Jakarta, Ibukota yang Dicintai dan Dikritisi
"Saya mencintai Jakarta. Ini kota tempat saya lahir, tumbuh, dan besar. Tapi, sebagian warga di sini sekarang terpaksa minggir karena harga tanah terlalu mahal," kata Untung Budiono.
"Banyak masalah di Jakarta, saya sering kritik. Tapi, saya tidak marah-marah. Saya juga sering menemukan keunikan di jalanan," kata Arief Budiman.
Ngobrol pada suatu sore yang cerah di Bentara Budaya Jakarta, Selasa (11/2/2025) lalu, Untung dan Arief mengisahkan kehidupan Jakarta. Kedua seniman itu lahir, besar, dan sampai sekarang menetap di kota ini.
Untung (51 tahun) lahir di Cipete, Jakarta Selatan, dan hingga kini tinggal di kawasan itu. Arief (54 tahun) lahir di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Usai menikah, dia bergeser ke Cijantung, Jakarta Timur, dekat keluarga istrinya.
Keduanya bersahabat karib, terutama ketika sama-sama kuliah di Jurusan Seni Lukis di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di kawasan Cikini, Jakarta. Arif lebih senior, masuk kuliah tahun 1991. Untung menyusul tahun 1994. Pada satu masa, mereka sempat berproses kreatif bersama di kampus itu.
Kebetulan, Untung dan Arief juga gemar membuat mural, selain melukis. Saat mengerjakan mural, keduanya bekerja secara terpisah alias sendiri-sendiri. Pagi-sore, mereka biasa bikin mural alis lukisan dinding di lokasi. Malamnya, mereka melukis di atas kanvas di rumah masing-masing.
Dulu, pesanan mural sering untuk rumah tinggal. Belakangan, banyak permintaan untuk kafe atau restoran. Obyek dan gaya visualnya tentu diselaraskan dengan selera klien. Honor dari pekerjaan ini bervariasi sesuai luasan area gambar dan kesepakatan harga dengan pemesan. Itu cukup bisa diandalkan untuk menafkahi anak-istri.
Namun, pada akhir tahun 2019, pandemi Covid-19 menghantam dunia, termasuk Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Pesanan bikin mural pun berkurang drastis. Keduanya lebih sering melukis di rumah.
Lalu datanglah tawaran membuat mural secara "live action" sebagai "background" untuk podcast yang ditayangkan channel "Ngobryls" di Youtube. Kanal ini diasuh oleh Jimi Multazam, seorang musisi Band The Upstairs, dan Ricky Malau, seorang aktor. Untung dan Arief menerima ajakan itu dengan gembira.
Selama syuting, dua pelukis itu menggambar tamu yang jadi narasumber podcast. Kolaborasi dua seniman itu kemudian dilabeli "The Barkomuns", kependekan dari "Barisan Komunitas Melamun." Ada 10-an edisi podcast dengan "live" mural semacam itu. Setelah pandemi berakhir, kerja sama itu masih berlanjut dengan proyek-proyek seni.
Kini, Untung dan Arief berpameran bersama di Bentara Budaya Jakarta, 15-23 Februari 2025. Mengangkat tema "Cinta yang Tampak," keduanya menyajikan 27 lukisan dan satu patung. Kurasi ditangani oleh Rotua Magdalena dengan didampingi kurator Bentara, Wawan Abk.
Karya-karya Untung dan Arief dalam pameran ini menggambarkan rasa cinta yang menggemaskan pada Jakarta. Cinta, tentu karena keduanya lahir, besar, dan hingga kini tinggal di ibukota. Gemas, lantaran mereka menyaksikan dan merasakan geliat kota yang tak sepenuhnya terkendali, bahkan semakin ruwet dan meminggirkan warga setempat.
Untung bercerita, sekarang harga tanah di dekat rumahnya mencapai Rp 30 juta hingga Rp 45 juta per meter. Padahal, kawasan itu tidak berada di pinggir jalan Fatmawati, melainkan masuk lagi melalui jalan kecil ke area lebih dalam. "Warga mampu jual tanah, tapi tidak mampu beli," katanya.
Warga tinggal berjubel di perkampungan sumpek. Saking padatnya, bahkan lahan bekas sampah juga dijadikan tempat tinggal. Sebagian warga kemudian terpaksa bergeser untuk mencari rumah di pinggiran yang lebih murah, seperti di Depok dan Bogor, Jawa Barat, atau Tangerang Selatan, Banten.
Cerita itu diungkapkan dalam lukisan berjudul "Rusun Tanah Tinggi." Digambarkan banyak rumah yang tumbuh di atas beton yang bercabang-cabang dan bertingkat-tingkat. "Itu gambaran rumah di Jakarta yang bertumpuk-tumpuk," kata Untung.
Arief juga mencermati bermacam problem di Jakarta, misalnya soal persaingan ketat dalam semua lini kehidupan. "Semua orang itu berkompetisi, saling sikut, rebutan. Suasanya sehari-hari kita seperti perang," katanya.
Kondisi itu dituangkan dalam lukisan berjudul "Pasukan Kompor". Di atas kanvas, tampak sejumlah orang berkepala tabung gas melon 3 kilogram yang menyala. Mata mereka mendelik, mulut menganga, lidah menjulur. Mereka dikerumini bermacam onderdil dari besi, baja, atau skrup dan gerigi. Langit pecah oleh beberapa bola api yang melaju menuju Bumi.
Meski dibuat tahun 2024, lukisan ini sontak mengingatkan kita pada drama gas melon elpiji 3 Kg yang menggemparkan negeri baru-baru ini. Pada awal tahun 2025, pemerintah melarang penjualan di toko pengecer. Warga hanya boleh membeli gas di agen resmi pemerintah dengan menunjukkan KTP (Kartu Tanda Penduduk). Padahal, jumlah agen resmi terbatas. Warga akhirnya antre berburu gas subsidi negara itu. Untunglah, kebijakan yang menyulitkan rakyat itu telah direvisi.
Banyak hal yang diulik Untung dan Arief. Lewat lukisan, mereka seakan merayakan drama kehidupan Jakarta, mulai dari ojek online, bulliying, sampah, reklamasi, deadline pekerjaan, hingga kemacetan lalu lintas. Ada juga soal teknologi, kesenian tradisi, legenda, atau industrialisasi.
Dua seniman ini berangkat dari kenyataan sehari-hari di Jakarta, tetapi tidak lantas mengumbar fakta secara telanjang. Realitas diolah sedemikian rupa sehingga menjadi drama visual yang lebih imajinatif, liar, provokatif, kadang diimbuhi obyek-obyek aneh yang bikin penasaran. Pilihan gaya surrealis memudahkan mereka mengemas bermacam potongan adegan menjadi rangkaian cerita yang kompleks.
Meski banyak mengungkapkan masalah di Jakarta, lukisan keduanya tidak sepenuhnya suram, bahkan sebagian malah tampak lumayan menyenangkan. Soalnya, mereka banyak menggunakan warna-warni cemerlang dan segar. Obyek-obyek ditata ulang sehingga membentuk adegan yang tak terbayangkan. Serasa mimpi di siang bolong.
Selamat untuk Arief Budiman dan Untung Budiono (The Barkomuns) yang berpameran berdua. Semoga terus semangat berkarya. Terima kasih kepada Rotua Magdalena dan Wawan Abk yang menangani kurasi. Apresiasi untuk semua pihak yang membantu penyelenggaraan program ini, serta tim Bentara Budaya yang menyiapkan pameran sehingga berjalan baik.
Palmerah, 12 Februari 2025
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia