Tuku Pengarep-arep
Jemek, Threeda, Sekar
Tuku pengarep-arep. Membeli harapan.
Inilah yang digulati oleh Jemek Supardi (almarhum) dan Threeda Mayrayanti. Tidak hanya sejenak, atau sehari dua hari saja. Tapi selamanya. Sepanjang hidupnya. Tuku pengarep-arep berasal dari ucapan Jemek sendiri. Dari ungkapan itu tampak, harapan itu bukanlah perihal yang murah dan mudah. Harapan itu mahal. Karena itu, ibaratnya, harapan bukan barang yang gratis. Harapan harus dibeli. Tapi karena harapan bukan barang, maka membelinya tidak bisa dengan uang. Membelinya harus dengan hidup Jemek dan Threeda sendiri. Jemek adalah seniman miskin. Memang, sebagai seniman pantomim, ia sangat terkenal. Tapi seberapakah nafkah yang bisa diperoleh dengan berpantomim? Sementara Threeda adalah pelukis, yang menyandang sakit. Dan sakit itu harus ditanggung tidak oleh fisiknya tapi oleh jiwanya. Tidak hanya sesekali, tapi sering, bahkan dalam waktu lama, gangguan jiwa harus dideritanya. Dalam keadaan demikian, sulit baginya untuk mengharapkan hal-hal luar biasa.
Pada Jemek dan Threeda, kerapuhan dan kekurangan adalah harta yang mereka punya. Maka mau apa? Kerapuhan dan kekurangan itulah modal harapannya. Dan dengan kerapuhan dan kekurangan itu mereka membeli harapannya. Jemek dan Threeda terlempar pada nasib, yang kiranya tidak dikehendakinya. Tapi mereka tidak bisa menolaknya. Mau atau tidak, mereka harus menerimanya. Justru karena itu, pada mereka terungkaplah apa sesungguhnya harapan. Mereka mengalami kerapuhan dan kekurangan. Tapi justru, kerapuhan dan kekurangan inilah yang mendorong mereka untuk yakin, akan datanglah kelak kecukupan yang memenuhi mereka dengan kebahagiaan. Mereka sering takut dan khawatir, tapi justru karena ketakutan dan kekhawatiran itulah mereka didorong untuk terus berharap akan sesuatu yang lebih baik di masa depan. Bagi Jemek dan Threeda, berharap itu seakan mustahil. Tapi mereka tak pernah menyerah. Ibaratnya, untuk membelinya, mereka rela mengusahakan apa saja, kendati mereka tak berpunya. Akhirnya, harapan Jemek dan Threeda tak sia-sia. Harapan mereka berdua akhirnya berbuah. Dan buah itu adalah anaknya, Kinanti Sekar Rahina. Entah dari mana mereka memperoleh nama itu bagi satu-satunya puteri mereka. Yang jelas, “sekar” itu artinya bunga. Dan bunga yang indah adalah bunga yang mekar. Bagi Jemek
dan Threeda, Sekar itu indah, karena pada anaknya mereka melihat harapan mereka mekar senyata-nyatanya.
Dan nama Sekar itu didahului dengan nama Kinanti. Dalam tembang macapat, watak Kinanti (Kinanthi) adalah mesra, penuh cinta, dan niat terus memohon tuntunan yang menunjukkan jalan untuk menggapai cita-cita. Kinanti Sekar Rahina adalah cita-cita yang dicari dan ingin digapai oleh Jemek dan Threeda. Mereka menggapai Rahina, bagaikan malam yang mengharapkan datangnya rahina, siang dengan terangnya.
***
Jemek Supardi adalah pantomimer asli Yogyakarta. Ia juga dikenal tingkat nasional.
Pantas bila ia telah menjadi ikon seni pantomim Indonesia. Ia memang mengabdikan diri pada jenis kesenian yang langka ini dengan setotal-totalnya. Dan ia tak pernah menyimpang dari dunia pantomim yang tak banyak diminati pelaku seni ini. Di mata kebanyakan orang, pantomim mungkin seni yang sulit dicerna. Tapi karena kecintaannya pada pantomim, Jemek berhasil menjiwai watak seni yang hening ini. Dalam gerakan-gerakan Jemek yang abstrak, kita bisa menangkap seni pantomim sebenarnya tidak jauh dari pengalaman-pengalaman konkret keseharian. Pantomim Jemek memang berangkat dari situasi konkret dan nyata yang dijumpainya. Misalnya, ia berpantomim tentang keheningan di tengah keramaian. Dengan kostum
kuningnya, ia berjalan bagaikan rohaniwan di tengah arus lalu lintas Malioboro sedang padat-padatnya. Mungkin ia hendak menggambarkan, di Yogyakarta yang ramai ini, orang masih membutuhkan kesunyian atau ruang sunyi bagi dirinya. Atau bisa juga ia hendak menggambarkan semacam tapa ngrame. Maksudnya, bersemedi di keramaian, agar manusia bisa tetap memperoleh kedamaian, kendati hiruk pikuk persoalan hidupnya. Jemek juga pernah mengkritisi masalah sampah di Yogyakarta. Ia pun berpantomim di tengah gundukan sampah. Dan berdialog dengan sapi yang sedang mengais-ais di tengah sampah, seakan bertanya, mengapa masalah sampah di Yogyakarta tidak bisa segera diatasi. Adegannya menggambarkan manusia yang tidak tahu lagi jalan atau solusi, sampai ia pun bertanya pada sapi.
Tahun 1997, ada Festival Kesenian Yogya (FKY). Jemek tak diikutkan. Ia protes dengan caranya. Ia naik becak ke pasar seni. Wajahnya berpupur putih. Pakai jas hitam, dan dasi kupu-kupu. Di depan benteng Vredeburg, becaknya berhenti. Jemek membagi-bagikan kembang sedap malam, dan selebaran “Pak Jemek Pamit Pensiun”. Sampai di Pasar Seni, Jemek kelihatan merenung. Seakan ia bertanya, kenapa ia tak disertakan dalam perhelatan seni ini? Ia lalu berbelanja dan menawar dengan gaya pantomim. Seorang satpam menyeretnya. Di pos keamanan, Jemek diinterogasi. Ia tak punya izin pentas, mengapa nekad, kamu mengganggu keamanan. Begitu kata polisi. Jemek tidak menjawab dengan kata-kata, tapi dengan gerak pantomim. Ia mengisyaratkan, ia sanggup diborgol, bila memang mengganggu keamanan. Polisi kewalahan. Akhirnya, pak polisi “bicara” dengan gerak pantomim pula. Suasana jadi lucu, dan orang-orang tertawa. Tahun 1999, Jemek mengadakan aksi ruwatan di pelataran Djoko Pekik, Sembungan, Bantul. Menjelang Pemilu 1999, bumi Nusantara banyak dikotori oleh pelbagai hal, termasuk ketidakjujuran partai-partai politik. Karena itu partai-partai ini perlu juga diruwat.
Malam itu Kali Bedog sedang besar arusnya. Bergandulan tali panjang, Jemek merambat ke tengah. Dengan basah kuyup, ia naik ke kerambah, semacam panggung kecil, di mana diletakkan seonggok tebu dan padi. Dengan telaten, Jemek membersihkan tebu dan padi dari segala sampah plastik, dan gombal-gombal yang terbawa arus. Lalu sampah sebagai lambang noda-noda itu dilarutkannya ke kali. Jemek membuat gerakan melarung. Gerakan yang melambangkan pembersihan. Semoga dengan demikian, Pemilu dibersihkan dari segala kecurangan dan ketidakjujuran, yang juga meliputi partai-partai. Bagi Jemek, seni pantomim itu sumbernya adalah roso, rasa. Ia selalu berusaha mencari dan menggali roso itu. Katanya, roso itu senantiasa ada bukan hanya dalam dirinya, tapi dalam setiap pengalaman hidupnya. Memang roso ini tidak bisa ditemukan dan dialami setuntas-tuntasnya. Ia harus puas dengan roso yang diberikan oleh hidup, seberapapun dalamnya. Dan begitu ia merasa telah menemukannya, ia lalu menuangkan roso tersebut sebisa mungkin dalam keseniannya. Pada anaknya, Sekar, yang seorang penari itu, ia juga selalu berpesan, agar, ia selalu nggoleki roso itu dalam hidup keseniannya. Jemek sering mengakui, dirinya bukan orang baik. Ia tidak malu untuk mengatakan, “aku iki wong sing rusak”. Sebelum ia menikah dengan Threeda, pelbagai kenakalan, bahkan “kemaksiatan” dilakukannya. Dan sesudah berkeluarga pun, kelakuannya yang jelek juga sering kumat.
Jemek merasa, sulit baginya untuk menjadi baik. Maka target hidupnya tidaklah
muluk-muluk. “Kepengena kaya ngapa, aku ora iso dadi wong apik. Targetku, cukup, nek aku ora luwih elek timbang sing saiki iki (Betapa pun aku ingin, aku tidak bisa menjadi orang baik. Targetku cukup, bahwa aku tidak menjadi lebih jelek dari yang sekarang ini,” aku Jemek dengan realistis. Bila dirasakan itu dalam kisah-kisah hidupnya, akan terasa, bahwa ungkapan itu bukanlah luapan orang yang putus asa terhadap dirinya. Tapi sesungguhnya ungkapan itu justru lahir dari kejujuran diri yang ngrumangsani siapa dirinya, hingga ia tidak bisa sombong dan munafik tentang dirinya. Maka bila pun mempunyai keinginan, Jemek hanya ingin akan hal ini: “Cukup aku wae sing elek. Elekku iki ojo tekan nang anakku (Cukup aku saja yang jelek. Jangan sampai kejelekanku ini datang menurun ke anakku). Ia mengatakan hal ini dengan nada terharu. Karena memang ia melihat, anaknya Sekar ternyata bisa menjadi “orang baik”, tidak nurun dirinya. Begitulah, pengakuan kejelekan dirinya itu ternyata adalah doa yang meminta, agar anaknya menjadi baik, tidak jelek seperti dia. Sekar sendiri selalu menerima ayahnya, apa adanya. Walau tentu, ia juga sesekali jengkel melihat kelakuannya. Semasa kecil, ia menabung uang di celengan. Jemek tiba-tiba mengambilnya. Sambil marah dan menangis, ia bilang, “Kenapa bapak mengambil uangku. Aku mau beli sate dengan uang itu.” Jemek balas marah, dan menghamburkan uang recehan itu. “Saya ingat, saya sedih waktu itu. Mungkin bapak memang amat membutuhkannya, entah untuk apa”, kenang Sekar. Sekar juga tahu, beberapa kali Jemek mengambil uang ibunya. Bahkan pernah ketahuan, Jemek mengambil uang dari simbahnya.
Tapi ketika ketahuan, Jemek bilang, uang itu untuk membayar sekolah anaknya. “Itu saya tahu. Tapi setahu saya, di luar rumah bapak tidak pernah mencuri,” kata Sekar.
Sesudah berkeluarga, Sekar pulang dari sebuah acara tari di Kazakhstan. Ia membawa oleh-oleh minuman Baileys dan sake. Sekar menyimpannya. Sementara ia hamil, kurang lebih empat bulanan. Dan mengidamkan, sesudah melahirkan, ia mau menikmati minuman itu dengan teman-temannya. Ternyata Jemek mengambilnya, dan menjualnya. Sekar marah, dan mencak-mencak, serta bilang, “Bapak ini nggak sayang sama Sekar”. Jemek menyesal. Dan Sekar menduga, mungkin ia harus segera membayar sauran uang yang jatuh tempo di bank. Kendati demikian, Sekar sadar dan mengalami sendiri, ayahnya sangat menyayangi. Apa saja dibuat Jemek demi anaknya. Sekar ingin les balet. Jemek menurutinya, tanpa
berpikir bagaimana ia harus membayar uang les. Membayar les balet memang tidak mudah bagi Jemek. Maklum saat itu, kebanyakan hanya anak kaya yang bisa les balet. Jemek juga sering mengajak Sekar ke acara-acara seni. Di sana, diam-diam Sekar mulai tahu tentang seni dan belajar untuk mencintainya.
Belakangan Threeda, ibunya, memberi tahu, waktu Sekar sekolah di SMP, Jemek juga bekerja sebagai tukang ojek, agar bisa membayar uang sekolahnya. “Bapak dan ibu tak pernah menceritakan kesulitannya. Tapi saya tahu, apa pun dibuat mereka untuk saya,” kata Sekar. Suatu hari Jemek duduk-duduk di ujung gang rumahnya. Padahal, besok ia harus pentas pantomim. Sekar menegurnya, “Kok nggak latihan to, Pak?” Jawab Jemek, “Urip wae ora nganggo latihan, kok mung pentas wae latihan.” Itulah memang pendirian Jemek. Hidup ini tidak ada pakemnya, tidak ada ilmunya. Ilmu hidup ya hidup sendiri. Tidak ada latihannya. Tinggal dilakoni, orang akan tahu sendiri, apakah hidup itu buat dirinya. Tanpa melakukannya, apa saja yang kita ketahui tentang hidup tinggal teori kosong belaka.
Seni adalah ungkapan keindahan dari hidup semacam ini. Maka seni yang indah seharusnya muncul spontan dari hidup seseorang. Jika toh seni harus dilatih, janganlah seni itu terlepas dari hakikat hidup yang sesungguhnya tinggal dilakoni itu.
Semua orang tahu, Jemek suka “beli nomor”. Artinya, ia suka berjudi. Beli nomor ini
sudah lebih daripada kegemarannya. Itu sudah menjadi kelekatannya. Sulit ia berpisah dari aktivitas ini. Pada zaman judi Nalo, Loto dan Togel dulu, Ia suka sekali menghitung secara “matematis” untuk menspekulasikan berapa nomor yang akan keluar esok pagi. Mejanya penuh dengan selebaran, yang berisi rumusan menghitung, atau ramalan nomer-nomer. Jemek berprinsip, semuanya, termasuk nasib, dan tanda-tanda alam bisa dihitung, dan diperkirakan secara matematis untuk keluar sebagai peruntungan atau nasib baik. Misalnya, ia pernah bilang pada Sekar, kalau kamu mimpi dikejar ular atau melihat iring-iringan orang mengangkat peti, sebutlah segera angka yang ada di benakmu. Angka itu pasti akan keluar sebagai peruntungan. Demikian juga kalau ada insiden tabrakan lalu lintas, lihatlah berapa plat nomornya, tanggal dan jam kejadiannya, lalu sebutlah segera angka yang kamu suka. Semuanya itu bisa dikombinasikan dalam perhitungan. Dan dengan rumusan
tertentu, akan keluarlah nomor rejeki.
Sekar bercerita, ketika ia melahirkan anaknya pertama lewat operasi sesar, Jemek
menungguinya. Begitu selesai melahirkan dan diperbolehkan menjenguk, Jemek langsung meminta anaknya itu untuk menyebut angka. “Dilalah, angka itu esok harinya sungguh keluar,” kata Sekar tertawa. Tidak banyak memang perolehannya, tapi keberuntungan itu amat menggembirakan Jemek. Dengan latar belakang demikian, tak heran jika Jemek menyebut, bahwa “menspekulasikan nomor buntut demi peruntungan adalah tuku pengarep-arep.” Sebagai realitas, tindakan Jemek ini layak disebut fatal. Tak pernah judi bisa memastikan keberuntungan. Jemek sendiri mengalami lebih sering kalah daripada menang. Kalau terus menang, ia pasti sudah enak hidupnya. Tapi istilah “tuku pengarep-arep” itu bisa juga ditilik sebagai fenomen eksistensial seorang Jemek yang adalah seniman nyentrik dan selalu mempunyai pandangan hidup yang out of the box. Cara berpikirnya kreatif, dan tidak lumrah, selalu bisa melihat hidup dari sudut yang berbeda dari khalayak umumnya. Di sinilah tuku pengarep-arep perlu dimaknai bukan lagi dari sudut hobinya akan judi nomor belaka, tapi dari sudut pengalamannya yang eksistensial sebagai manusia dan seniman. Secara eksistensial, dalam istilah tuku pengarep-arep itu tersembunyi apa yang disebut harapan. Seperti sudah disebut di atas, harapan itu bukanlah murahan, ibaratnya harapan itu perlu dituku, dibeli. Jemek menunjukkan sanggup untuk membeli harapan itu. Maka dalam dirinya tersembunyilah sebuah pendirian yang rindu pada keberhasilan, dan tak ingin menyerahkan pada kegagalan. Dengan berani tuku pengarep-arep, ia menunjukkan, didera oleh kemiskinan pun, ia tetap ingin meraih apa yang berada di luar segala kemungkinan. Ia tak tahu, apakah ia akan beruntung atau tidak, tapi ia berani menanggung segala ketidakpastian, pertentangan, agar akhirnya ia bisa memperoleh keberuntungan.
***
Dengan jatuh bangun dalam harapannya itu, Jemek terbukti bisa mempertahankan
hidup keluarganya sampai akhir hayatnya. Ini tidak mudah, karena Threeda, istrinya, menderita gangguan jiwa. Threeda adalah seorang pelukis. Semasa Sekar, putrinya, masih kecil, lukisannya pernah laris dan disukai kolektor. Sekar ingat, waktu itu Threeda dapat membeli gelang, anting-anting dan perhiasan emas lainnya dari hasil penjualan lukisannya. Tapi kata Sekar, semua perhiasan itu kemudian dijual lagi, untuk hidup keluarga dan biaya sekolahnya. Ketika SD, suatu hari Treda mendatangi sekolah Sekar. Threeda marah-marah, dan meludah. Sekar kecil bingung, dan hanya bisa bilang, Ibu jangan marah-marah, ayo pulang saja. Gangguan jiwa Threeda bisa datang dengan sekonyong-konyong. Pernah semasa di SMP, ia mendatangi sekolah, dan berteriak-teriak, “Kinanti, Kinanti, mana anakku”. Treda ngamuk, dan memarahi teman-teman sekolah Sekar. Guru-guru sekolah memaklumi, dan mempersilahkan Sekar pulang bersama ibunya. Dan Sekar diijinkan beberapa hari tinggal di rumah untuk menjaga ibunya. Sekar mengira, ibunya kambuh dan mengamuk, mungkin karena khawatir anaknya hilang.
Sebab waktu itu Sekar sempat mendengar, ibu dan bapaknya bertengkar, dan ada nada-nada hendak bercerai. Threeda khawatir, Sekar ikut dibawa Jemek. Padahal, dalam keadaan kambuh pun, ia tahu, Sekar adalah satu-satunya milik yang ia punya. Ia tak mau kehilangan Sekar. Sekar ingat benar, waktu kondisinya stabil, ibunya sering bilang, “Mbak Sekar ini obatnya ibu, jangan meninggalkan ibu.”
Sekar selalu terharu kalau ingat akan kata-kata itu. Apalagi ia mengalami, ibunya sayang sekali padanya, dan tak pernah memarahinya. Malah selalu memanjakannya, juga dalam kekurangannya. Ketika Sekar menikah, Threeda sempat sedih dan cemburu. Ia merasa, “Anakku dipek uwong”, anaknya diambil orang lain. Tentu kesedihan itu cepat berlalu. Apalagi, ketika ia bisa berbahagia dengan anak-anak Sekar. Ia amat terhibur dengan cucu-cucunya.
Threeda selalu melukis, juga ketika kondisi jiwanya tak stabil. Pernah, lukisannya laku. Threeda lalu membagi-bagi uang ke beberapa orang. Jemek juga ikut mengambilnya, untuk tambahan membeli motor baru yang lebih besar. Hidup keluarga Jemek dan Threeda pasang surut. Tapi mereka selalu bertahan. Threeda malah sering mengalah dan tetap setia, walau Jemek kadang-kadang membuat sakit hatinya. Sejak kecil Sekar sudah merasa ibunya mengalami gangguan jiwa. Tapi pertama kali ia benar-benar tahu dan mengerti tentang hal itu ketika ia diajak mengantar ibunya ke RSJ di Magelang. Di sana ibunya berteriak-teriak, “Itu anakku”. Dalam gangguan jiwa pun, Threeda tampak tak mau kehilangan anaknya. “Saat itu baru saya tahu ibu menderita depresi berat.” Sejak saat itu, Sekar selalu mengingatkan ibunya, “Ibu harus sehat, Sekar tidak ingin tidak punya ibu.” Ini tentu mendorong Threeda untuk berusaha jadi sehat. Tapi upaya itu tidaklah mudah. Ia lebih sering berada dalam keadaan kambuh daripada dalam keadaan sehat dan normal. Dan sakit itu bisa berlama-lama sekali. Sampai jarang ia terlihat dalam keadaan jiwa yang stabil. Tak heran, bila ia sering mengomel tanpa henti, di depan umum, juga di depan rekan-rekan seniman, ketika sama-sama datang ke perhelatan seni. Keadaan ini tentu memberatkan Jemek dan Sekar. Tapi mereka ternyata sanggup menanggungnya.
Ada banyak penyebab yang membuat Threeda tidak stabil jiwanya. Penyebab terberat adalah kehilangan orang-orang tercinta, ayah, ibu dan adiknya. Mereka meninggal dalam waktu yang berdekatan. Ini membuat Threeda shock. Ia sedih, dan sebagai anak sulung ia merasa harus bertanggung jawab pada sekian banyak adik-adiknya. Sampai sekarang perasaan itu masih terus menghinggapinya. Sekar berkali-kali mengingatkan, agar ibunya tak memikirkan hal itu lagi. Tidakkah sekarang adik-adiknya sudah kurang lebih mapan, mengapa harus terus dipikirkan? Buat Threeda anjuran itu tidak mudah diterima. Jiwanya yang labil selalu mengajaknya berpaling ke masa lampau, di mana dulu ia mengalami kehilangan yang sangat berat dengan segala konsekuensinya itu. Kesedihan itu selalu membayang dan membuat gangguan jiwanya mudah kumat. Waktu Jemek meninggal, Threeda sedang dalam keadaan tak stabil. Jasad Jemek disemayamkan di PUKY. Di tengah keheningan suasana kematian, terdengar Threeda terus mengomel. Sambil menghisap rokoknya, ia mengucapkan kata-kata yang tak jelas.
