Salah satu penanda khas Kotabaru adalah bangunan gardu listrik alias Babon ANEM (Algemene Nederlandsch Indische Electrisch Maatscapij). Babon ANIEM Kotabaru menjadi sangat legendaris karena di Kotabarulah pemasangan jaringan listrik dan air pam pertama kali dilakukan sekitar tahun 1920, ketika pembangunan Kotabaru dimulai oleh Komite Khusus yang dibentuk Residen Yogyakarta Cornelis Cane dan Sultan Hamengku Buwono VII.
Karena itulah, karya-karya terkait Babon ANIEM muncul seperti yang dibuat oleh Budi Yuwono. Budi menggambar Babon ANIEM dengan media cat air di atas kertas padalarang dengan finishing digital ilustrasi. Budi melukis Babon ANIEM seperti sosok robot bermata merah dengan dua tangan stop kontak.
Babon ANIEM kembali dieksplorasi ulang oleh Gilang Maulana Kafafi. Dengan memanfaatkan digital software, Gilang menggambar gardu listrik yang tengah dililit gurita dengan UFO di atasnya dan deretan tokoh-tokoh kartun di depannya. Selain itu, ada pula karya Atmaja Septa Miyosa yang menyuguhkan Babon ANIEM secara kalem, khas gambar kartu pos yang cantik.
Bangunan ikonik lainnya di Kotabaru adalah Gereja Santo Antonius yang selesai dibangun dan diberkati oleh Uskup Jakarta Mgr A van Velsen SJ pada 26 September 1926. Sketsa Hartoto Indra S menggambarkan gereja itu dengan drawing sederhana, namun kuat.
Karya-karya para seniman lainnya turut membangkitkan memori dan romantisme tentang Kotabaru. Siapapun yang pernah studi di Yogyakarta pasti ingat jika di sudut utara Kotabaru terdapat deretan kios ban yang mampu bertahan selama puluhan tahun. Atmaja Septa Miyosa mencoba mengabadikannya.
Di Jalan Suroto, Kotabaru, orang juga selalu teringat dengan penjual buah yang dari dulu selalu setia menjajakan buah andalannya, yaitu nangka! Lina Kusuma Dewi mengabadikannya dengan menggambar satu butir nangka dengan kemasan nangka-nangka kupas beserta timbangan di sampingnya. “Dulu dikemas plastik, sekarang dikemas dengan tray styrofoam dan plastik wrap! Mirip supermarket!,” tulisnya.
Selain menangkap landmark-landmark penting Kotabaru, para perupa juga mencoba mengeskplorasi fakta-fakta sederhana yang mungkin sering terlewatkan tetapi mengandung pesan dalam. Mukhammad Alwi Assagaf dengang karyanya berjudul “Still Waiting” menggambarkan seorang driver ojek online yang sedang menunggu penumpang sembari bersandar di jok motornya. Fenomena sosial ini mewarnai kawasan Kotabaru yang dulu merupakan daerah pemukiman elit tetapi kini telah berkembang menjadi daerah perkantoran padat.
Meski lokasi melukis on the spot digelar di Kotabaru, ada beberapa perupa yang memilih untuk merespons titik lain di luar Kotabaru. Ikhman Mudzakir misalnya, ia melukis tugu pal putih Yogyakarta dengan goresan cat airnya.
Sementara itu, Elis Siti Solihat membuat gojekan atau kelucuan pada gambar angkringan yang ia bubuhi dengan kata-kata “Angkringan to the moon”. Meski tidak menyinggung tentang Kotabaru, angkringan selalu mewakili sudut manapun di Yogyakarta, termasuk Kotabaru.
Pada akhirnya, selain membangkitkan memori dan rindu tentang Kotabaru, karya-karya para perupa juga mampu menampilkan ide-ide kreatif, angle yang unik, dan ekspresi-ekspresi kebebasan berkarya. Pemanfaatan teknik-teknik digital menjadikan karya-karya para perupa memiliki sentuhan-sentuhan unik perpaduan proses analog dan digital.
Dari karya-karya para perupa, mari kita bersama-sama memupuk rindu di Kotabaru!
Wawan Abk,
Kurator Bentara Budaya