Menjadi ilustrator digital yang “seutuhnya” tidak berarti melepaskan ikatan sosial dan identitas diri di dunia global, Bedil telah memahami hal ini dengan memberikan pembekalan workshop sketsa urban di daerah Kotabaru Yogyakarta, yang hasilnya bukan saja hasil menggambar langsung di lokasi tetapi juga menjadi ide-ide baru untuk dikembangkan. Tulisan ini akan mengantarkan pada apresiasi hasil karya yang sedang dipamerkan dari hasil kegiatan Bedil 2024 yang bekerja sama dengan Bentara Budaya Jakarta untuk kedua kalinya.
Meski bertujuan untuk mendalami kerja digital, pameran ini tetap menampilkan karya fisik agar tetap terkait dengan konteks proses dalam inkubasi yakni workshop sehingga terlihat langsung di pameran ini, sebab hasil akhir yang benar-benar berbentuk digital berada di platform OBJKT.com, yang sekaligus menjadi hilir dari seluruh kegiatan Bedil, di platform itulah karya peserta dipasarkan dalam bisnis NFT. Untuk memahami konteks digital, kita dapat membagi pemahaman berdasarkan tiga konteks, yang pertama cara kerja digital, kedua cara distribusi (platform / medium) serta cara orang mengapresiasi atau mengkonsumsi yang mengandalkan fitur pada device dalam kondisi online. Konteks pertama adalah produksi digital, yakni kerja ilustrasi baik sebagian mau pun seluruhnya menggunakan software / aplikasi menggambar, maksud dari kata sebagian ini adalah mix media, yang menggabungkan antara kerja manual atau yang sekarang disebut tradisional dengan media kertas, pensil, pena, cat dan semua yang bersifat fisik untuk kemudian diolah menggunakan software sehingga hasil akhirnya berbentuk file. Konteks kedua adalah distribusinya atau disebut platform digital, yakni tempat dalam ruang maya yang menjadi tempat display karya-karya. Konteks ketiga adalah cara mengapresiasi yang juga termasuk sistem transaksi.
Pameran ini membagi dua jenis ilustrasi hasil inkubasi, yakni karya bebas dan karya hasil workshop sketsa urban di Bentara Budaya Yogyakarta, karya bebas adalah karya ekspresif yang memang ditujukan untuk pasar global NFT, yang tidak berbatas pada gaya, genre atau maksud karya, karena begitulah situasinya. Jenis karya kedua adalah karya hasil dari workshop di Yogya, khususnya kawasan Kotabaru, yang telah ditetapkan sebagai kawasan herritage karena faktor kesejarahannya. Peserta workshop setelah mendapat pengarahan dalam membuat sketsa urban yang memiliki semangat menggambar dan mengabarkan suasana yang dilihatnya langsung, berpencar di kawasan Kotabaru untuk mencari objek sketsa, dan kita dapat melihat di pameran ini hasilnya, ada yang menggambarkan bangunan bersejarah seperti gardu “Babon Aniem”, perkembangan pemukiman seperti bantaran Kali Code, bahkan Bentara Budaya Yogyakarta yang menjadi salah satu simpul ruang berkesenian di Yogya. Selain bangunan ada pula yang menggambar objek kuliner yaitu pedagang buah nangka yang telah berjualan di lokasi yang sama selama lebih dari 30 tahun. Selain menggambar dalam konsep sketsa urban, peserta juga ada yang menggambar landmark di atas dengan cara fantasi atau dikembangkan sehingga menjadi paduan antara otentitas ruang (obyek) dengan hasil imajinasi. Keragaman ini menjadi menarik jika kembali melihat konteks pasar NFT yang tidak mengikat.
Di luar itu, mengangkat kawasan Kotabaru sebagai dasar dalam berkarya adalah strategi dalam kebudayaan untuk memasarkan Kotabaru di masa depan, di mana lanskap kota ditampilkan dalam bentuk yang casual, ia tidak hadir sebagai bentuk hard selling promosi kepariwisataan, namun lebur dalam seni-seni visual yang unik, hal ini dapat menjadikan Kotabaru sebagai spot yang sepertinya telah lazim menjadi obyek gambar, sehingga lambat laun akan menjadi ikonik dengan sendirinya. Setelah menjadi ikonik, orang akan mencari, tidak perlu diajak-ajak, mereka akan datang dengan sendirinya. Maka tampaklah bahwa kegiatan Bedil dengan tepat dapat “menembak” banyak sasaran.
Menjadi ilustrator digital yang global, tidak berarti harus menghilang di tengah ribuan karya yang terus bergantian setiap waktu, ilustrator tetap dapat eksis dengan akar budaya dan sosialnya di mana ia tinggal. Justru itulah yang akan menempatkan seorang ilustrator menjadi otentik (authentic intellegence) yang tidak akan tergantikan oleh mesin (artificial intellegence).
Mari berapresiasi.
Beng Rahadian,
Kurator Bentara Budaya