Suaranya keras. Kiranya dalam keadaan tak stabil pun ia tahu, Jemek telah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dan kepergian ini membuat depresinya makin parah. Apapun halnya, Threeda amat mencintai Jemek. Dan kali ini ia kehilangan lagi orang yang tercinta. Kehilangan ini memalingkan ia kembali ke masa lampau, yang telah merenggut kepergian orang-orang yang tercinta. Ingatan ini mungkin yang membuat ia marah-marah, seakan tak ikhlas suami pergi meninggalkannya.
Anehnya, setelah beberapa saat sejak pemakaman Jemek, Threeda kelihatan sehat dan normal. Gangguan jiwanya tidak kambuh lagi. Sekar percaya, ini semua karena doa permohonannya pada Jemek, bapaknya. Setelah jasad Jemek didandani dan dibaringkan di peti, Sekar memohon, “Pak, Sekar tidak minta apa-apa. Bapak juga tidak usah khawatir akan ibu, aku dan cucu-cucu. Pak, sekarang bapak sudah sehat. Hanya ini satu-satunya permintaan Sekar pada bapak, bawalah sakit ibu untuk selamanya, biar ibu sungguh-sungguh sembuh setelah kepergian bapak.”
Mungkin dengan kematiannya Jemek telah membawa sakit isterinya. Kematiannya seakan adalah satu-satunya pengorbanan yang bisa diberikan kepada Threeda. Pendeknya, setelah Jemek meninggal, Threeda tak tampak kambuh gangguan jiwanya. Sekar percaya, bapaknya mendengarkan permohonannya dan mengabulkannya. Sekarang alhamdulillah Threeda kelihatan normal. Tapi kata Sekar, sesekali ibunya ini tiba-tiba menangis. Dan sambil menangis ia bergumam, “Aku kangen bapakmu. Nek ngene iki, aku kepengen mati wae.” Sesungguhnya, dalam kondisi apapun, dan siapapun Jemek, Threeda memang amat mencintainya. Ia sering mengenang saat-saat terindah bersama Jemek dulu. Sekar memaklumi kerinduan ibunya, dan ia hanya bisa menghibur ibunya. Sampai sekarang, Threeda juga tiba-tiba pergi dengan motornya. Ke Imogiri, untuk mengunjungi Jemek di makamnya. Ia ingin melepas kerinduannya di sana.
Kiranya Threeda sekarang juga bergembira. Ia sempat memamerkan lukisan- lukisannya lagi di Bentara Budaya Yogyakarta. Hampir semua lukisannya berkenaan dengan tari dan tarian. Tampak gerak-gerak yang dinamis dan gembira dalam figur-figur yang dilukisnya. Juga dengan warna-warna yang cerah. Ini semua serasa menggambarkan siapa Threeda sesungguhnya: Dalam dirinya sesungguhnya tersembunyi kegembiraan, gairah dan keceriaan. Tapi semua kegembiraan dan keceriaan itu terpaksa harus tersimpan dalam penderitaan, kesedihan karena sakit jiwanya. Sekarang ia bisa mengungkapkan kegembiraan itu, dan tampaklah siapa dia sebenarnya. Salah satu lukisan yang dipamerkannya adalah gambar tentang Jemek, suaminya. Threeda menggambarkan Jemek yang sedang tidur nyenyak di dipannya. Kakinya ditekuk. Di kanan kirinya tampak wajah-wajah seperti topeng, seperti properti yang biasa digunakan Jemek untuk berpantomim. Di dinding, di bawah jam kuno tergambar sepasang perempuan, tua dan muda. Mungkin itu adalah gambaran Threeda sendiri dan anaknya Sekar. Jemek tertidur nyenyak, tapi tampak jari-jarinya seperti bergerak-gerak menghitung. Mungkin Jemek sedang bermimpi, dan dalam mimpinya ia sedang tuku pengarep-arep.
***
Dalam kondisi keluarga dan ayah ibu demikian Kinanti Sekar Rahina harus hidup dan berkembang. Dengan samar-samar, sejak SD, Sekar sudah tahu, bahwa ia lain dengan anak-anak biasanya, karena kondisi ayah dan ibunya. Makin hari, ketika beranjak dewasa, Sekar semakin tahu akan kondisi keluarganya. Ia terus belajar untuk menerimanya. Ia tak iri dengan keadaan teman-temannya. “Saya menerima, itulah takdir saya”. Tak berarti Sekar menyerah. Ia justru mensyukurinya. Dalam kondisi seperti itu, ternyata ayah dan ibunya sangat mencintainya. Nyaris ayah ibunya selalu menuruti dan mendukung segala keinginannya. Orang tua yang normal kiranya mudah melakukan itu. Tapi bagi Jemek dan Threeda yang berkondisi seperti itu, hal itu kiranya tidak mudah dilakukan. Toh dengan segala cara mereka telah membuktikan, bahwa mereka telah mencintai Sekar.
Buat Sekar, hal ini jauh lebih berarti, daripada seandainya ia mempunyai orang tua yang “normal”. Baginya, pengorbanan orang tuanya terasa lebih berat daripada yang mungkin dicurahkan oleh orang tua umumnya. Sekar bersyukur, bahwa ia adalah putri dari Jemek dan Threeda. Biar bagaimanapun, kedua orang tuanya adalah seniman, yang mempunyai kelebihan sendiri-sendiri. Jemek adalah maestro pantomim. Threeda pelukis yang berbakat. Maka Sekar yakin, darah seni mereka mengaliri ke tubuhnya. Berkat mereka, ia bisa menjadi seperti sekarang ini. Semula, orang tuanya, lebih-lebih ibunya kurang menyetujui, ketika Sekar memutuskan hendak masuk SMKI jurusan tari. Threeda ingin, Sekar menjadi pelukis seperti dia. Toh akhirnya, ia menyetujui juga. Ternyata jalan tari inilah yang menuntun hidup Sekar, sampai ia terbilang sukses dalam perjalanan dan prestasi seni tarinya. Sekar sudah berhasil menjadi koreografer tari. Beberapa kali ia sudah pentas di luar negeri. Ia juga sempat mendapat kesempatan tinggal tiga bulan lamanya di Amerika Serikat untuk memperdalam seninya. Dan sekarang ia juga sudah mempunyai sanggar yang ia namai Kinanti Sekar. Sekar juga bahagia, karena ia mempunyai Bagas sebagai suaminya. Bagas selalu mendukungnya, malah rela “menutup mimpinya” semata-mata demi mendukung Sekar. Sekar bilang, Bagas adalah kunci yang membuka mimpinya. Dan memang berkat Bagas yang praktis menjadi manajernya, Sekar dan usahanya bisa makin berkembang. Mereka juga bersyukur karena kedua anaknya, Kaesang dan Sangaji. Apalagi, kedua anaknya bisa membuat Jemek dan Threeda terhibur senang. Jemek memang selalu bangga akan prestasi anaknya ini. Pasti demikian juga dengan Threeda, walau ia tidak bisa mengungkapkannya. Jemek dan Threeda melihat, Sekar dan semua pencapaiannya adalah buah harapannya yang nyata. Dalam diri Sekar, mereka merasa tak sia- sialah segala penderitaan dan pengorbanan mereka.
Sekar mengalami, banyak kesedihan sudah ia alami. Maka ke depan, ia berusaha untuk menghindari hal-hal negatif yang bisa menyusahkannya. Dan ia selalu ingat akan pesan bapaknya, “Dalam segala duka lara, sing kudu digoleki iku rosone.” Maka buat Sekar, laku hidup itu ia dapatkan sebagai kesempatan untuk memetik roso. Dan dengan roso itu, ia menjalankan seninya. Ia juga ingat pesan Jemek, dalam berkesenian fisik itu tidak pernah jadi masalah. Masalahnya, apakah dalam berkesenian kamu bisa menemukan roso atau tidak. Dan menemukannya tidaklah mudah. Karena lain dengan fisik, roso tidak bertenaga. Letaknya pun tidak di luaran tapi di dalam. Kamu harus bisa merabanya. Itu hanya mungkin, jika kamu mau masuk ke dalam dirimu yang terdalam. Menjelang pameran di Bentara Budaya, Sekar menyiapkan gladi resik tarinya di Omah Petroek, Karang Klethak. Sementara akhir April lalu ada beberapa fotografer senior mengadakan pameran foto di Omah Petroek. Salah satu yang dipamerkan adalah rangkaian foto pantomim Jemek karya Arief Sukardono. Pada pembukaan pameran, Sekar diminta untuk merespons foto-foto ayahnya itu dengan sajian tarian yang sederhana saja. Sekar menyiapkan properti tinggalan Jemek. Topeng yang menggambarkan mulut terjahit. Ting kecil, dan kostum kuning. Kostum itu adalah pakaian yang terakhir kali dilaundrykan bapaknya sebelum wafat. Kata Sekar, aroma laundry itu masih menguar dari kostum tersebut. Sambil menyiapkan peralatan itu, Sekar minta ijin, sebelum ia memakainya. “Pak, bolehlah ya aku memakai properti mu untuk pentas ku?” pinta Sekar pada bapaknya. Sekar terbilang menguasai seni tari. Tapi ia selalu merasa, seni pantomim yang dihayati bapaknya jauh berada di atas kemampuannya. Maka ia tidak bisa menyembronokannya. Untuk itu ia meminta izin. Entah kenapa, menjelang tampil, Sekar merasa perutnya mual, dan kepalanya pusing. Sakit itu tak tertahankan dan tak pernah ia alami. Apakah karena ia tegang dan nervous?
Pasti tidak, pada perhelatan yang besar dan rumit, ia tidak pernah mengalami sakit seperti itu. Ia merasa, jangan-jangan ia tidak bisa merespons foto ayahnya dengan gerak tarinya. Waktunya tiba, ia tidak bisa menghindar lagi. Ia membawa bel kecil, dan mulai tarian di depan foto-foto Jemek. Ia lalu memasang topeng Jemek di wajahnya. Lalu ia membuat gerakan-gerakan. Jelas bukan gerak tari, tapi gerak pantomim. Dan semua orang yang pernah mengenal Jemek dan pantomimnya, langsung mengatakan “Itu Jemek”. Kata beberapa penonton, mereka sempat merinding, seakan melihat Jemek hidup kembali. Begitu selesai pentas, semua rasa pusing dan mual itu tiba-tiba hilang. Sekar merasa aneh dan tetap tidak mengerti, mengapa semuanya ini terjadi dan baru kali ini ia mengalami. “Pemirsa tidak tahu, di balik topeng itu tadi saya menangis deras. Saya juga tidak tahu, apa yang saya lakukan. Saya tidak tahu saya tadi menari apa. Juga saya tidak tahu apakah saya berpantomim. Saya hanya menuruti gerak saya saja. Tahu-tahu saya tunduk di depan foto bapak, dan semuanya hilang dengan sendirinya,” kata Sekar. Memang Sekar waktu itu berhasil menampilkan gerak yang khas Jemek. Dan bila diamati, gerak itu adalah ungkapan kegelisahan yang telah diolah menjadi keheningan. Hidup Jemek seluruhnya adalah kegelisahan. Tapi dengan roso-nya ia telah berhasil mengolah kegelisahan itu menjadi gerak-gerak keheningan yang mengajak orang untuk berkontemplasi tentang suatu kejadian. Roso demikian itu amat bernilai dan sukar diperoleh. Saat itu Sekar sedang mengalami, ia boleh menerima roso itu, sampai ia seperti menjadi Jemek sendiri. Ia seperti diperbolehkan untuk mengalami, bahwa tubuhnya juga menyimpan memori pantomim, yang dimiliki ayahnya. Mungkin untuk merasakan dan menerima semua itu, Sekar harus mengalami cobaan pendahuluan yang berat sebagai syarat: fisiknya jadi mual dan pusing. Di sinilah, ia merasa, seni ayahnya bukanlah seni sembarangan saja. Untuk pemeran bertajuk Tuku Pengare-arep ini Sekar bersama kelompok sanggarnya mempersembahkan tarian Kupu-kupu kuning. Tarian ini menyajikan simbolik kupu-kupu kuning yang terbang ke arah utara, ke Gunung Merapi. Suasananya sedang kering, meski musimnya sedang hujan. Begitu sampai di utara, kupu-kupu kuning itu mati. Dan begitu semua kupu-kupu kuning itu mati, hujan turun ke bumi lagi. Dan bumi jadi subur dan segar kembali. Tarian itu melambangkan sebuah pengorbanan. Kerelaan untuk mati, demi sesuatu yang harus hidup. Ini cocok untuk hidup Sekar. Mungkin dengan tarian itu ia hendak mengenang pengorbanan kedua orang tuanya, Jemek dan Threeda, yang telah membuat dirinya hidup dan membentuk perjalanan hidupnya sampai kini. Suatu tarian yang mengenangkan, bahwa tuku pengarep-arep itu mengandaikan suatu pengorbanan, dan pengorbanan itu tak pernah sia-sia. Itulah kisah tiga serangkai harapan Jemek, Threeda dan Sekar.
Sindhunata (Kurator Bentara Budaya)