaan di bawah korporasi Kompas Gramedia ini berkomitmen untuk memajukan kebudayaan Indonesia melalui beragam program, seperti pameran, pertunjukan, diskusi, penghargaan, pelatihan, pemutaran film, atau bedah buku.
Dalam satu rangkaian ulang tahun, digelar tiga pameran di ruang berbeda. Pameran "Nada Merupa" di Jakarta (18-28 September 2025). Pameran Bali Art Lounge #2: "Pradnyana Purusottama" di Bali Nusa Dua Hotel (26 September-10 Oktober 2025). Pameran "Jinguk'i" di Bentara Budaya Yogyakarta, 26 September-4 Oktober 2025. Terima kasih untuk para seniman peserta pameran, para kurator, seluruh tim Bentara (di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali), serta semua pihak yang menyokong rangkaian tiga kegiatan tersebut.
Palmerah, 24 September 2025
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management,
Corporate Communication Kompas Gramedia