Catatan Kurator
Menyapa Nurani, Mencatat Kehidupan
Bentara Budaya mempunyai kedekatan dengan seni grafis. Setidaknya, ada sejumlah peristiwa digelar Bentara Budaya berkait dengan seni grafis. Seperempat lalu, tepatnya pada Oktober 2000, Bentara Budaya menggelar pameran Setengah Abad Seni Grafis Indonesia. Kemudian pada tahun 2002 dihelat pameran Seni Grafis: Penjelajahan Media dan Gagasan. Dan pada 2003, untuk pertama kali Bentara Budaya menyelenggarakan komopetisi tiga tahunan Triennial Seni Grafis Indonesia. Lantas pada tahun 2008 Bentara Budaya mengadakan pameran Grafis Hari Ini.
Pameran Setengah Abad Seni Grafis Indonesia menerbitkan harapan akan semakin hidupnya seni grafis di Tanah Air. Pameran yang dibuka oleh mantan Menteri pendidikan dan kebudayaan Daud Joesoef itu diikuti oleh sebanyak 70 pegrafis dengan 209 karya. Pada perhelatan yang sama diluncurkan pula buku berjudul Setengah Abad Seni Grafis Indonesia.
Kedua peristiwa tersebut memicu gagasan untuk membuat wadah kompetisi seni grafis secara berkala. Kompetisi dirancang untuk memacu dan menstimulasi kreativitas para seniman. Daharapkan pameran juga akan memberi semangat dan mendorong kontinunitas berkarya. Maka pada 2003 lahirlah kemudian Triennial Seni Grafis Indonesia. Kompetisi tiga tahunan ini berlangsung hingga 6 kali. Setelah titik awal tahun 2003, kemudian digelar perhelatan yang sama pada 2006, 2009, 2012, 2015, dan 2018. Pada Triennial yang ke lima, tahun 2015, kompetisi mulai dibuka untuk peserta internasional.
Karya para pemenang Triennial Seni Grafis Indonesia tersebut menjadi bagian dari materi yang dipamerkan dalam pameran bertajuk Menyapa Nurani, Mencaat Kehidupan, ini. Selain itu, pameran koleksi koleksi ini menyertakan karya grafis lain di luar karya hasil Triennial . Total pameran menampilkan 40 karya dari 27 seniman.
Mereka adalah Agus Prasetyo, Agus Suwage, Agus Yulianto, Agung Prabowo, Andre Tanama, Anggara Tua Sitompul, Arief Eko Saputro, Ariswan Adhitama, Bambang Kusdirgonugroho, Chalita Tantiwitkosol, Dodi Irwandi, Hui Zhang, Jayanta Naksar, Junko Hayakawa, M Fadhil Abdi, Muhlis Lugis, Irwanto Lentho, Nuttakarn Vajasut, Puritip Suriyapatapuran, Setiawan Sabana, Sri Maryanto, Syahrizal Pahlevi, Suromo, Theresia Agustina Sitompul, Tisna Sanjaya, Winarso Taufik, Zaini.
Idealisme
Kita tengok Triennial dan para pemenang kompetisi yang karyanya ditampilkan dalam pameran ini. Kita tengok juga sepintas upaya Bentara Budaya untuk semakin menghidupkan seni garfis si Indonesia. Pada awal 2000an itu, Bentara Budaya “bermimpi” untuk membuat kompetisi dengan standar ideal. Maksudnya, Bentara Budaya berharap karya pemenang dapat menjadi tolok ukur pencapaian kualitas, mutu seni grafis di Indonesia. Diharapkan pula, dengan kompetisi 3 tahunan tersebut seni grafis Indonesia tumbuh sehat dan maju. Triennial juga diharapkan akan ikut memperkaya corak ragam seni rupa kontemporer kita.
Triennial Seni Grafis Indonesia pun digelar pada 2003. Dan ternyata disambut antusias oleh pelaku grafis. Sebanyak 146 peserta mengirim 286 karya. Bentara Budaya kemudian melibatkan para tokoh senior grafis , dan pengamat seni grafis dilibiatkan sebagai juri. Mereka adalah T Sutanto, G Sidharta Soegio, S Prinka, Bambang Budjono, dan pihak Bentara Budaya yaitu Efix Mulyadi, dan Ipong Purnama Sidhi. Bertindak sebagai ketua dewan juri adalah Enin Supriyanto.
Kemudian pada Triennial selanjutnya, terlibat sejumlah tokoh grafis sebagai juri. Mereka adalah Bambang Budjono, FX Harsono, Ong Hariwahyu, Setawan Sabana, Ipong Purnama Sidhi, Tisna Sanjaya, Aminudin Th Siregar, Hendro Wiyanto, Ade Darmawan, Edi Sunaryo, Davy Ferdianto, Martinus Dwi Maryanto, Theresia Agustina Sitompul, dan lainnya.
Triennial 2003 memunculkan pemenang pertama Agus Prasetyo dari Yogyakarta dengan karya berjudul Manusia Rongsokan. Pemenang ke dua: Agus Yulianto dari Yogyakarta, dengan karya Renungan dalam Kontradiksi. Pemenang ke tiga: Sri Maryanto dari Klaten dengan karya Mati Tersenyum. Satu lagi adalah Penghargaan Khusus Juri yang diberikan kepada Arief Eko Saputo dari Yogyakarta dengan karya Hanya Sebuah Episode. Menarik dicatat, mereka semua menempuh pendidikan di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Dari kompetisi seni grafis tersebut, Bentara Budaya optimistis bahwa seni grafis Indonesia masih menyimpan potensi untuk berkembang. Dari sisi peserta, muncul nama-nama baru yang sebelumnya belum muncul ke permukaan seni rupa negeri ini. Mereka juga menggunakan pendekatan baru dalam mengolah teknik dan gaya perupaan.
Pada Triennial Seni Grafis Indonesia yang kedua tahun 2006, Bambang Budjono sebagai anggota dewa juri mencatat beberapa peserta yang menunjukan pencapaian teknik yang tidak ditemukan dalam beberapa pameran grafis di Jakarta pada masa itu. Kemudian dari sisi teknis, rata-rata peserta mencapai mutu yang tinggi. Bambang Budjono juga mencatat bahwa Triennial yang kedua tersebut mencerminkan dunia seni grafis Indonesia sedang menggeliat untuk lebih tampil.
Triennial 2006 ini para juri memilih karya Andre Tanama Hegemoni Teknologi sebagai pemenang pertama. Ada cerita menarik di balik kemenangan Andre ini. Penghargaan yang ia terima, mengantarnya untuk melamar sang kekasih yang kini menjadi ibu dari anak-anaknya. Sosok-sosok dalam karya Andre disebut sebagai wayang monyong. Mahkluk-mahkluk yang hidup dalam kekuasaan teknologi.
Pemenang ke dua adalah Agus Prasetyo dari Yogyakarta denga karya Tumbuh dan Terkontaminasi. Agus menggunakan warna tunggal menggambarkan tanaman menjalar yang berubah menjadi pipa-pipa beracun. Adapun pemenang ke tiga adalah Agus Suwage dari Yogyakarta dengan karya Super Omnivore. Agus Suwage menggandakan karya untuk keperluan menyajikan instalasi tentang sosok yang disebut pada judul yaitu Super Omnivore.
Aminudin Th Siregar dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB mencatat Triennial berhasil menjadi peristiwa yang dinanti para pegrafis, dan menjadi momentum yang bersifat historis. Pada Triennial Seni Grafis Indonesia 2009 Dewan Juri yang diketuai Aminudin memilih karya Winarso berjudul Imaji Tentang Kerusakan Alam sebagai pemenang pertama. Pemenang ke dua adalah Irwanto Lentho dari Yogyakarta dengan karya Engraver Family with Their Dog Tracker. Dan pemenang ke tiga adalah Anggara Tua Sitompul dengan karya Cakra Kala.
Pada Triennial tahun 2012 terpilih sebagai pemenang pertama adalah Agung Prabowo dengan karya berjudul Nirbaya Jagratara. Di bawah judul ada keterangan: “Tak gentar selalu waspada”. Dalam bahasa Jawa kuno Nirbaya adalah situasi tanpa bahaya yang mengancam. sedangkan Jagratara berarti selalu waspada. Karya ini menggunakan 16 warna cukilan lino di atas kertas buatan tangan.
Pemenang ke dua adalah M Fadhil Abdi dengan karya Art, Girl, and Munder. Dan pemenang ke tiga adalah Theresia Agustina Sitompul dengan karya Book, Prints, and Memory. Ada yang menarik dari seniman bersapaan Tere ini, karena 6 tahun kemudian Tere menjadi anggota juri Triennial Seni Grafis Indonesia 2018.
Skala Internasional
Pada Triennial yang ke 5 tahun 2015 mulai dibuka untuk peserta dari luar negeri. Peserta total ada 198 seniman dengan 355 karya. Termasuk peserta dari luar negeri yang berasal dari Amerika Serikat, Australia, Argentina, Belgia, Bulgaris, Canada, India, Italia, Jerman, Puerto Rico, Thailand, dan Turki. Terpilih sebagai pemenang pertama adalah peserta dari India yaitu Jayanta Naskar dengan karya Reinvention of Myself . Pemenang kedua adalah Puritip Suriyapatarapun dari Thailand dengan karya Our Whole Life Searching. Dan pemenang ke tiga dari Indonesia Muhlis Lugis dengan karya Addiction.
Jayanta Naskar menggunakan intaglio, tekniik cetak dalam yang melibatkan proses mengukir, atau menggores pada logam. Dalam catatan juri disebutkan karya Jayanta bersuasana samar-samar kelam, tampak dua sosok. Rambut kedua sosok itu seperti tersambung dan tampak pinggan emas di Tengah-tengah yang menyambungkan rambut. Sosok di sisi kira seperti dibalut guntingan berita koran. Jayanta membangun ruang kontemplatif di tengah kemajuan dan persoalan global.
Pada Triennial 2018 Bentara Budaya menerima sebanyak 317, termasuk karya yang datang dari 26 negara. Di antaranya peserta dari Brasilia, Jepang, Swedia, Mesir, Spanyol dan sejumlah negara lain. Dewan juri memilih pemenang pertama Hui Zhang asal Wuhan, China, dengan karya Gaze Toward the Light 2. Kemudian pemenang ke dua peserta dari Thailand Nuttakarn Vajasut lewat karya Depressed. Dan pemenang ke tiga, Chalita Tantiwitkosol dengan karya Supernumerary (Ploy).
Pada karya litografi Hui Zhang tampak perempuan muda berambut panjang tersisir rapih. Catatan juri menyebutkan karya ini merepresentasikan permenungan Hui Zhang pada kehidupan kontemporer ketika segala sesuatu dilakukan serba cepat. Situasi tersebut melahirkan kecemasan, kebingungan, dan kesepian.
Para Aktivis
Pameran koleksi grafis Bentara Budaya ini juga menampilkan karya seniman pegiat grafis. Di antaranya adalah Tisna Sanjaya, seniman super aktif. Selain tetap menekuni grafis, Tisna juga bermain di lukis, seni instalasi, dan seni performans. Tisna pada masa itu juga pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Tisna sangat sensitif pada situasi di sekitarnya dan dia merespons lewat karya termasuk grafis. Isu sosial politik, sampai lingkungan hidup tak perna luput dari perhatian Tisna.
Belakangan, belum lama ini, ia membuat karya instalasi berjudul Wilujeng Sumping Neo Orde Baru. Karya ini merespons situasi sosial politik. Pada pameran ini ditampilkan karya Tisna Sanjaya Pesta Pencuri (1987). Karya dengan teknik etsa drypoint ini juga merupakan cara Tisna mengungkapkan keprihatinan terhadap situasi di sekitarnya. Seni grafis menjadi medium untuk mengekspresikan pendapat, kegelisahan Tisna.
Aktivis lain adalah Syahrizal Pahlevi di Yogyakarta. Dia dan kawan-kawan menggelar kompetisi grafis dua tahunan Jogja International Miniprint Biennale. Syahrizal juga teleh menerbitkan buku catatan seni grafis bertajuk Dikutuk Disumpahi Eros: Kumpulan Catatan Seni Grafis 2009-2023. Buku berisi tulisan Syahrizal Pahlevi tentang seni grafis di berbagai media massa. Pada pameran koleksi grafis Bentara Budaya aini ditampilkan kara Syahrizal Rines (Istri Hermanto dan anaknya), karya wood cut yang ia buat rahun 2005.
Pada pameran ini ditampilkan juga karya Suromo Darpo Sawego (1919-2003). Seniman kelahiran Solo ini dianggap sebagai salah satu tokoh penting grafis Indonesia. Itu terlihat dari karya Soedjojono Kawan-Kawan Revolusi, 1947 yang memasukkan wajah Suromo dalam lukisan berisi wajah tokoh-tokoh. Suromo menekuni cungkil katu sejak awal 1950an. Pada masa itu seni grafis belum banyak diminati seniman, akan tetapi Suromo sudah aktif. Bisa dikatakan ia menghidupkan seni cungkil kayu di khasanah seni rupa negeri ini pada masa itu.
Suromo belajar teknik dan ketrampilan menucungkil kayu dari seorang tukang klise. Hasilnya, Suromo dipercaya oleh Soedjojono yang memesannya membuat karya untuk majalah Seniman Muda Muda (SIM) yang didirikan Soedjojono. Suromo total menekuni seni cungkil kayu, sampai-sampai ia membuat sendiri peranti yang diperlukan untuk berkarya.
Karya cungkil kayu Suromo dikatakan mendekati teknik wood engraving. Suromo memilih gaya realisme yang memerlukan keterampilan, ketelitian yang tinggi. Karya dan kreativitas Suromo diikuti oleh sejumlah seniman seperti Mochtar Apin, Burhanudin MS, Zaini, dan Osman Effendi.
Selain sebagai pelaku senirupa, Suromo juga aktif berorganisasi. Ia bergabung dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi), 1937. Pada masa pendudukan Jepang ia bergabung dalam pusat kebudayaan bentukan Jepang, Keimin Bunka Sidosho. Setelah proklamasi, bersama Affandi, Suromo menggelar pameran seni perjuangan di Jakarta, 1946. Pada masa agresi militer Belanda, Suromo hijrah ke Solo Bersama Soedjojono dan bergabung dengan Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Di HBS Suromo menjadi pimpinan Seksi Seni rupa. Suromo juga mengajar di ASRI, Yogyakartam pada 1952.
Pada pameran ini Bentara Budaya menampilkan karya grafis Suromo pada tahun 1998 atau 5 tahun sebelum meninggal. Karya tersebut adalah Pantai Nelayan, Dua Wanita, Ambil Makan di Irian, Rakyat Irian Jaya, Tarian Remaja, Patung Primitif, Pasar.
Menyapa Manusia
Menarik menikmati karya para seniman grafis dalam pameran ini. Di balik kerumitan teknik, njelimetnya pengerjaan , ada pergulatan pemikiran tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Mereka mencatat beragam problematika manusia, dan dramatika kehidupan yang begitu kompleks. Dengan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran yang tinggi, seniman grafis berkarya; Dengan beragam teknik yang digunakan entah itu etsa, litografi, linocut, atau apapun , seniman grafis ingin berbagi pesan.
Bisa jadi pula, karya seni grafis merupakan ungkapan pribadi, ekspresi emosional, kritik sosial, realitas kehidupan, potret sosial, dan eksplorasi narasi. Setiap teknik memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi penerimaan pesan oleh publik. Dengan semua itu, seni grafis menjadi sarana komunikasi visual yang kuat untuk menyampaikan ide, emosi, dan perspektif seniman terhadap dunia.
Frans Sartono
Efix Mulyadi
(Kurator Bentara Budaya)