Pameran Bali Art Lounge #2
PRADNYANA PURUSOTTAMA
Transcending the Past, Present and the Future
26 September – 10 Oktober 2025
Bali Nusa Dua Hotel
Pameran Bali Art Lounge 2025 kali ini, bertajuk Pradnyana Purusottama, dihadirkan sebagai sebuah perenungan lintas masa: bagaimana capaian seni rupa yang mumpuni kuasa menyeberangi batas waktu. Karya-karya cemerlang yang secara stilistika-estetika telah mempribadi, bahkan meski perupanya tiada, terbukti tetap hidup mewarnai dinamika penciptaan lintas generasi.
Kata Pradnyana merujuk pada kebijaksanaan, sementara Purusottama menunjuk pada manusia unggul yang meraih tataran luhur spiritual. Maka, Pradnyana Purusottama, berasal dari bahasa Sansekerta, dapat dimaknai sebagai “Kebijaksanaan yang Unggul”—sebuah pengingat bahwa seni bukan hanya soal capaian keindahan rupa visual semata, tetapi perwujudan pengetahuan dan kebijaksanaan manusia dalam mengarungi perjalanan kulturalnya.
Melalui Bali Art Lounge 2025 ini, diketengahkan karya-karya maestro seperti Nyoman Gunarsa, Made Wianta, juga tokoh Sanggar Dewata Indonesia (SDI) lainnya seperti Made Djirna dan Made Bendi Yudha– berikut lapis generasi terkini; setidaknya memberikan gambaran dinamika transformasi seni rupa Bali modern. Berbeda dengan generasi Pitamaha, era 1930-an (Lempad dkk), para perupa ini termasuk generasi awal yang memperoleh pendidikan seni secara akademis, serta bersentuhan langsung dengan pergaulan luas seniman lintas daerah dan bangsa.
Perupa tersebut di atas menemukan energi kolektifnya melalui Sanggar Dewata Indonesia (SDI)--komunitas seni rupa yang didirikan sejumlah mahasiswa Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta, antara lain Nyoman Gunarsa (1944-2017), Made Wianta (1949-2020), Pande Gde Supada (1949-2018), Nyoman Arsana, dan Wayan Sika (1949-2020). Kelompok ini dikumandangkan kali pertama pada 15 Desember 1970 di Balai Banjar "Saraswati" di kampung Baciro, Yogyakarta.
Kita menyaksikan energi cipta dan kebersamaan ala SDI berlanjut hingga kini, dengan hadirnya perupa lintas generasi, termasuk sekian nama yang mengemuka seperti Putu Sutawijaya, Nyoman Erawan, Made Budhiana, Nyoman Sukari, Wayan Sunadi, Gede Arya Palguna, Ketut Suwidiarta, Made Wiradana, Made Sumadiyasa, Gede Arya Sucitra, Wayan Kun Adnyana, Made Kaek, hingga Putu Wirantawan yang belum lama ini pameran tunggal di Bentara Budaya Jakarta. Mereka, berikut puluhan nama perupa lainnya, membawa visi masa depan seni rupa Bali ke medan apresiasi yang lebih luas, nasional dan Internasional.
Bali Art Lounge sendiri sejak penyelenggaraan pertama (Pesona Rupa Puitika, 2024) berupaya menjadi ruang temu kreatif, bukan hanya antara karya dan publik pencinta seni, tetapi juga antara dinamika cipta masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dari lukisan klasik-tradisional Batuan dan Keliki hingga presentasi kini berupa abstraksi dan konseptualisasi rupa ala SDI; menghamparkan mosaik transformasi—sebuah medan kreativitas lintas batas yang memperlihatkan betapa seni Bali senantiasa menemukan hakikat keberadaannya di titik silang antara tradisi dan modernitas, lokalitas, dan globalitas.
Namun, sebuah ekosistem seni rupa tidak mungkin hidup sehat hanya dengan kehadiran seniman. Ada simpul-simpul lain yang harus bekerja bersama: institusi seni, ruang apresiasi, pialang seni, kritikus, kurator, komunitas, dan terlebih kolektor. Kolektor bukanlah sekadar pemilik karya; mereka adalah turut sebagai penjaga nilai dan capaian cipta, mediator, dan motor penggerak keberlangsungan kreativitas (dinamisator).
Sejarah seni dunia telah mencatat bagaimana kolektor Peggy Guggenheim (1898–1979), Charles Saatchi (lahir 1943), hingga Uli Sigg (lahir 1946) memainkan peran strategis dalam membentuk lanskap seni modern dan kontemporer global. Dalam konteks Indonesia, sebut saja Alex Papadimitriou, Alex Tedja, Deddy Kusuma, Melani Setiawan, Rudy Akili, Tom Tandio, khususnya Bali antara lain Pande Wayan Sutedja Neka, Nyoman Rudana, Anak Agung Gde Rai, dan nama Prof. Dr. IB Yudha Triguna menempati posisi tersendiri.
Sebagai seorang akademisi, budayawan, sekaligus kolektor, ia bukan hanya mengoleksi karya, namun juga memfasilitasi dialog antara seniman dan publik dalam berbagai kesempatan apresiasi. Termasuk bagaimana karya seni rupa beragam stilistika-estetika dan tematika dikaji sebagai medan wacana di berbagai Kampus. Selain menjadi Dirjen Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama Republik Indonesia (2006- 2010), dia adalah Rektor Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, 2006- 2014.
Koleksinya sedikit banyak mencerminkan jejak transformasi seni rupa Bali lintas dekade: dari dinamika Gunarsa (1944-2017), Wianta (1949-2020), Djirna (lahir 1957), hingga seniman mutakhir seperti Made Wiradana (lahir 1968), Wayan Sunadi (lahir 1969), Ketut Suwidiarta (lahir 1976), Arya Sucitra (lahir 1980), termasuk yang tak tergabung pada SDI semisal Lun Subrata (lahir 1965), Made Surita (lahir 1951), dll.
Peran kolektor semacam inilah yang memungkinkan sebuah ekosistem seni rupa tumbuh sehat-produktif: memberi ruang bagi keberanian seniman untuk bereksperimen, mendokumentasikan karya sebagai arsip budaya, sekaligus menjaga agar seni tidak terhenti pada ruang studio, melainkan berlanjut ke ruang publik untuk diapresiasi; terangkum kemudian dalam catatan sejarah.
Dengan demikian, pameran Pradnyana Purusottama bukan hanya sebuah perayaan karya seni lintas generasi. Melainkan adalah sebuah penegasan bahwa seni rupa Bali, dengan segala dinamika dan kompleksitasnya, selalu terbuka untuk bertumbuh. Masa lalu menjadi sumber kearifan, masa kini sebagai ruang transformasi, dan masa depan terbuka sebagai cakrawala kemungkinan—sebuah horizon di mana Bali berkontribusi dalam percakapan seni global tanpa kehilangan akarnya.
Karena itu selain menampilkan karya koleksi, secara khusus Bali Art Lounge 2025 kali ini mengundang juga perupa pilihan, antara lain Made Sumadiyasa (lahir 1971), Made Gunawan (lahir 1973), Nyoman Sujana Kenyem (lahir 1972), Putu Sudiana Bonuz (lahir 1972), dan karya Made Wianta.
TINJAUAN KARYA
Seni rupa Bali tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia senantiasa berakar pada pandangan hidup atau filosofi yang melihat dunia sebagai keseimbangan Rwabineda (dualitas yang saling melengkapi) serta keyakinan akan Sekala–Niskala (Nyata dan tak kasat mata). Dalam perjalanan transformasinya, nilai-nilai ini terus hadir sebagai latar pergumulan cipta, mengemuka dalam ragam gaya: dari impresionistik, ekspresionistik, abstraksi, surealistik hingga ragam kontemporer dengan segala kemungkinan kreativitasnya.
Pameran Pradnyana Purusottama merekam perjalanan lintas generasi, memperlihatkan bagaimana bahasa rupa masing-masing seniman yang personal atau mempribadi tetap berpaut dengan kosmologi Bali, meski tak jarang diekspresikan dalam aneka idiom global.
Sebagaimana disinggung di atas, Sanggar Dewata Indonesia (SDI), sedini kelahirannya pada 1970-an, menjadi medan penting bagi transformasi seni rupa Bali modern. SDI mempertemukan perupa dengan latar disiplin dan pandangan beragam, memberi ruang perdebatan antara tradisi dan modernitas. Dinamika ini melahirkan kelompok demi kelompok seturut angkatan masa pendidikan atau intensitas pergaulan perupa, sebagian besar berasal dari Bali. Karya-karya perupa lintas generasi ini menjadi tonggak dalam mengartikulasikan identitas Bali baru di tengah guncangan perubahan sosial-kultural sebagai dampak globalisasi melalui pariwisata.
Di antara sekian banyak komunitas seni dan sanggar-sanggar seni yang bermunculan dan berkembang di Indonesia, khususnya Yogyakarta sejak 1960-an, kehadiran Sanggar Dewata Indonesia telah memiliki posisi dan pondasi yang kuat dalam mengarungi bahtera seni Indonesia dan dunia.
Sejak diikrarkan, dan kini berusia 55 tahun atau lima dekade, SDI telah melahirkan ratusan perupa dengan berbagai capaian estetika dan artistik kekaryaan yang beragam. Bila mula cenderung mengeksplorasi ikon-ikon budaya Bali hingga kemudian menggeluti abstraki, dengan spirit Ke-Bali-an yang diluapkan secara nir-figur. Sebentuk refleksi keyakinan akan alam Sekala-Niskala.
Sebagai salah satu pelopor SDI, sosok Nyoman Gunarsa (1944–2017) terbilang dinamisator cipta. Bersama rekan-rekannya, ia memosisikan seni rupa Bali dalam ranah modern, dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Figur pewayangan, penari, dan ikon kebudayaan Bali, Gunarsa olah menjadi ragam rupa modernis. Semua dicapai melalui teknik sampuan kuas khas dirinya; dinamis dan ritmis serta berpadu dengan percikan warna yang melenting di kanvas—sebuah action painting figuratif. Tecermin pada karyanya yang disajikan pada Bali Art Lounge 2025.
Gaya yang ditemukan Gunarsa ini adalah sesuatu segar bagi masanya. Sosok “Bali” tampil dalam bauran unik tradisional sekaligus berciri rupa modern, selaras dengan semangat pariwisata budaya yang digaungkan era itu. Gunarsa bukan hanya pelukis, tapi juga pendidik, membimbing banyak generasi seniman agar berani mengolah ikon lokal ke dalam bahasa rupa global.
Namun, jalan lain ditempuh oleh Made Wianta (1949–2020), muncul sebagai penyeimbang sekaligus penantang. Jika Gunarsa menegaskan identitas Bali dalam bingkai modernisme, Wianta justru melarutkannya dalam kerangka nasional, bahkan universal. Unsur Bali hadir dalam karyanya lebih sebagai “memori bawah sadar”, sementara wujud formalnya mengeksplorasi spektrum luas: dari surealisme, abstraksi geometris, optical art, hingga instalasi, dan performans. Karya yang dipamerkan kali ini terbilang abstraksi geometris nan liris.
Keduanya—Gunarsa dan Wianta—memperlihatkan dua jalan besar seni rupa Bali paska 1965. Pada lapis berikutnya dalam naungan SDI, lahirlah Kelompok 7, yang pada penghujung 2024 kembali mengadakan pameran bertajuk Pinara Pitu. Merayakan capaian dan kebersamaan cipta yang hampir empat dasa warsa (1990-2024). Mengedepankan arsip, selain karya terkini, para perupa tersebut adalah Made Djirna (1957), Nyoman Erawan (1958), Made Budhiana (1959), Made Sudibia (1959), Nyoman Wibawa (1960), I Made Bendi Yudha (1961), dan Made Ruta (1962).
Melalui pameran Pradnyana Purusottama 2025 ini, kita dapat menyaksikan karya Made Djirna dan Made Bendi Yudha. Keduanya telah mengalami dinamika cipta lintas masa dan mengalami ragam tranformasi rupa, yang mencerminkan pergulatan mereka untuk menemu kebaruan sebagai ciri autentik. Ragam surealistik dan abstraksi yang membayangi berpuluh tahun berkreasi ini, menunjukkan dinamika stilistik- estetik mereka yang makin mempribadi.
Karya-karya Made Djirna, terlebih tiga dimensi, secara stilistik estetik digenangi naluri purbani. Sekilas figur-figur seni tiga dimensinya ini mempresentasikan sosok-sosok purba ala art brut. Meski harus disampaikan bahwa pencarian dan penemuan ragam bentuk purbani itu bukan galian naluri semata, melainkan laku penghayatan mendalam pada lapis realita lingkungan sekitar (sekala niskala). Sosok-sosok purbani tersebut juga berproses dalam kanvas dua dimensi, jejak mulanya dapat disimak pada karya Seri Perempuan yang dipamerkan kali ini.
I Made Bendi Yudha, banyak mengolah figur dan simbol-simbol budaya Bali dalam jelajah stilistik yang melahirkan figur rupa yang asosiatif sekaligus imajinatif. Ada usaha menghadirkan modernitas melalui deformasi bentuk berikut struktur tekstur komposisi yang padat berlapis warna. Bendi Yudha berangkat dari eksperimen sketsa, improvisasi tinta dan pensil, lalu merekonstruksinya menjadi komposisi yang detail, rapat, dan berlapis. Melalui teknik ini, mitologi Bali tidak tampil sebagai narasi linear. Figur manusia, serta berbagai sosok mitologi, dipadukan dalam pusaran awan dan api, sehingga kanvas berubah penuh lapis warna yang mengundang pandang.
Bila ditelisik, kekontemporeran yang dialami perupa Bali lintas generasi, terutama yang bersentuhan dengan dunia akademis, tahapan cipta mereka menggambarkan pula pengalaman lintas budaya (trans-culture) atau silang budaya (cross-culture). Berupa benturan sekaligus pertautan antara nilai-nilai warisan budaya leluhur (tradisi) dengan nilai-nilai budaya lain–dialami Bali bahkan jauh sebelum masa kolonial.
Generasi mutakhir SDI, berada pada kecenderungan yang tidak lagi mempersoalkan ikonografi Bali sebagai tema besar pada karya-karya mereka. Para perupa tersebut tumbuh dalam lanskap seni rupa Indonesia yang makin plural, dengan keterhubungan pada seni global yang kian terbuka sejalan dengan kemudahan komunikasi dan informasi di era digital ini,
Namun apa itu “Bali”, yang masa dulu dipertegas sebagian pernyataan identitas, kini lebih mengemuka sebagai spirit, meluap secara sublim dalam tata warna, tarian garis, berikut acuan filosofi dalam wujud rupa kontemplatif; mengelak dari ikonik simbolik Bali yang klise atau artifisial. Terdepankan sebagai penghayatan personal.
Made Sumadiyasa misalnya, mengeksplorasi abstraksi kontemporer dengan lapisan warna vibran, transparansi, dan kedalaman yang memikat. Kanvasnya sering menyingkap getar kosmik, seolah meditasi visual tentang ruang dan waktu. Eksperimennya menghadirkan labirin warna dengan lapisan-lapisan kedalaman yang ritmis-mistis. Dengan sebagian besar medan kanvas yang besar dan luas, Sumadiyasa memukau kita untuk memasuki abstraksi sebagai kelana imaji yang penuh arti.
Sedangkan Putu Sudiana Bonuz, melahirkan karya-karya dari pergulatan panjang dalam jalur non figurasi. Ia tidak mencari bentuk yang nyata, melainkan membuka ruang bagi abstraksi sebagai jalan penghayatan pada dimensi niskala. Sapuan, semburan, dan percikan warna disusun seperti aliran energi: ada ketegangan sekaligus harmoni, ada chaos yang justru melahirkan ritme. Warna cokelat, biru kehijauan, hitam, putih, hingga ungu menjadi bahasa batin yang menyingkap sesuatu di balik dunia tak kasat mata. Bagi Bonuz, abstraksi bukan sekadar bentuk estetis, tetapi medium untuk meraba getaran kosmik.
Karya I Nyoman Sujana “Kenyem” pada pameran kali ini memperlihatkan peralihan estetiknya menuju ambang abstraksi, lebih mendekati ragam surealistik. Namun tetap berpijak pada renungan tentang posisi manusia dalam alam. Pohon besar dengan detail rumit menghadirkan kesan monumental, sementara sosok kecil di bawahnya memberi penekanan pada keterhubungan manusia dengan semesta. Warna-warna meluap di latar, ditata dengan gestur spontan. Detail tekstural pada batang dan akar memperlihatkan kecermatan khas Kenyem, yang sering menampilkan figur mungil seakan menari di tengah lanskap simbolis. Seperti pada karya-karyanya terdahulu, motif pepohonan menjadi medium refleksi tentang keseimbangan dan keberadaan manusia di jagat raya.
Made Gunawan menampilkan sosok-sosok ikan yang terkesan mitologis, hadir dengan ekspresi jenaka sekaligus magis. Ia konsisten meramu tradisi dan kontemporer— teknik nyawi dan sigar-mangsi dipadukan dengan deformasi figur, warna-warna cerah, dan tekstur modern. Dari kepadatan pola dan ritme warna, lahirlah dunia imajinasi yang segar, di mana ikan-ikan menjelma simbol mitis, bergerak antara tradisi dan kebaruan. Figur-figur Ikan dengan gigi besar, mata melotot, dan ekspresi jenaka-magis, tampil penuh warna dan detail. Menciptakan lapisan visual yang rapat namun ritmis. Namun tetap memberi ruang bagi mata untuk menyelami kedalaman visual. Sebuah dunia simbolik yang jenaka, dinamis, dan harmonis.
Karya I Made Wiradana berjudul Two Sister (2009) memperlihatkan dua sosok perempuan sederhana, duduk bersebelahan sambil memetik alat musik berdawai. Warna kulit yang kontras—merah dan kuning—menciptakan kesan magis sekaligus eksotis. Figur-figur yang mengesankan naif ini memang khas Wiradana: tampak polos, lugu, namun menyimpan kekuatan orisinil yang memikat. Baginya, kanvas bukan sekadar bidang datar, tetapi ruang di mana dunia tergambar secara seketika dan serentak. Karena itu, figur-figurnya sering terpilah memenuhi kanvasnya, namun justru kesederhanaan rupa kreasi naifnya menciptakan keutuhan secara menyeluruh. Dalam Two Sister, manusia dan alam dipertemukan. Latar pepohonan, tubuh yang dilabur warna berani, serta gestur musik yang hening seakan menyingkap lapisan spiritual dan primitif: pengingat akan hubungan manusia dengan akar, dengan masa lalu, sekaligus dengan alam bawah sadar.
Nyoman Sukari, salah satu perupa Bali yang kuasa mengolah figur manusia dalam bahasa visual ekspresif, seringkali menyentuh isu sosial maupun eksistensial. Gaya lukisnya menampilkan gestur kuat, deformasi bentuk, dan tata komposisi yang terjaga. Dalam kecenderungan warna pilihan yang berlapis muram dan kelam, karya-karya Sukari menyoal tubuh manusia seolah arena pertemuan Sekala–Niskala: nyata sekaligus simbolik, material sekaligus spiritual.
Di sisi lain, karya Ketut Suwidiarta menampilkan figur grotesk dengan ekspresi teatrikal: sosok laki-laki berkulit gelap, rambut menyala api, tersenyum lebar sambil memegang gitar kecil, berdampingan dengan perempuan bergaun hijau. Dengan permainan cahaya-gelap ala chiaroscuro, Suwidiarta menggabungkan idiom Barok Caravaggio dengan citra Bali yang mistis-magis ala lukisan-lukisan langgam tradisional Batuan. Namun, latar estetik-stilistik itu ia olah untuk hadirkan nada satir: sosok menyeramkan tampil jenaka, seakan menertawakan sebuah ironi sekaligus parodi tentang Bali yang Firdausi sekaligus dunia gelap para leak atau hantu. Lukisan ini merefleksikan ciri khas Suwidiarta—memadukan rujukan Barat, imaji kolonial Bali, dan bahasa kontemporer yang kritis sekaligus ironis.
Demikian juga Wayan Sunadi, I Wayan Artana, Wayan Gede Budayana, serta Arya Sucitra, karya-karya mereka kian mempribadi dengan segala keunikan stilistika-estetik masing-masing. Mencerminkan dinamika SDI dan pengaruhnya yang lintas masa, di mana kenyataan cipta kini yang kian plural
Karya dan proses kreatif Arya Sucitra, Wayan Sunadi, serta Gede Budayana, kayak disimak tersendiri. Menggambarkan transformasi yang mewarnai perjalanan generasi Sanggar Dewata Indonesia menyingkap sebuah dinamika estetik yang khas. Dari awal pendiriannya hingga kehadiran para penerus hari ini, SDI senantiasa memelihara keberanian bereksperimen, melintasi batas lokal, nasional, hingga global. Benang merah itu bukan sekadar jejak kontinuitas, melainkan medan kreatif yang memungkinkan pertemuan gagasan lintas waktu dan ruang.
Demikian juga karya Made ‘Lun’ Subrata dan Made Surita, dkk, yang tidak tergabung secara langsung dengan SDI. Dinamika cipta khas Bali, dengan segala ikonografi para pendahulu, mewarnai kancah kreativitas mereka. Warna dan komposisi, serta luapan garis yang melepas bebas, senantiasa berupaya menegaskan keberadaan sang diri (bhuana alit) di tengah semesta raya (Bhuana agung).
STILISTIK-ESTETIK
Perihal langgam surealistik dan ekspresi abstraksi yang dianut sebagian besar perupa, termasuk juga Kelompok Tujuh, Kelompok Sebelas, dan kelompok lainnya dalam naungan SDI, layak ditelisik sebagai bagian dari transformasi seni rupa Bali. Patut diungkapkan bahwa pergulatan mereka melampaui figurasi tersebut tidak sepenuhnya dapat dirujukkan pada alur abstrakisme atau surealisme Barat.
Memang selintas pandang secara stilistik atau teknik, tak dipungkiri adalah bagian dari keberadaan abstrakisme dan surealisme. Namun setaut itu, dapat diuji di sini bahwa muatan yang terkandung di dalam karya, bisa saja berangkat dari latar penghayatan atau titik mula penciptaan yang berbeda.
Kalau para pelukis abstrak Barat berproses melalui sejumlah pemertanyaan tentang Realita terutama secara rasional dan sistematis, sedangkan pelukis SDI ini barangkali lebih dipicu oleh permenungan batin atau ragam abstraksi yang bermula dari penghayatan keseharian masyarakat Bali–meyakini bahwa selain dunia sekala (nyata/kasat mata) terdapat pula dunia niskala (nir-wujud). Sebentuk penghayatan akan ketransedenan atau sesuatu yang melampaui nalar; cerminan tahapan spritualitas yang mempribadi.
Karya-karya mereka itu bukan sekadar abstrak atau semata habluran warna personal, melainkan sebentuk puitisasi semesta diri (mikrokosmos-makrokosmos) sekaligus mempresentasikan, apa yang disebut budayawan Dick Hartoko, sebagai “Rasa yang tak terlihat” (unseen feeling) berikut daya kreatif (creative power) yang tak kunjung surut. Karya-karya tersebut sesungguhnya adalah sebuah tarian yang nir-sosok– atau bentuk rupa surealistik - yang lapis demi lapis hadir melalui sapuan warna dan komposisi dua dimensi yang melepas bebas; atau ragam visual tiga dimensi yang lintas batas ruang dan imajinasi.
Dengan tinjauan cipta atas karya-karya yang dipamerkan, Pradnyana Purusottama memperlihatkan jembatan antar generasi: dari Gunarsa dan Wianta yang merintis jalan, kelompok tujuh yang mengokohkan, hingga generasi mutakhir yang membuka horizon baru. Semua membentuk ekosistem estetik yang plural, diikat oleh kesadaran cipta bagaimana capaian karya senantiasa menyeberangi batas masa lalu, sekarang, dan mendatang.
Transformasi yang mewarnai perjalanan generasi Sanggar Dewata Indonesia menyingkap sebuah dinamika estetik yang khas. Dari awal pendiriannya hingga kehadiran para penerus hari ini, SDI senantiasa memelihara keberanian bereksperimen, melintasi batas lokal, nasional, hingga global. Benang merah itu bukan sekadar jejak kontinuitas, melainkan medan kreatif yang memungkinkan pertemuan gagasan lintas waktu dan ruang.
Hal mana ini selaras pula semangat Bali Art Lounge (BAL), yang menarasikan pentingnya melting pot; di mana bagian dari lounge, hotel, atau resort tersebut bukanlah semata Tempat (Place), melainkan juga menjelma Ruang (Space); sebentuk medan pertemuan kreatif (melting pot) yang dapat mendorong gelora penciptaan lintas masa
Dalam konteks ini, Bali tidak berhenti dilihat sebagai destinasi budaya semata, tetapi hadir sebagai ruang tafsir estetik yang terus berkembang. Melalui karya, diskursus, dan eksperimen artistik para anggotanya, SDI berikut perupa-perupa Bali lainnya, mengartikulasikan bagaimana identitas budaya dapat senantiasa dinegosiasikan, diperluas, dan diperbarui.
Dengan demikian, lima dekade lebih kiprah SDI, bolehlah dibaca laiknya “laboratorium” estetik-stilistik yang memperlihatkan bahwa proses Penciptaan adalah dialog yang tak pernah selesai antara tradisi dan modernitas, antara lokalitas dan fenomena kosmopolitas dalam arus globalisasi.
Catatan
Pameran Pradnyana Purusottama menegaskan bahwa seni rupa Bali adalah arus yang terus mengalir, menampung lapisan tradisi, modernitas, dan kontemporer. Ia hadir sebagai perjalanan mencari kebijaksanaan unggul—Pradnyana Purusottama—melalui bahasa rupa yang senantiasa hidup, bergerak, dan melintasi batas ruang maupun generasi.
Kehadiran Bali Art Lounge (BAL) sebagai program pameran rutin memperlihatkan satu kekhasan: membangun ekosistem seni rupa yang sehat dan produktif, dengan menempatkan kolaborasi lintas institusi, komunitas seni berdedikasi, dan pribadi kreator bereputasi sebagai pondasi. Pameran ini bukan hanya dirancang untuk apresiasi estetika semata, melainkan juga memperluas jangkauan audiens—dari penikmat umum hingga kolektor—melalui presentasi karya yang terkurasi dengan cermat.
Ruang Art Lounge, yang bersemi di hotel, resort, maupun galeri khusus, dihadirkan bukan sekadar sebagai place (tempat), melainkan menjelma menjadi space (ruang): ruang pertemuan gagasan, dialog lintas masa, serta melting pot yang memicu energi kreatif. Di sini seni tidak terikat pada tembok galeri semata, tetapi menemukan kemungkinan baru dalam ruang hidup sehari-hari, memberi kesempatan khalayak luas untuk bertemu langsung dengan denyut estetika dan gagasan seniman.
Peran kurator, bukan saja sebagai penyusun wacana, tetapi juga sebagai mediator yang memahami dinamika dunia seni—lokal, nasional, hingga global—sehingga karya-karya yang dipresentasikan tidak terlepas dari percakapan yang lebih luas. Kurasi yang berfokus pada kreativitas, kebaruan, serta pencarian personal seniman, memberi dorongan bagi lahirnya karya yang berdaya pesona universal namun tetap berakar pada keunikan masing-masing perupa.
Dengan demikian, Bali Art Lounge hadir bukan hanya sebagai program ekshibisi, tetapi juga sebagai upaya konsisten membangun keberlanjutan ekosistem seni rupa Bali dan Indonesia. Ia adalah ruang bersama yang merawat tradisi, membuka diri pada modernitas, sekaligus membangun dialog dengan wacana seni rupa kontemporer global. Dalam arus yang terus mengalir inilah, Pradnyana Purusottama menemukan makna: kebijaksanaan unggul yang lahir dari kesadaran, kreativitas, dan perjumpaan lintas generasi.
Kurator:
Warih Wisatsana
Dewa Putu Sahadewa