Pameran Dokumentasi Kompas
Kriwikan Dadi Grojogan
Enam puluh dua tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa pertemuan kecil antara dua orang jurnalis muda, P.K. Ojong dan Jakob Oetama. Mereka berjalan kaki ke arah timur kota Yogyakarta, yang dalam perjalanan tersebut mereka membahas tentang penerbitan sebuah majalah. Sesampainya di Candi Prambanan, akhirnya mereka sepakat untuk bekerja sama membuat sebuah majalah kecil seperti Reader's Digest, Het Beste yang populer saat itu. Hal tersebut tergambar dalam tayangan film dokumentasi Kompas dengan judul "Sepercik Kenangan Segelombang Teladan" garapan sutradara Dwi Koen produksi Gramedia Film tahun 1980. Film ini dibuat tidak lama setelah P.K. Ojong meninggal dunia.
Sebagai tambahan keterangan, ada rasa bimbang dalam hati Jakob Oetama saat diajak P.K. Ojong bergabung karena saat itu dia juga mendapat grand untuk kuliah di Amerika Serikat.
Jakob Oetama berada di persimpangan jalan, dia harus memilih menjadi doktor atau wartawan. Kemudian dia menemui panutannya Romo Probo, akhirnya dia disarankan untuk menjadi wartawan, yang mempunyai akses lebih luas pengabdiannya pada masyarakat.
Tahun 1963 terbitlah majalah INTISARI pada edisi perdana covernya sangat sederhana tanpa gambar ilustrasi, namun itulah yang menjadi awal berdirinya perusahaan penerbitan KOMPAS GRAMEDIA.
Sudah tak terbilang jumlah terbitan KG selama ini, dari surat kabar Kompas mulai 1965 sampai sekarang, buku-buku terbitan Gramedia, majalah Bobo, Hai, Donald Bebek, Jakarta-Jakarta, Kontan, Jakarta Post dan banyak lagi yang lainnya.
Jadi tidak berlebihan kiranya jika pameran dokumentasi ini kami beri judul Kriwikan Dadi Grojogan karena memang seperti itulah perjalanan Kompas Gramedia dari sesuatu yang kecil akhirnya menjadi besar.
JALAN SENI BENTARA BUDAYA
Jauh sebelum Bentara Budaya diresmikan tahun 1982, PK Ojong sudah merintis jalan seni ini. Ketika menjadi wartawan Keng Po tahun 1930-an dan diteruskan dengan Star Weekly, P.K. Ojong banyak memuat karya-karya seni lukis dan keramik, seperti karya Siauw Tik Kwi, dan seniman keturunan lainnya.
Pada era Kompas Gramedia dia banyak mengoleksi keramik, lukisan Bali dan barang-barang seni lainnya. Bersama GM Sudarta dia mengumpulkan karya seni rupa yang terkumpul menjadi koleksi Kompas Gramedia.
Pada 26 September 1982, Kompas Gramedia membuka lembaga kebudayaan bernama BENTARA BUDAYA. Riwayat berdirinya lembaga ini cukup unik, di jalan Jendral Sudirman No 54 Yogyakarta rumah dari dr. Soedomo dibeli dan dibuat toko buku Gramedia, sekitar akhir 1970-an.
Setelah beberapa tahun berjalan ternyata sudah tidak dapat menampung buku-buku, akhirnya rumah sebelah baratnya No 55 milik sutradara Ami Priyono dibeli, dan dibangun toko Gramedia yang baru dua lantai. Tahun 1982 toko lama kosong, rencananya akan disewa toko roti, travel atau batik. Saat Jakob Oetama berkunjung ke Yogya bertemu wartawan muda Kompas Sindhunata, terjadi dialog yang akhirnya diputuskan oleh Pak Jakob untuk membuat lembaga kebudayaan Kompas di toko yang kosong.
Teman-teman wartawan berdatangan di Yogya antara lain Mas Kris, GM Sudarta, Ardus M Sawega, dan Yulian S. Mereka berbagi tugas. Beberapa nama lain yang terlibat kemudian: Pak Benny Kepala Toko Buku Gramedia Yogya, Pak Marzuki seorang guru di Yogya, Hajar Satoto, Hari Budiono, Hermanu, Gepeng Suhartono, dan Mulyono. Mas Tedy S yang membuat Logo Bentara dengan huruf Jawa. Lembaga kebudayaan Kompas ini diberi nama BENTARA BUDAYA.
Yogyakarta, 25 Juni 2025
Hermanu