Apa yang terpikir jika mendengar kata perempuan? Barangkali sebagian akan langsung membayangkan seseorang berjenis kelamin berbeda dengan lelaki, cantik, feminin, memiliki alat reproduksi, bisa hamil dan melahirkan. Namun, sejatinya sosok perempuan melampaui bayangan biologis itu.
Memang, ada satu hal yang secara khusus hanya dimiliki perempuan, dan tak dipunyai lelaki, yaitu kemampuan reproduksi. Meski lelaki yang punya sperma untuk membuahi indung telur dalam rahim, tetapi proses berikutnya sepenuhnya berlangsung dalam tubuh perempuan. Janin hasil pembuahan berkembang dalam rahim sembilan sekitar bulan. Setelah siap, bayi lahir melalui jalan biologis milik perempuan.
Dengan demikian, perempuan memegang peran penting dalam keberlanjutan regenerasi manusia. Kemampuan ini menjadikan perempuan itu sebagai bagian dari proses kreasi. Tuhan membiakkan manusia melalui tubuh perempuan.
Setelah lahir, bayi masih sangat tergantung pada perempuan sebagai ibu. Usai dilahirkan, bayi menghisap dua payudara ibu yang penuh air susu. Air susu ibu (ASI) mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan bayi untuk memulai kehidupan baru di luar rahim, mulai dari air, protein, karbohidrat, lemak, mineral, vitamin, dan zat kekebalan. Ada juga kandungan antibodi yang melindungi bayi berbagai penyakit.
Dalam banyak budaya, bayi baru mulai mandiri selepas menyusu dari ibunya selama sekitar dua tahun. Itu pun ibu masih mengasuh bayi hingga remaja. Selama proses pertumbuhan, ibu juga berkontribusi menentukan, terutama dalam mengasuh dan mendidik anak sejak bocah hingga siap mandiri.
Di luar kemampuan reproduksi ini, perempuan juga memiliki berbagai potensi seperti lelaki. Sebagaimana lelaki, perempuan juga punya ketangguhan fisik, daya motorik, kecerdasan, kreativitas, komunikasi, dan kegigihan untuk mencapai tujuan tertentu dalam kehidupan. Mirip lelaki, perempuan juga bisa berkembang dalam berbagai profesi, seperti budaya, pendidikan, sosial, ekonomi, dan politik.
Perempuan juga bisa memimpin. Pada zaman dulu, perempuan bisa menjadi kepala keluarga dalam budaya tertentu, menjadi kepala suku, panglima perang, bahkan jabatan puncak seperti jadi raja pada kerajaan. Pada masa kini, perempuan juga tercatat menjadi pemimpin negara, seperti presiden atau perdana menteri.
Walhasil, perempuan sejatinya setara dengan lelaki. Jika terbuka kersempatan sama, perempuan berpotensi mencapai semua yang bisa diraih lelaki. Perspektif gender ini dimungkinkan secara biologis, pun tercatat dalam lembaran sebagian sejarah.
Konstruksi Sosial-Politik
Namun, sebagian besar lembaran lain dari sejarah juga mencatat kondisi berbeda. Dalam kurun waktu lama, nyatanya lelaki dengan kekuasaanya cenderung lebih dominan dan menghegemoni perempuan nyaris dalam semua bidang kehidupan. Di banyak tempat, posisi perempuan terdesak, terpinggirkan, atau tersubordinasi di bawah kendali lelaki.
Dengan kemampuan reproduksi, perempuan justru didorong untuk hanya bergulat dengan urusan domestik (rumah tangga). Setelah menikah, perempuan akan melayani kebutuhan biologis lelaki suaminya, menangani urusan rumah tangga (memasak, mencuci, beres-beres rumah), juga hamil-melahirkan-mengasuh anak sampai remaja.
Energi dan waktu perempuan tersedot untuk memenuhi tuntutan domestik sehingga tak sempat mengembangkan diri dalam peran di luar yang lebih besar. Saat bersamaan, lelaki memiliki keleluasaan untuk mengembangkan diri dan berperan lebih besar dalam kehidupan terbuka. Ketimpangan berbasis gender (jenis kelamin) ini pada akhirnya melahirkan kontruksi sosial yang mendiskriminasi perempuan dengan serangkaian perlakuan tidak adil.
Diskriminasi terhadap perempuan terjadi pada hampir semua bidang kehidupan. Kondisi itu kemudian berpotensi melahirkan beragam kekerasan terhadap perempuan oleh lelaki. Banyak kasus mencatat adanya pemukulan, pelecehan seksual, ancaman, paksaan, bahkan perkosaan terhadap perempuan.
Ketidakadilan itu juga pernah dialami Raden Ajeng Kartini (1879-1904), puteri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat. Sempat belajar sampai usia 12 tahun di Europeesche Lagere School (ELS) atau setingkat sekolah dasar, dia kemudian dipingit dan tinggal di rumah saja. Kartini lantas dinikahkan dengan Bupati Rembang, KRM Adipati Aryo Singgih Djojoadiningrat, yang sudah memiliki tiga istri.
Semasa hidup, Kartini banyak membaca, menulis surat kepada sahabatnya di Belanda, serta seskali menulis untuk majalah. Dia mengungkapkan kegelisahan atas berbagai bentuk diskriminasi yang dialami perempuan pada masanya, seperti tidak bisa menempuh pendidikan tinggi, dipingit, dijodohkan pada lelaki yang tak dikenal, dan tertekan oleh sistem sosial yang patriarkis. Lewat catatan-catatannya, dia mendorong emansipasi kaum perempuan agar mendapatkan hak-hak dan perlakuan sebagaimana diperoleh kaum lelaki.
Tak hanya mencatat, Kartini sempat mewujudkan aspirasinya dengan membuat sekolah untuk anak-anak di lingkungannya. Usai menikah, dia mendirikan sekolah di timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, tempat suaminya, Bupati Rembang, bekerja. Namun, setelah melahirkan anak satu-satunya, perempuan itu meninggal pada usia 25 tahun.
Sepeninggal Kartini, catatan dan surat-suratnya dikemas dan diterbitkan oleh Mr JH Abendanon menjadi buku di Belanda dengan judul "Door Duisternis tot Licht" (tahun 1911). Buku itu kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" (Balai Pustaka, 1922), lantas diterjemahkan lagi oleh oleh sastrawan Armijn Pane dengan judul yang sama pada tahun 1938.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden RI Nomor 108 Tahun 1964 yang menetapkan RA Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Hari kelahirannya, 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini. Tak hanya menjadi seremoni, momen itu diharapkan menjadi pengingat pada masa perempuan tertekan dan perlu terus didorong perjuangan untuk membebaskan dan memajukan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan.
Kartini Negeri dan Pameran Per-Empu-an
Memeringati perjuangan Kartini tahun 2024, Coprorate Communication Kompas Gramedia (KG) bekerja sama dengan Stylo Indonesia menyelenggarakan serangkaian kegiatan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), pada 24-27 April 2024, digelar Pameran Wastra Nusantara bertema "Cerita Wastra Nusantara - Cerita Kainku”, Bazar Wastra yang diikuti sejumlah Usaha Kecil Menengah (UMKM), serta Ethnic Fashion Competition Karyawan KG.
Di sela-sela pameran dan bazar, dihelat juga Talkshow dengan sejumlah narasumber. Diskusi mengangkat sejumlah topik menarik, seperti terkait pemberdayaan ekonomi, kebudayaan, dan reproduksi. Ada juga pemeriksaan kesehatan.
Satu rangkaian dari kegiatan ini, digelar pameran bertema "Per-Empu-an" di Bentara Budaya Art Gallery di Lantai 8 Menara Kompas, yang berlangsung sekitar dua bulan, sejak 24 April hingga 30 Mei 2024. Pergelaran ini menampilkan 80-an karya seni rupa, yang terdiri dari lukisan (30-an karya), lukisan kaca (2 karya), drawing (3 karya), grafis (10-an karya), wayang kayu/golek (7 karya), dan keramik (24 karya). Karya-karya itu merupakan koleksi Bentara yang berangka tahun 1941 sampai 2019.
Dilihat dari sisi waktu penciptaan, karya seni yang dipamerakan ini memiliki rentang waktu kekaryaan yang panjang. Ada karya-karya seniman senior yang membuat karya tahun 1940-an, 1960-an atau 1970-an, 1980-an (Otto Djaja, Subanto, Soedibio, Batara Lubis, M Daryono, Soerono, Sudarso), seniman yang aktif tahun 1990-an (Abas Alibasyah, Asnida Hassan, Lucia Hartini, Entang Wiharso, Danarto, Zaenal Arifin), sampai seniman muda barkarya tahun 2000-an (Fadhil Abdi, Fitriani Dwi Kurniasih, Haryo SAS, Astuti Kusumo, Harindavati).
Secara material, karya juga bervariasi, mulai dari lukisan, grafis, wayang, kaca, dan keramik. Seniman berasal dari berbagai kota/daerah di Indonesia. Masing-masing material menyuguhkan keunggulan visual dengan karakter yang unik.
Semua karya itu memiliki benang satu merah, yaitu sama-sama menggambarkan sosok perempuan. Penggambaran dengan perspektif yang luas, mulai dari perempuan sebagai ibu, perempuan sebagai gadis cantik, perempuan sebagai manusia sosial, sebagai pejuang, dan sebagainya. Semua itu dipengaruhi latar belakang perupa, pandangan hidup seniman, atau momen tertentu saat karya diciptakan.
Tema "Per-empu-an" dipilih karena mencerminkan semangat untuk kembali memanggungkan perempuan dalam semangat emansipasi. Kata perempuan berasal dari bahasa Sansekerta 'pu' yang berarti hormat. Ada juga pendapat yang meyebut kata itu diambil dari bahasa Jawa Kuno 'empu' yang berartikan tuan, mulia, ataupun terhormat. Kata ini kemudian dikasih awalan “per” dan akhiran “an” sehingga menjadi "per + empu + an."
Kata "perempuan" juga dijadikan idiom untuk Kongres Perempuan Pertama, 22 Desember 1928. Kata "wanita" tak dipilih saat itu lantaran dinilai memiliki makna pejoratif. Berasal dari bahasa Sansekerta, "vanita", secara harfiah dapat diartikan sebagai "sesuatu yang diinginkan". Ada kesan sebagai obyek. Kata ini lantas diserap dalam bahasa Jawa menjadi "wanita."
Pemerintah Indonesia sempat mengadopsi kata "wanita" untuk nama-nama formal organisasi atau kelembagaan. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, misalnya, Kongres Perempuan pernah diubah menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Diksi ini juga diikuti pada masa Orde Baru, antara lain dengan menyebut Menteri Negara Urusan Peranan Wanita atau organisasi istri pegawai negeri sipil sebagai Dharma Wanita.
Namun, pasca Reformasi 1998, menguat kesadaran untuk Kembali menggunakan nama perempuan. Beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) menyebut diri dengan kata perempuan, seperti Solidaritas Perempuan, Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK), atau Yayasan Perempuan Merdika. Presiden Abdurrahman Wahid mengganti sebutan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (MenegPP)--kini menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Mengacu pada makna asal kata itu dan sejarah penggunaan kata perempuan, maka pameran ini bersemangat untuk menghargai perempuan. Berbeda dengan lelaki, kodrat perempuan memang menjadi bagian penting dari proses pro-kreasi manusia (hamil, melahirkan). Lebih dari itu, sebagaimana lelaki, perempuan juga dapat berkembang dan mencapai peran penting dalam kehidupan.
Terima kasih kepada semua pihak yang telah berkolaborasi untuk menyokong rangkaian kegiatan Kartini Negeri di Bantara Budaya Jakarta yang digelar oleh Stylo Indonesia dan Corporate Communication KG. Penghargaan untuk tim kurator Bentara (Mas Frans Sartono dan Mas Efix Mulyadi) yang telah memilih koleksi karya seni untuk disajikan dalam Pameran "Per-Empu-an" di Bentara Budaya Art Gallery di Menara Kompas. Apresiasi untuk seluruh kru Bentara dan CorpComm KG yang bahu-membahu mewujudkan kegiatan menarik ini.