Paradoks Komunikasi Kita
Paradoks. Istilah itu tepat menggambarkan dinamika komunikasi manusia belakangan ini. Ketika teknologi informasi menyediakan sarana komunikasi yang kian canggih, manusia justru kerap mengalami masalah dalam komunikasi.
Soal kecanggihan peralatan komunikasi, Revolusi Industri 4.0 telah menawarkan berbagai kemudahan yang menakjubkan bagi kehidupan manusia. Nyaris tidak ada satu pun aspek kebutuhan komunikasi yang tidak terpenuhi oleh inovasi teknologi. Prinsip otomasi, analisis big data, teknologi robot, "artificial intelligence" (AI), hingga "internet of things" (IoT) membuat arah komunikasi semakin interaktif, terintegrasi, bergerak secara otomatis, dan terus berputar tiada henti.
Dengan "smartphone" di tangan, kita dapat memenuhi semua keperluan komunikasi sehari-hari, mulai dari kepentingan pekerjaan, keluarga, sosial, pendidikan, kesehatan, bahkan hobi yang sangat pribadi. Cukup dengan beberapa klik saja, semua terpenuhi. Tak perlu lagi tatap muka karena semua ditautkan via jaringan internet “(online).”
Untuk urusan rapat di kantor jarak jauh, misalnya, kita bisa manfaatkan aplikasi video “meeting”. Video itu bersifat seketika dan melampaui jarak antaranegara atau benua sehingga kita bisa melakukan pertemuan secara “live” dalam satu waktu dengan peserta dari banyak negara berbeda. Setiap perusahaan memiliki banyak grup percakapan dengan anggota para karyawan dan pimpinan. Mereka rutin untuk melakukan rapat atau ngobrol terkait teknis pekerjaan.
Untuk bercengkerama bersama keluarga, kita bisa gunakan pesan, panggilan suara, atau panggilan video. Media sosial menyiakan berbagai fitur untuk simpan data, foto, video dan berbagai dengan jaringan pertemanan secara global. Terkait hobi, platform “market place” mempermudah kita untuk belanja pernak-pernik minat yang sangat khusus.
Saat bersamaan, setiap waktu kita juga dapat mengakses berita dalam banyak bentuk sesuai selera. Ada berita teks dari koran atau e-paper dalam bentuk PDF atau teks web; berita dalam bentuk audio seperti radio; atau berita dalam wujud audio visual seperti televisi yang siaran “live streaming” 24 jam. Sumber berita tak hanya dari media jurnalistik konvensional, tetapi juga dari akun-akun media sosial yang dibuat oleh individu warga internet “(internet citizens)”.
Demikian canggih alat komunikasi terkini sehingga kita senantiasa dibanjiri beragam informasi dari berbagai arah. Semua berjalan selama 24 jam penuh. Komunikasi tak hanya bersifat dua arah, tetapi banyak arah, interaktif, dan berlangsung serentak dalam satu momen yang melibatkan banyak orang. Dulu, siaran langsung dimonopoli media penyiaran konvensional yang menguasai frkuensi tertentu. Sekarang, semua orang bisa membuat siaran langsung yang terkoneksi jaringan internet global.
Kemajuan teknologi informasi jelas memberikan banyak keuntungan bagi kita semua. Manusia dipermudah untuk berkomunikasi dan bertukar informasi secara cepat. Berbagai urusan jadi lebih gampang dan efisien, mulai dari pekerjaan, pertemanan, belanja kebutuhan sehari-hari, menyalurkan hobi, sampai mencari hiburan. Bisnis menggeliat lebih kencang dengan dibantu jalur-jalur “online” dan digital. Fasilitas dan layanan kesehatan semakin lancar diberikan kepada warga untuk menjaga kebugarannya.
Tak hanya urusan pribadi, teknologi informasi juga menyokong kemajuan negara. Dengan support teknologi, demokrasi di banyak negara berjalan lebih lancar. Warga semakin gampang untuk mengakses, menggunakan hak suara, dan mengawal pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, hingga pemilihan lurah.
Namun, kemajuan teknologi informasi juga berpotensi mendatangkan berbagai masalah. Dalam ranah sosial, sebagian masyarakat menikmati media sosial untuk memenuhi hasrat pameran (narsistik) dalam bermacam bentuk. Semua hal dalam dirinya diudar ke publik, "flexing", bahkan termasuk mengumbar data pribadi. Namun, sebaran data pribadi itu justru memicu kejahatan siber. Oleh para kriminal, data itu diolah untuk operasi kejahatan, seperti "hacking" (pembajakan), “doxing” (pembongkaran data pribadi), "phising" (penipuan), peretasan, "stalking" (penguntitan), atau "bullying" (perundungan).
Semakin tenggelam dalam kemudahan jaringan "online", sebagian masyarakat menjadi tergantung, bahkan ketagihan untuk terus berselancar di kanal-kanal dunia maya yang menggoda. Berasyik-masyuk dengan alat komunikasi canggih, mereka malah terputus atau kehilangan keterampilan untuk berkomunikasi tatap muka langsung. Akibat lanjutannya, banyak orang yang tidak lagi berinteraksi langsung dengan orang-orang terdekat, kerabat, atau anggota keluarga.
Saat bersamaan, banjir informasi membuat sebagian masyarakat tak sempat untuk memeriksa kebenaran berita sehingga semua ditelan begitu saja. Pada sisi lain, untuk mencapai kepentingan jangka pendek dan pragmatis, banyak oknum yang memanfaatkan kanal-kalan informasi untuk menyebarkan kabar bohong atau “hoax”. Kabar yang menyesatkan itu rentan dilahap oleh publik lantaran literasi digital kita masih rendah.
Dalam ranah politik praktis, kampanye calon pemimpin kerap memanfaatkan kanal media sosial untuk "branding" sekaligus kampanye negatif terhadap lawannya. Segala cara dilakukan, termasuk dengan menebarkan “hoax”. Bentuknya bisa "missed communication" (komunikasi terputus atau salah paham) atau "discommunication" (komunikasi yang disimpangkan). Para pendukung calon, apalagi yang dukungannya bernuansa ideologis, cenderung mencari pembenaran ketimbang kebenaran. Ini bagian dari gejala "post-truth."
Wal hasil, dalam dukungan teknologi komunikasi yang kian canggih, kita justru mengalami banyak masalah dalam komunikasi. Kondisi ini terasa demikian ironis, apalagi dibandingkan dengan masa lalu. Ketika peralatan komunikasi masih sederhana, mayarakat malah lebih lancar berkomunikasi lantaran lebih mengandalkan interaksi langsung yang lebih intim. Inilah paradoks yang patut kita sadari dan antisipasi sekarang ini.
Dalam konteks ini, Bentara Budaya menggelar Pameran Kartun "Komunikasih vs Kominikacau" di Bentara Budaya Art Gallery di Lantai 8, Menara Kompas, Jakarta, 26 September-26 Oktober 2024. Kurasi ditangani dua orang kurator Bentara Budaya, Frans Sartono dan Hilmi Faiq. Puluhan seniman undangan menampilkan karya yang mengulik fenomena komunikasi masa kini. Mereka menyoroti masalah komunikasi secara lebih kritis, penuh satir, juga humoris.
Pada saat pembukaan pameran, Kamis, 26 September 2024, digelar juga Pentas Repertoar "Lakon Tragedi tentang Otak yang Bermigrasi". Pentas dibesut kurator Bentara Budaya, Putu Fajar Arcana, sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Tampil para aktor, antara lain Inaya Wahid (putri KH Abdurrahman Wahid). Dengan bahasa teater yang lebih kompleks, pertunjukan ini menyoroti fenomena kekacauan komunikasi dalam masyarakat.
Dua kegiatan ini digelar dalam momen ulang tahun ke-42 Bentara Budaya. Lembaga kebudayaan Kompas Gramedia ini berdiri di Yogyakarta, 26 September 1982, disusul Jakarta tahun 1986, dan Bali tahun 2009. Tahun 2009 hingga 2019, Bentara juga sempat mengelola Balai Soejatmoko di Kota Solo, Jawa Tengah. Hingga kini, Bentara terus berusaha memajukan kebudayaan Indonesia dengan memanggungkan kreasi para seniman di Nusantara.
Terima kasih kepada para seniman yang ambil bagian dalam Pameran Kartun "Komunikasih vs Kominikacau" serta segenap kru Pentas Repertoar "Lakon Tragedi tentang Otak yang Bermigrasi". Penghargaan untuk Frans Sartono dan Hilmi Faiq sebagai kurator pameraan serta Putu Fajar Arcana yang menangani penyutradaraan dan penulisan naskah repertoar. Apresiasi untuk pimpinan Kompas Gramedia yang memberikan support untuk kegiatan-kegiatan Bentara. Salut untuk semua anggota pengelola Bentara Budaya di Jakarta, Yogyakarta, dan Bali, yang mengurusi berbagai kegiatan dalam momen ulang tahun Lembaga ini.
Palmerah, 24 September 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia