Imaji Indonesia dalam Lukisan
Apa hal yang paling membedakan Indonesia dengan negara-negara lain? Salah satunya adalah kemajemukan. Masyarakat di negeri ini sungguh beragam dalam ras, suku, agama, bahasa, dan adat istiadat.
Coba kita bayangkan kembali dengan mengacu data berikut. Total wilayah Indonesia seluas 1,9 juta kilometer persegi (World Atlas, 2020). Negeri ini merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang mencakup 17.380 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2024). Total jumlah penduduk mencapai 285,9 juta jiwa (populationtoday.com, 2025).
Dari populasi itu, terdapat lebih dari 1.300 suku di Indonesia (Badan Pusat Statistik RI). Sebagian besar dari mereka menggunakan bahasa yang berbeda. Badan Bahasa Kemendikbud RI mencatat, ada 718 bahasa daerah di Nusantara. Masyarakat di negeri ini menganut enam agama besar, selain sejumlah aliran kepercayaan.
Fakta lanjutan lain yang lebih menarik, dalam kemajemukan itu, ternyata kita bisa bersatu membentuk Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Lantas, apa yang menyatukan masyarakat yang beragam itu sehingga mampu berhimpun dalam satu negara nasional modern (modern nation-state) bernama Indonesia?
Pinjam istilah pemikir sainstis politik asal Irlandia Benedict Anderson (1936-2015), penyatuan itu dilambari imajinasi bersama atau komunitas yang dibayangkan (“imagined community”). Menurut Anderson ("Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism," 1983), bangsa merupakan komunitas yang dibangun secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang menganggap diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok. Bangsa selalu dipandang sebagai persaudaraan yang mengikat, dalam dan meluas.
Merujuk ke sejarah, sejatinya Indonesia tidak lahir sebagai sebuah bangsa yang satu. Terbentang dalam kepulauan Nusantara, banyak kerajaan muncul silih berganti dalam bentang sejarah kawasan ini. Sebagian besar merupakan kerajaan kecil atau menengah dengan cakupan wilayah terbatas. Pernah muncul dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan (abad ke-7 sampai 14 M) dan Kerajaan Majapahit yang memusat di Jawa Timur (abad ke-13 sampai 16 M).
Meski kekuasaannya kurang-lebih melingkupi kawasan Nusantara, Sriwijaya dan Majapahit tidak mewariskan perasaan sebangsa dan setanah air kepada penduduk di kawasan ini setelah dua Kerajaan itu runtuh. Tanpa dikendalikan kerajaan besar, masyarakat di Nusantara berada dalam kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal yang saling bertikai. Akibatnya, sejak 1509 hingga 1945 (jika diakumulasikan selama 436 tahun), Nusantara kemudian berada dalam penjajahan oleh negara-negara Eropa, mulai dari Belanda (VOC maupun kerajaan), Spanyol, Portugis, Prancis, hingga Inggris. Terakhir, Jepang menjajah sebelum akhirnya kita merdeka.
Penjajahan itu sebenarnya tidak pernah solid dan utuh, dalam pengertian ada satu negara kolonial menguasai Nusantara dari Sabang hinggga Merauke dalam satu kurun waktu tertentu. Penguasaan kolonial bersifat seporadis dan terbatas, bahkan Portugis dan Spanyol pernah berbagi wilayah Nusantara dalam satu momen. Namun, penjajahan itu kemudian menciptakan perasaan dan kesadaran senasib sepenanggungan sebagai warga yang dikuasai atau diperbudak bangsa lain.
Kesadaran itu akhirnya menumbuhkan imajinasi bersama atau cita-cita tentang sebuah negara yang bersatu. Pada 28 Oktober 1928, imajinasi itu diekspresikah oleh para pemuda dari sejumlah suku di Nusantara dalam satu ikrar untuk bersatu dalam tanah air (tumpah darah), satu bangsa, dan satu bahasa. Sumpah Pemuda ini merupakan pernyataan gerakan persatuan yang mengupayakan terwujudnya satu bangsa yang dibayangkan bernama Indonesia.
Desakan untuk melepaskan diri dari cengkeraman penjajahan semakin kuat, meski Belanda terus menindas, menumpas, dan mengasingkan para tokoh pergerakan nasional. Dalam segala keterbatasan, para cerdik pandai pada masanya terus menyuarakan cita-cita kita menjadi sebuah negara yang merdeka, berdaulat, mengatur diri sendiri, dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Saat Jepang bertekuk lutut pada Sekutu dan terjadi kekosongan kekuasaan di Nusantara, akhirnya para pejuang mendapatkan momen Istimewa untuk menuangkan imajinasi itu dalam kenyataan. Atas nama bangsa Indonesia, Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Setelah proklamasi, Republik Indonesia menghadapi banyak tantangan untuk mempertahankan kermerdekaan itu. Belanda baru mengakui kemerdekaan bekas jajahannya itu pada 1949. Seteah itu, muncul sejumlah gejolak politik yang mengguncang negara baru ini. Sebut saja, antara lain, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948, gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) tahun 1949, Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera dan Piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi tahun 1958, dan Gerakan 30 September 1965. Pada 1998, kita juga mengalami krisis yang mendorong Gerakan Reformasi.
Dengan modal kesadaran persatuan, kita berhasil mengatasi berbagai guncangan itu dan semakin kokoh sebagai bangsa. Kita masih kuat memegang Pancasila, UUD 1945, dan jargon Bhinneka Tunggal Ika. Kini pada 2025, kita menyukuri 80 tahun kemerdekaan Indonesia.
Bagian dari syukuran itu, digelar pameran bersama "Wajah Kita dalam Rupa" di Bentara Budaya Art Gallery di Lantai 8 Menara Kompas, Jakarta, 19 Agustus-18 September 2025. Pameran menyajikan 36 lukisan koleksi Bentara Budaya dan 17 karya dari sembilan seniman undangan. Karya itu dibuat sejak tahun 1940-an sampai sekarang.
Lukisan koleksi itu antara lain karya Oegeng Heru Supono, S Dullah, But Muchtar, Nasirun, Asnida Hassan, Basuki Resobowo, Koentjoroningrat, Batara Lubis, Tedja Suminar, Ketut Nama, Agus Djaja, Soedibio, Gusti Made Deblog, Bagong Kussudiardjo, Rastika, dan Abbas Alibasyah. Karya mereka ditampilkan bersama sembilan seniman undangan, yaitu Afriani, Galuh Tajimalela, Hanny Widjaja, Kinkin, Nisan Kristiyanto, Rendra Santana, Sarnadi Adam, Tato Kastareja, dan Vy Patiah.
Tajuk "Wajah Kita dalam Rupa" dipilih untuk merangkum gambaran tentang Indonesia yang disajikan para pelukis. Karya-karya mereka menggambarkan keragaman ekspresi budaya di Nusantara dalam berbagai bentuk, mulai dari pemandangan, tarian, festival tradisional, ritual, topeng, wastra, cerita rakyat, atau kehidupan sehari-hari. Lukisan koleksi (yang sebagian besar dibuat oleh seniman senior atau sudah meninggal) merekam ekspresi budaya sejak sebelum kemerdekaan. Lukisan seniman undangan menggambarkan kenyataan kebudayaan kita masa sekarang.
Pameran ini diharapkan turut memperkuat imajinasi kita sebagai Indonesia. Kita sadari sepenuhnya, bahwa masyarakat kita memang majemuk dalam suku, agama, ras, budaya, atau bahasa. Keberagaman itu hendaknya tidak menjadikan kita tercerai-berai, melainkan menjadi modal kekayaan yang disyukuri dan terus diikat kuat dalam kesadaran persatuan sebagai bangsa.
Terima kasih kepada para seniman yang menyajikan karyanya dalam pameran ini. Penghargaan untuk kurator Bentara Budaya, Frans Sartono dan Efix Mulyadi, yang memilih dan menata karya sehingga menjadi pergelaran yang menarik. Apresiasi untuk tim Bentara Budaya dan semua pihak yang membantu program ini terlaksana dengan baik.
Palmerah, 19 Agustus 2025
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication, Kompas Gramedia