Spirit Kerakyatan pada Seni Rupa Moelyono
Moelyono (68 tahun) selama ini suntuk mengembangkan seni rupa "penyadaran". Semacam aktivisme sosial yang memanfaatkan olah seni sebagai gerakan untuk memberdayakan masyarakat. Belakangan, seniman itu kepincut dengan ludruk yang mengantarkannya pada ekspresi seni yang "eklektif" dan bersemangat kerakyatan.
"Kali ini, saya fokus ke ludruk. Saya belajar dari seni rakyat ini, dari sisi perlawanannya, semangat egaliternya, juga sisi artistiknya," kata Moelyono saat ngobrol ditemani Imran Hasibuan, jurnalis senior, di Bentara Budaya Jakarta, Rabu (2/7/2025) siang.
Sudah cukup lama Moelyono bergaul akrab dengan kelompok ludruk Budhi Wijaya di Desa Ketapang Kuning, Kecamatan Ngusikan, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Tak hanya bersahabat dengan pemimpin kelompok ini, Didik Purwanto, dia juga mengenal satu per satu para pemain lainnya.
Bagi Moelyono, spirit perlawanan ludruk tercermin dari sejumlah lakon pentas yang sebagian menceritakan gerakan rakyat melawan kedzaliman. Contohnya, lakon "Geger Pabrik Gula", "Sakerah," atau "Sarip Tambak Oso." Ketiga kisah ini sama-sama menggambarkan pemberontakan warga terhadap kekuasaan kolonial Belanda yang menindas "wong cilik."
Semangat perlawanan juga diekspresikan dalam parikan (semacam pantun yang dilafalkan saat pentas ludruk). Misalnya, parikan terkenal Cak Durasim, "Pagupon omahe doro, melok Nippon tambah soro." Ini peringatan bahwa hidup menghamba pada penjajah (Jepang saat itu) malah menambah kesengsaraan.
"Perlawanan dalam ludruk juga bisa dimaknai sebagai daya pikir yang kritis, semangat untuk hidup mandiri, dan tidak tunduk pada kekuasaan yang dzalim," kata Moelyono.
Mengacu kelompok Budhi Wijaya, para pemain rata-rata memiliki kesibukan di luar ludruk. Mereka mencari nafkah dengan berdagang di pasar, punya warung, buka salon, tukang, atau buruh tani. Saat ada tanggapan, mereka kembali bergegas menggarap lakon-lakon yang sudah populer.
Gaya hidup para pemain ludruk juga menunjukkan semangat egaliter. Mereka terbiasa hidup bersama, saling menghargai, tanpa kelas, bahkan juga menerima karakter transgender. Saat pentas, lazim pemain laki-laki didandani sehingga tampak "kemayu" agar dapat memerankan karakter perempuan. Saat sesi "remo" atau “ngremo” pada awal pentas, pemeran akan menari, parikan, dan menembang dalam balutan riasan yang maskulin sekaligus feminin.
Sikap egaliter juga terasa saat goyonan di panggung. Antar pemain bisa saling lempar humor, meledek, atau menggoda satu sama lain. Nyaris tanpa batas. Tak hanya menertawakan obyek “guyonan”, mereka juga sering menertawakan diri sendiri. “Joke” juga bisa menelisip kapan saja, bahkan saat berlangsung adegan serius.
Moelyono juga tertarik dengan daya artistik ludruk. Salah satunya, kemasan karakter binatang di atas panggung. Pemain muncul dalam busana yang dikemas mirip hewan, katakanlah seperti harimau atau kuda. Namun, kakinya dibiarkan telanjang begitu saja sebagai kaki manusia. Ada kesengajaan agar karakter binatang itu benar-benar tampak sebagai rekaan.
"Bentuk hewan jadi salah satu artistik visual ludruk yang unik. Visual ini saya tangkap dan gambar sebagai lukisan," katanya.
Moelyono menyerap semua spirit dari ludruk itu, mengolahnya, lantas mengekspresikannya dalam wujud karya-karya seni rupa, terutama lukisan dan "drawing". Karakter pemain ludruk disajikan sebagai figur-figur dalam adegan yang hidup. Gaya visualnya cenderung realis sehingga mudah dipahami publik.
Ambil satu contoh, lakon "Geger Pabrik Gula" digubah menjadi lukisan di atas kanvas dengan judul sama. Lukisan memperlihatkan adegan para petani yang melawan para sinder yang akan merebut lahan mereka. Di tengah gontok-gontokan itu, menyempil satu orang yang sedang merias diri.
Lukisan lain, berjudul "Para Mandor Kontrol Kebun Tebu", menampilkan beberapa sosok mandor yang meninjau ladang tebu. Berbaju atasan dan bawahan putih-putih, mereka mengendarai kuda. Namun, kuda itu persis kuda dalam pentas ludruk dengan kaki manusia. Moelyono meminjam aspek artistik ludruk untuk memperkaya lukisannya.
Selain mengadopsi spirit ludruk, Moelyono juga melakukan "apropriasi" terhadap lukisan-lukisan karya Raden Saleh (1807-1880). Idiom-idiom perintis seni rupa modern itu diambil (ditiru), dikemas, dan diberi konteks anyar. Gaya visual romantik Raden Saleh juga diadopsi sedemikian rupa.
Lukisan "Raden Saleh Berburu Singa" bisa jadi sampel. Tampak seorang pemburu dengan kudanya yang bergumul dengan dua singa di padang gurun. Namun, wajah pemburu itu diganti dengan wajah Raden Saleh.
Pendekatan serupa tampak pada lukisan "Raden Saleh dan Rubens Berburu". Tampak sejumlah pemburu dengan kuda tengah berjibaku melawan beberapa ekor singa. Wajah Raden Saleh dan Paul Ruben (pelukis Belanda, 1577-1640) juga nyempil di tengah adegan.
Idiom visual ala ludruk dan apropriasi atas lukisan Raden Saleh menunjukkan keluwesan Moelyono dalam memanfaatkan beberapa strategi sekaligus untuk mengembangkan karya seninya. Ada semangat "eklektif" atau mengadaptasikan beragam gaya seni dari era berbeda untuk menghasilkan satu karya dengan konteks baru. Dari ludruk, ditangkap spirit perlawanan, egaliter, dan artistiknya. Dari aproriasi Raden Saleh dan Paul Ruben, diserap gaya visual romantik dramatisnya.
Semua karya Moelyono terbaru itu ditampilkan pada pameran tunggal "Moelyono & Seni Rupa Ludrukan Desa" di Bentara Budaya Jakarta, 10-19 Juli 2025. Selain lukisan dan "drawing", disajikan juga instalasi dengan memanfaatkan properti ludruk dan gamelan. Rencananya, akan dipajang juga karya gerabah dari Jatiwangi Art Factory (JAF) asal Majalengka, Jawa Barat, yang mengubah lukisan Moelyono menjadi karya keramik. Namun, lantaran masalah teknis, sepertinya karya ini urung ditampilkan.
Dalam pameran kali ini, Moelyono jelas menunjukkan komitmen untuk terus memperkuat proyek seni rupa "penyadaran". Namun, dia tak berhenti di situ. Bermodal aktivisme sosial, dia lantas mengembangkan idiom-idiom visual artistik baru untuk lukisan dan "drawing"-nya. Kegiatan ini juga menunjukkan resiliensi Moelyono sebagai manusia dan seniman.
Pada Oktober 2023, Moelyono dan komunitas seni Taring Padi mendapatkan anugerah Akademi Jakarta. Namun, pada November 2023, tiba-tiba dia jatuh pingsan akibat ada penggumpalan darah di otak. Setelah menjalani dua kali operasi (dengan membuka sebagian batok kepala), juga rangkaian terapi, dia berangsur pulih kembali. Seiring masa pemulihan, seniman ini bertekad untuk berpameran tunggal kembali.
Pameran tahun 2025 merupakan pameran tunggal keenam bagi Moelyono. Sebelumnya dia pernah berpameran tunggal di Malaysia, Yogyakarta, dan Australia. Kebetulan, pameran pertamanya juga digelar di Bentara Budaya Jakarta tahun 2007, dengan tajuk "Pak Moel Guru Gambar". Bisa dibilang, pergelaran kali ini mirip "dejavu" yang mengingatkan pada momen 18 tahun silam.
Selamat berpameran untuk Mas Moelyono, semoga terus bugar untuk melahirkan karya-karya segar. Terima kasih untuk Romo Sindhunata, Mas Seno Joko Suyono, Mbak Rifda Amalia, dan Mas Frans Sartono, yang menulis pengantar pameran dan menangani kurasi. Penghargaan untuk Mas Imran Hasibuan yang mendampingi dan memberikan support selama persiapan pameran.
Apresiasi untuk kelompok ludruk Budhi Wijaya pimpinan Mas Didik Purwanto, yang jauh-jauh dari Jombang datang ke Jakarta untuk mendukung pameran. Kelompok ini menampilkan pentas singkat saat pembukaan pameran serta fragmen lakon "Geger Pabrik Gula" pada sesi diskusi. Terima kasih untuk tim Bentara Budaya dan semua pihak yang menyokong pameran ini.
Palmerah, 4 Juli 2025
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management,
Corporate Communication Kompas Gramedia