FATMAWATI
Penjahit Sang Saka Merah Putih
Bentara Budaya Yogyakarta, 13 – 20 Agustus 2024
Ora ana piala pasang ing becik, Allah maha wikan, Kawula derma nglakoni.
(Tidak akan tertimpa musibah jika kita berbuat baik, Allah Maha Mengetahui, kita harus sabar dan tawakal dalam menjalani takdir Tuhan).
Pepatah Jawa ini ditulis oleh Sosrodihardjo calon mertua Fatmawati kepada Bung Karno ketika mereka hendak menikah tahun 1943.
Jalan hidup Fatmawati, Ibu Negara pertama Indonesia, memang mengalami cobaan yang datang silih berganti, seakan tiada henti. Fatmawati harus menghadapi semua itu dengan tabah dan sabar, dia dengan tegar menapaki jalan yang telah digariskan Tuhan padanya. Pepatah Jawa dari mertuanya itu ternyata merupakan pitutur yang bermanfaat dalam mengarungi perjalanan hidupnya.
Fatmawati gadis desa dari Bengkulu yang lugu dan polos dibawa ke kota besar Jakarta yang hiruk pikuk. Dia bersama Bung Karno, suaminya, berjuang menyongsong kemerdekaan RI. Dia harus menyesuaikan diri di lingkungan baru di masa revolusi dan di zaman Kemerdekaan sehingga dia berjadi First Lady dan itu merupakan tugas berat uang harus diembannya. Dia menyadari dirinya banyak kekurangannya dan harus belajar tata cara pergaulan internasional, cara berbusana, serta bahasa Inggrisnya harus diperbaiki agar dia dapat menyesuaikan diri di dunia internasional.
Bendera Pusaka
Semua sudah menjadi kehendak Tuhan YME bahwa Fatmawati yang akan menjadi inisiator dan menjahit bendera pusaka Indonesia. Bagaimana tidak, coba bayangkan kira-kira setahun sebelum Proklamasi 17 Agustus 1945, tiba-tiba di bukan Oktober 1944 Fatmawati kedatangan seorang Perwira Jepang bernama Chairul Basri yang membawa beberapa blok kain halus warna merah dan putih. Saat itu kain halus sangat langka, tetapi dia menerima kain itu gratis. Chairul Basri mendapat kain itu dari Hitoshi Shimizu, perwira bagian propaganda Jepang.
Seperti ada yang mendorongnya, Fatmawati segera membuat sebuah bendera berukuran besar yang dia potong dan jahit sendiri. Dalam hatinya, dia berharap bendera itu untuk acara Proklamasi Kemerdekaan RI. Perjuangan Fatmawati dalam menjahit Bendera Pusaka ini sungguh menakjubkan, dalam keadaan hamil tua mengandung Guntur, anak pertamanya, dia harus menggunakan mesin jahit onthel tangan karena dilarang menggunakan mesin jahit kaki yang dapat membahayakan bayi yang dikandungnya.
Setelah bendera jadi, ternyata Jepang selalu menunda-nunda kemerdekaan RI. Perkembangan politik saat itu sangat fluktuatif hingga akhirnya terjadi peristiwa Rengasdengklok dan diputuskan Proklamasi diwujudkan sendiri tanpa bantuan Jepang.
Tanggal 17 Agustus 1945 pagi di Rumah Bung Karno Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, rakyat Indonesia sudah berjubel tidak sabar ingin menyaksikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Di tengah persiapan upacara Proklamasi tersebut, beberapa panitia masuk ke dalam rumah, mereka ribut dan berkata Bendera Merah Putih belum ada.
Allah Maha Wikan, Tuhan Maha Tahu, apa yang dibutuhkan bangsa Indonesia. Fatmawati segera ingat akan bendera yang dibuatnya setahun lalu. Segera diambilnya dari almari di kamarnya dan diserahkan ke petugas pengibar bendera pusaka. Dengan bangga dan bahagia, Fatmawati akhirnya bisa memandang Bendera Merah Putih buatannya berkibar dengan megahnya di angkasa Indonesia.
Menolak Dimadu
Perjuangan dan pengabdian Fatmawati terhadap RI dan sebagai istri Bung Karno sepertinya mengalir begitu saja. Dari Jakarta harus pindah ke Yogya pada masa clash 1946-1950, kemudian kembali lagi ke Jakarta hingga dia mempunyai lima putra putri. Asam garam, pahit manis kehidupan telah dirasakannya dalam mengemban tugas.
Setelah tujuh tahun hidup rukun bersama suaminya, datanglah prahara melanda rumah tangganya. Tidak lama setelah melahirkan putra bungsunya, Guruh, Bung Karno datang dan mengutarakan keinginannya untuk kawin lagi dengan Hartini dan tidak ingin menceraikannya. Dengan tenangnya dia menolak dimadu, walau suaminya bersikeras dengan kemauannya. Di dalam hatinya hancur luluh, tetapi prinsipnya tetap teguh tidak mau dimadu. Akhirnya dia menjauh dari Bung Karno dan Istana. Fatmawati menyendiri di rumah Jalan Sriwijaya yang dibuatnya sendiri. Penolakan Fatmawati untuk dimadu suatu hari nanti membawa perubahan dalam UU Perkawinan untuk pegawai negeri dan pejabat negeri RI, yang melarang menikah lebih dari satu kali.
Di balik wajah ceria dan senyuman yang menawan, Fatmawati ternyata harus bersabar dan tawakal selama sisa hidupnya. Ketika ditanya kapankah dia merasa bahagia? Dia menyebut hanya ada beberapa momen dalam hidupnya yang membuat dia bahagia, antara lain saat dia dilukis oleh Basuki Abdullah dengan latar pelabuhan Bengkulu, saat dia diminta menyanyi Gadis Desa oleh para pejabat militer Jepang, dan ketika Bung Karno pidato tentang lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, serta pada hari Proklamasi 17 Agustus 1945.
Demikian riwayat Fatmawati sang bunga padma dari Bengkulu yang menjelma sebagai First Lady Republik Indonesia dan Pahlawan Nasional yang legendaris.
Foto-foto yang kami pamerkan ini bersumber dari buku berjudul “Fatmawati, Catatan Kecil bersama Bung Karno” Bagian 1 yang ditulis oleh Fatmawati Sukarno sendiri, terbitan Dela Rohita Jakarta tahun 1978. Foto-foto yang dimuat dalam buku tersebut merupakan koleksi pribadi Fatmawati dan Ipphos.
Pameran ini terlaksana berkat bantuan dan kerjasama Bentara Budaya dengan Kelompok Donerro dan para penyair muda Indonesia.
Hermanu
Kurator Bentara Budaya
20 Juli 2024