Tarik Tambang, Tarik Menarik Kekuasaan
Jika politik itu kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan meluruskannya. Pernyataan populer dari John F Kennedy (1917-1963), mendiang presiden Amerika Serikat ke-35, itu rasanya masih cukup relevan untuk menelisik fenomena sosial-politik di Indonesia masa kini.
Sebelum berbicara realitas zaman sekarang, kita tengok sebentar praktik politik pada zaman kemerdekaan. Para aktor politik masa itu adalah para elite intelektual atau kaum cerdik pandai yang tak berhenti bergumul dengan gagasan-gagasan besar. Ada cita-cita besar untuk mewujudkan kedaulatan negeri, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mengawal perdamaian dunia. Praktik politik sehari-hari bisa dinamis, tetapi merujuk pada etika dan fatsun yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Para politisi adalah para intelektual berwawasan, mengenyam pendidikan tinggi, dan aktivis yang lincah bergaul luas. Meski tak luput dari urusan pribadi atau partai, tetapi mereka berjiwa negarawan yang mengutamakan kepentingan besar bangsa. Bisa saja berdebat keras saat di parlemen, tetapi akhirnya mereka tetap bersahabat secara hangat dalam kehidupan sehari-hari.
Soekarno, proklamator dan presiden pertama Republik Indonesia, misalnya, dikenal sebagai pemikir kuat, gemar membaca buku, rajin menulis, dan lihai berorasi. Dia melahap banyak pengetahuan dari beragam ideologi dunia saat saat mondok dan belajar pada gurunya, HOS Tjokroaminoto, di Peneleh, Kota Surabaya, Jawa Timur. Dia juga seorang "polyglot" yang menguasai banyak bahasa. Lebih dari itu, dia juga seorang arsitek dan pelukis lulusan Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) Bandung.
Mohammad Hatta, proklamator dan wakil presiden pertama RI, digembang di Handels Hogeschool/Economische Hogeschool (sekarang Universitas Erasmus Rotterdam) Belanda. Dia juga pembaca buku yang tekun, penulis andal, dan suntuk memikirkan kebaikan negeri ini. Dia pendorong ekonomi nasional melalui koperasi. Usai pensiun dari kursi wapres, dia memilih kehidupan yang sederhana, mengajar, dan sibuk menulis buku.
Kita bisa menyebut sejumlah nama lain yang juga dapat dianggap sebagai teladan dari zaman kemerdekaan. KH Agus Salim, Sutan Syahrir, Tan Malaka, Mohammad Natsir, dan Mr Moh Roem. Mereka semua pemikir, berwawasan global, bergaul luas, negarawan yang mempejuangkan aspirasi kebangsaan, serta berbudi pekerti baik. Banyak cerita beredar, betapa manusiawinya mereka di tengah gesekan politik. Satu hal lagi, mereka hidup sederhana.
Teladan dari zaman kemerdekaan itu berbanding terbalik dengan realitas politik pada zaman sekarang. Sebagian elite politik saat ini sulit memenuhi kategori itelektual, tidak tekun membaca, apalagi menulis buku. Mereka lebih suntuk untuk mengurusi kepentingan pribadi, keluarga, atau partai. Demi memuluskan jalan politik anggota keluarga, sebagian mereka tak sungkan untuk mengutak-atik aturan main.
Kampanye dalam merebut jabatan publik menyerupai ajang transaksi jual-beli. Bukan rahasia lagi bahwa uang dianggap bisa membeli suara untuk memenangi pemilihan umum dan legislatif, baik di pusat maupun di daerah. Di media sosial, berbagai jenis "hoax" atau kabar borong diumbar demi memoles diri sendiri sembari melemparkan isu negatif terhadap lawan. "Misscomunication" (komunikasi terputus) dan "discommuniation" (penyimpangan komunikasi) sengaja dimainkan untuk membangun "branding" di mata publik.
Politik praktis jatuh menjadi semacam keterampilan pertukangan teknis yang penuh pokrol bambu oleh orang-orang yang memburu keuntungan pragmatis jangka pendek. Ketika terpilih sebagai pejabat, sebagian politisi itu memanfaatkan otoritasnya untuk mengeruk rente bagi diri sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih kerap melancarkan operasi tangkap tangan (OTT) untuk meringkus sejumlah pejabat yang terlibat gratifikasi, suap, atau korupsi. Sulit membayangkan mereka serius memperjuangkan aspirasi rakyat atau kepentingan bangsa.
Apa yang dipertontonkan sebagian politisi masa kini gamblang mencerminkan politik segala cara. Satu pendekatan yang pernah dirumuskan oleh filsuf politik asal Italia, Niccolò Machiavelli (1469-1527). Demi merebut kekuasaan, politisi bisa melakoni apa saja, termasuk menerabas fatsun, etika, atau norma yang lazim berlaku di masyarakat. Perilaku culas, manipulatif, dan "esok dele sore tempe" (omongan berubah-ubah, tidak bisa dipegang), dan "lain kata lain perbuatan", menjadi menu makanan sehari-hari.
Kenapa manusia bisa berperilaku sedemikian brutal dalam memperebutkan kekuasaan? Benar kiranya asumsi filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900), yang menengarai bahwa manusia akan selalu kembali pada "will to power" atau hasrat untuk berkuasa. Kekuasaan diburu dengan segala cara. Saat di berhasil duduk tampuk kuasaan, orang akan semakin rakus, tamak, dan bernafsu melanggengkan kekuasaannya.
Tentu, masih ada elite politik di Indonesia yang menyempal dari jalan politisi busuk. Namun, jumlah mereka tidak terlalu banyak. Sebagian dari mereka juga sulit bergerak memperbaiki keadaan. Perubahan masih terhadang oleh oligarkhi elite yang menyuburkan permainan politik transaksional.
Fenomena semacam itu melatarbelakangi pameran seni rupa dengan tajuk "Tarik Tambang" di Bentara Budaya Yogyakarta, 26 September-4 Oktober 2024. Istilah tarik tambang dipilih untuk menggambarkan tarik-menarik kepentingan dalam kehidupan sosial-politik zaman sekarang. Dalam tarik tambang, kemenangan ditentukan oleh kelompok yang kuat menggenggam tambang, menariknya, sampai membuat lawan terseret atau kehilangan kendali, bahkan ambruk. Siapa kuat, itulah yang bertahan.
Puluhan seniman tampil dalam pameran ini. Lewat bahasa visual, mereka coba menarasikan ulang fenomena tarik tambang kekuasaan di negeri ini. Ada pencermatan tajam, kritik, analisis, atau sekadar ajakan untuk menertawakaan keadaan. Semua itu menjadi teks terbuka untuk dilihat, dibaca, dan dinikmati.
Pameran ini dihelat dalam momen ulang tahun ke-42 Bentara Budaya. Lembaga kebudayaan Kompas Gramedia ini berdiri di Yogyakarta, 26 September 1982, disusul Jakarta tahun 1986, dan Bali tahun 2009. Tahun 2009 hingga 2019, Bentara juga sempat mengelola Balai Soejatmoko di Kota Solo, Jawa Tengah. Hingga kini, Bentara terus berkomitmen untuk memajukan kebudayaan Indonesia dengan memanggungkan kreasi para seniman di Nusantara.
Apresiasi untuk para seniman yang telah menampilkan karyanya di sini. Penghargaan untuk kurator Bentara Budaya yang tinggal di Yogyakarta, Romo Sindhunata dan Hermanu, yang menggagas dan menangani kurasi pamneran. Terima kasih untuk tim Bentara Budaya di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali, yang mempersiapkan berbagai kegiatan dalam momen ulang tahun lembaga ini.
Palmerah, 25 September 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia