Menguak Wajah Jakarta dari dalam Tanah
Jakarta punya sejarah panjang sejak zaman kerajaan, Hindia Belanda, sampai kemerdekaan. Perjalanan itu dapat ditelusuri, antara lain dari berbagai benda peninggalan dari masa ke masa. Sebagian peninggalan itu terkubur dalam tanah dan baru dapat dilihat saat penggalian.
Merujuk ke berbagai sumber, saat masa kerajaan, ada sebuah pelabuhan kecil di muata Sungai Ciliwung. Sekitar abad ke-14 Masehi, tempat itu disebut Sunda Kelapa karena menjadi pelabuhan andalan bagi Kerajaan Sunda atau Kerajaan Hindu Pajajaran. Berada di tempat strategis, lambat laun kawasan itu bersentihan dengan perniagaan global, terutama dari para saudagar dari China dan Eropa.
Tahun 1527, Pangeran Fatahillah dari Cirebon (dengan dukungan Kasultanan Demak) merebut pelabuhan itu dan mengubah namanya menjadi Jayakarta. Kawasan ini kian menggeliat dengan kedatangan semakin banyak pedagang dari Belanda, Portugis, dan Inggris berdatangan untuk berniaga. Mereka bahkan juga mendirikan kantor perwakilan dagang.
Tahun 1619, Jakarta jatuh ke tangan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur di bawah kekuasaan Belanda. Tahun 1621, VOC mendirikan pemerintahan kolonial dengan nama Batavia. Nama ini diambil dari nenek moyang bangsa Belanda, "Batavieren."
Setelah lebih dari 323 tahun, kekuasaan Belanda diambil alih Jepang pada 1942. Dikuasai Dai Nippon, nama Batavia diubah menjadi Djakarta Tokubetsu Shi, yang berarti "Jauhkan Perbedaan". Namun, nama ini tak begitu populer karena kekuasaan Jepang hanya sebentar. Tahun 1945, negeri itu menyerah tanpa syarat kepada Sekutu yang menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Para pejuang kemerdekaan lantas memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Batavia dipilih menjadi ibukota negara Republik Indonesia. Sejak 1949, nama Batavia tak lagi digunakan, melainkan Djakarta. Lantas pada pada 22 Juni 1956, dikukuhkan nama Jakarta yang merujuk pada sejarah pembebasan kawasan itu oleh Fatahillah, Jayakarta. Perkembangan terbaru tahun 2024, kota ini sekarang memasuki masa transisi menjadi kota bisnis. Pemerintah memutuskan untuk memindahkan Ibukota Negara ke IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kalimantan Timur.
Dalam proses panjang perjalanan Jakarta, tertumpuk timbunan sejarah. Tak hanya dalam pengertian maknawiyah, "timbunan" itu juga dalam arti harfiah. Kota ini memang memiliki lapisan sejarah yang selama ini tertimbun di dalam tanah.
Kondisi itu terjadi karena Jakarta, yang berada di pesisir pantai, mengalami proses penurunan tanah selama ratusan tahun. Studi di Universitas Indonesia (UI) tahun 2024 menyebutkan, Jakarta menjadi salah satu kota yang mengalami penurunan tanah paling cepat di dunia, yaitu 2 cm sampai 15 cm per tahun dalam 50 tahun terakhir. Daerah di dekat pantai paling terdampak oleh penurunan tanah, antara lain di Cengkareng, Penjaringan, Pantai Mutiara, Pantai Indah Kapuk, Ancol, Cilincing, dan Cakung. Akibatnya, sebagian peradaban yang dulunya berada di atas tanah secara perlanan menurun, bahkan akhirnya tertimbun oleh peradaban baru.
Sebagian peradaban Jakarta yang tertimbun itu terbongkar ketika Pemerintah DKI Jakarta menggali tanah untuk kepentingan Pembangunan Mass Tapid Transit (MRT) sejak akhir tahun 2013. Penggalian dilanjutkan pada ground breaking MRT fase kedua pada awal 2019. Dalam kedalaman antara 17 meter hingga 36 meter, ditemukan banyak benda yang menandai sejarah peradaban lama Kota Jakarta, yang telah tertimbun selama ratusan tahun.
Kebetulan dalam penggalian fase kedua, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melibatkan para arkheolog. Dalam proyek di ruas antara Gajah Mada dan Pintu Besar Selatan, misalnya, ditemukan banyak benda terkait metarial trem dan stasiun. Trem merupakan kereta yang dijalankan dengan tanaga kuda atau mesin uap/listrik di atas rel khusus di satu kota. Berbagai benda temuan dari dalam tanah itu dapat memproyeksikan gambaran tentang trem sebagai transportasi andalan di Batavia sejak abad ke-19 Masehi.
Benda-benda itu kini dipamerkan dengan Tajuk "Jakarta dari Bawah Tanah” di Bentara Budaya Jakarta, 24-29 September 2024. Pameran ini yang digagas Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek itu mengajak publik untuk menyelami kembali sejarah Jakarta sebagai kota metropolitan yang kosmopolit alias terbuka terhadap perubahan. Pergantian kepemimpinan kekuasaan dari satu rezim ke rezim lain telah menjadikan kota ini berevolusi dari zaman kerajaan Hindu, kerajaan Islam, di bawah kolonialisme VOC Belanda, Jepang, baru kemudian dijadikan Ibukota Negara Republik Indonesia.
Salah satu babak evolusi itu adalah ketika VOC berkuasa di wilayah yang saat itu dinamai Batavia dengan transportasi andalan berupa trem. Mengutip buku "Jakarta 1869-1962: Moda Darat Favorit Warga Ibu Kota Tempo Dulu," trem dengan ditarik kuda diresmikan di Batavia tahun 1869. Trem kuda ini dioperasikan Bataviasche Tramway Maatschappij (BTM) dengan trayek pertama dari Amsterdamsche Poort sampai ke Meester Cornelis.
Pada perkembangan berikutnya, Nederlandsch Indische Tramway Maatschappij (NITM) lantas membuka jalur trem baru di Batavia dengan trem uap. Pada 1899, dikembangkan trem listrik di Batavia, yang dioperasikan Batavia Elektrische Tram Maatschappij (BETM). Moda transportasi ini bertahan di Jakarta hingga kemudian resmi dihapus oleh Pemerintah Indonesia tahun 1962.
Kembali ke pameran di Bentara Budaya Jakarta, benda-benda temuan selama penggalian MRT di Jakarta itu dapat diproyeksikan sebagai semacam lorong waktu. Mencermati berbagai benda terkait trem, kita bisa menerawang, bahkan merasakan kembali Jakarta saat masih bernama Batavia di bawah kekuasaan Hinda Belanda dan mengandalkan trem untuk transportasi kota.
Terima kasih kepada Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jabodetabek yang menggagas dan mewujudkan pameran ini. Terima kasih kepada semua lembaga yang memberikan support untuk pergelaran ini, yaitu Museum dan Cagar Budaya (MCB) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek), MRT Jakarta, KITLV-Jakarta, dan Pemerintah Daerah Khusus Jakarta. Penghargaan untuk kurator Bentara Budaya, Wawan Abk, yang memberikan catatan pameran; juga seluruh Tim Bentara Budaya yang mengawal persiapan teknis program ini.
Palmerah, 23 September 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia