Semua orang mendambakan perdamaian. Namun, faktanya dambaan itu sulit diwujudkan dengan berbagai alasan. Lalu, bagaimana cara mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan itu?
Kita cermati dari sisi normatif. Hampir semua ideologi, agama, atau norma di dunia ini menekankan pentingnya perdamaian. Banyak istilah untuk menyebutnya. Ambil contoh, "perdamaian" dalam Bahasa Indonesia, "peace" dalam Bahasa Inggris, dan "salam" dalam bahasa Arab.
Meski berbeda-beda penyebutannya, perdamaian itu merujuk pada konsep hampir serupa. Perdamaian kurang lebih dimaknai sebagai kondisi kehidupan bersama yang tenang, baik, aman, tanpa tekanan, dan tanpa kekerasan. Kondisi itu hanya tercapai jika semua orang mau hidup berdampingan dengan landasan saling memahami dan menerima satu sama lain.
Perbedaan atau pluralitas dalam masyarakat tidak dibenturkan, melainkan ditempatkan sebagai kenyataan yang dihargai. Kalaulah muncul konflik, semua pihak didorong untuk bertemu, berdialog, dan mencari solusi yang memenangkan semua pihak secara adil.
Tak hanya menjadi wacana, perdamaian juga telah dilembagakan dalam sejumlah institusi. Salah satunya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang didirikan didirikan tahun 1945. Misi utama organisasi antarnegara ini adalah menjaga perdamaian dan mencegah perang dunia meletus lagi.
Perang Dunia I (114-1918) dan Perang Dunia II (1939-1945) telah mewariskan sejarah yang gelap, penuh dengan pengalaman buruk, dan menyisakan trauma. Perang benar-benar sangat merusak kehidupan manusia. Selama peperangan, manusia kesulitan untuk hidup nyaman, baik, sehat, dan produktif.
PBB merupakan perwujudan dari kesadaran global bahwa kita perlu menghentikan perang. Untuk memenuhi mandate itu, PBB menempuh berbagai cara. Lembaga ini membentuk Dewan Keamanan yang memiliki otoritas untuk menginvestigasi perang, merekomendasikan resolusi, meminta embargo pada negara tertentu, bahkan melaksanakan keputusan secara militer. Semua proses itu dijalankan dengan mekanisme persidangan antaranggota Dewan Keamanan, juga dengan support dari seluruh negara anggota PBB.
PBB juga membentuk United Nations Peacekeeping Operations (Misi Pemeliharaan Perdamaian). Ratusan negara telah mengirimkan ribuan tentara untuk menjalankan misi perdamaian di banyak tempat. Tak hanya menjaga gencata senjata dan stabilisasi situasi, misi ini akhirnya juga mengerjakan langkah-langkah multidimensi demi menyemai perdamaian.
Indonesia aktif memperjuangkan perdamaian. Aktivitas itu merupakan amanat dari Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa negara itu berkomitmen untuk ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sejak tahun 1957 sampai sekarang, Indonesia telah mengirimkan banyak petugas keamanan untuk berbagai misi perdamaian di dunia.
Kegiatan PBB dan Indonesia menggambarkan usaha kita untuk memperjuangkan perdamaian. Namun, faktanya usaha itu tidak sepenuhnya berhasil. Hingga kini, perang masih berkecamuk di beberapa belahan dunia. Sebut saja, antara lain, perang di Rusia dan Ukraina (sejak 2022). Sejak akhir 2023, meletup perang di Gaza antara Palestina dan Israel.
Ketika seruan perdamaian tak mengendur, lantas kenapa perang masih berlangsung? Salah satu jawabannya dikembalikan kepada hasrat manusia (dalam komunitas atau negara) untuk berkuasa dan memperkuat kekuasaannya. Pinjam istilah filsuf Jerman Friedrich Nietzsche (1844–1900), hasrat ini disebut "will to power."
Hasrat berkuasa akan selalu ada selama manusia hadir di Bumi. Hasrat itu mendorong manusia untuk merebut kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk dengan kekerasan. Ketika kekuasaan di genggaman dirasa tak cukup, sebagian manusia merasa perlu untuk memperkuat dan memperluasnya. Dorongan ini pernah melahirkan praktik kolonialisme, khususnya oleh negara-negara Barat terhadap negara-negara Timur.
Hasrat berkuasa manusia itu perlu diredam dengan kampanye perdamaian. Kita harus terus bergerak untuk mengingatkan kembali, bahwa perdamaian merupakan prasyrat untuk mengembangkan kehidupan yang baik. Tanpa kedamaian, kita sulit bergerak, alih-alih membangun peradaban dan mencapai kemajuan dalam segala bidang kehidupan.
Jangan biarkan konflik, peperangan, dan praktik rebutan kekuasaan mengendorkan semangat kita untuk terus menebarkan semangat perdamaian. Suarakanlah perdamaian, setidaknya di lingkungan sendiri dengan kapasitas dan bahasa masing-masing.
Semangat ini mendorong Bentara Budaya untuk memilih "Peace in Diversity" sebagai tema Pameran "Ilustrasiana" di Bentara Budaya Jakarta, 25 Juni-4 Juli 2024. Ada puluhan seniman yang berpartisipasi alam kegiatan ini, termasuk sejumlah seniman dari mancanegara. Dengan perspektif dan bahasa visual masing-masing, mereka menyuarakan semangat perdamaian.
Selepas dari Jakarta, Pameran "Ilustrasiana" akan diboyong ke Bentara Budaya Yogyakarta dengan sejumlah penambahan seniman dan karya seni sesuai dinamika di kota tersebut. Temanya tetap sama, yaitu perdamaian. Inilah cara kami untuk berkontribusi dalam membangun kehidupan global.
Kami sadari sepenuhnya bahwa perdamaian itu sulit diwujudkan secara total. Impian itu nyaris menjadi utopia, angan-angan, mimpi. Lihat saja, bagaimana PBB kesulitan untuk mewujudkan misi perdamaian dunia, meski disokong oleh ratusan negara dan memiliki mekanisme untuk "memaksakan" agenda perdamaian di negara-negara konflik. Apalagi, para seniman yang berbicara melalui karya seni yang beredar secara terbatas.
Namun, dalam keterbatasan itu, bahasa visual sejatinya berpotensi untuk menawarkan perspektif yang tidak biasa, unik, dan mengejutkan. Ekspresi rupa bisa menghasilkan sensasi yang menyentuh hati publik. Semoga sensasi itu dapat menumbuhkan kesadaran akan pentingnya perdamaian.
Terima kasih kepada para seniman dari Indonesia dan mancanegara yang turut serta menampilkan karyanya dalam pameran ini. Salut untuk Beng Rahadian, yang kembali mengurus kurasi seri Pameran "Ilustrasiana". Apreasiasi buat tim Bentara Budaya yang telah mempersiapkan berbagai pekerjaan teknis. Kepada semua pihak yang telah membantu kegiatan ini, kami haturkan penghargaan yang tulus.
Palmerah, 19 Juni 2024
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management
Corporate Communication Kompas Gramedia