Merawat Warisan "Greng"
"Greng" dalam bahasa Jawa berarti getaran yang kuat. Semacam sensasi atau daya pikat yang dirasakan saat kita berinteraksi dengan sesuatu yang memikat. Ketika getaran itu demikian kuat, sensasinya bisa menyentak mirip kesetrum listrik.
Istilah "greng" sempat populer di lingkungan akademik Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI)/Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) di Yogyakarta era tahun 1970-an. Sejumlah dosen seni di kampus yang kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI) itu menggunakan idiom tersebut untuk menyebut karya seni para mahasiswa yang dianggap bagus. Salah satu dosen yang kerap menggunakan istilah itu adalah Widayat (1919-2002). Dia mahasiswa angkatan pertama ASRI, lulus tahun 1954 dan menjadi pelukis dan pengajar di perguruan tinggi itu.
Dikisahkan sejumlah murid atau sahabatnya, Widayat sering mengungkapkan kata "greng" untuk mengapresiasi lukisan-lukisan yang memikat hatinya. Kolektor seni asal Magelang, Jawa Tengah, Oei Hong Djien sering bercerita seputar "greng"-nya pelukis itu. Kebetulan OHD--demikian sapaan akrabnya--bersahabat dekat dan mengoleksi banyak lukisan Widayat.
"Pak Widayat sering mengatakan karya yang baik itu harus 'greng'," kata OHD sebagaimana dicatat Harian Kompas (2 November 2019), "Bertualang ke Negeri 'Greng'". Catatan itu terkait dengan pameran Widayat Centennial Celeberation di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, 26 Oktober 2019 sampai 23 Maret 2020.
Terkait istilah ini, Bentara Budaya Yogyakarta pernah menggelar pameran bertema "Greng" dalam rangka 100 tahun Widayat, pada 22-30 Oktober 2019. Kini, Bentara Budaya Yogyakarta kembali menggelar pameran dengan tema serupa, tepatnya "Greng '76" pada 21-30 Juni 2024. Kali ini, pameran diikuti 23 seniman yang pernah belajar seni lukis di STSRI/ASRI Yogyakarta, angkatan tahun 1976.
Tema "Greng" diusung oleh komunitas "L76" karena dianggap cukup mewakili warisan spirit berkesenian semasa mereka kuliah di ASRI. Meski pernah belajar seni lukis, tak semua mereka kemudian benar-benar menekuni jalur kesenian secara murni dan profesional. Sebagian dari mereka berkarier sebagai guru, pegawai negeri sipil, TNI, atau pegawai swasta. Profesi kadang bukan soal pilihan, tapi soal jalan takdir.
Meski memiliki profesi berbeda-beda, mereka semua masih menjaga spirit berkarya seni rupa. Warisan semangat "greng" dihidupkan dalam karya-karya baru. Sebagian karya itu masih menampakkan jejak visual lama 40-an tahun silam, sebagian lagi telah berkembang dalam bentuk-bentuk yang lebih segar.
Tak hanya terkait "greng" Widayat, mantan mahasiswa STSRI/ASRI angkatan 1976 juga mengaku terpengaruh oleh dosen-dosen lain yang juga berjasa menggembleng mereka saat mulai meniti jalan kesenian. Para dosen itu antara lain, Edhi Sunarso, Fajar Sidik, Nyoman Gunarsa, Sun Ardi, Wardoyo, Wardoyo Sugianto, Subroto SM, Aming Prayitno, Sudarisman, dan Risman Marah. Mereka turut melecut kreativitas para muridnya.
Di antara murid-murid itu kini telah berkembang menjadi perupa yang populer. Sebut saja, antara lain, Haris Purnomo (populer dengan lukisan realis), Dyan Anggraini (lukisan dengan kombinasi figur perempuan dengan teks), Syaiful Adnan (lukisan kaligrafi dengan gaya khas), dan Hermanu (pelukis realis yang kini menjadi kurator Bentara Budaya). Jejak dari upaya merawat "greng" juga terlihat pada karya anggota angkatan 1976 lainnya: AB Dwiantoro, Akbar Linggaprana, Akmal Syarif, Amdo Brada, Bambang Hidayatun, Bambang Sudarto, Bambang SW, Budi Waluyo, Eko AB Umar, Gatut Suwito, Helmy Azeharie, Mangkok Sugiyanto, Sanen Suryanto, Swis Sembiring, Umbu L.P. Tanggela, Wahyudi Nugroho, Yana Surya, Yantje Yohanes M, dan Zainal Arifin.
Selamat berpameran untuk para seniman STSRI/ASRI angkatan 1976. Terima kasih untuk kurator Bentara Budaya Mas Hermanu serta tim Bentara Budaya di Yogyakarta yang menangani pameran ini. Tak sekadar ajang reuni, semoga pergelaran ini juga memperlihatkan sepenggal penting dinamika seni rupa modern Indonesia yang berkembang di ASRI dan Yogyakarta sebagai "ibukota" seni rupa Indonesia.
Palmerah, 20 Juni 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia