AKULTURASI MEMBERI KEKAYAAN
Kompas, Minggu, 25 Februari 2024.
Igniatus Nawa Tunggal
Tidak lama lagi perupa asal Betawi Sarnadi Adam (67), akan memamerkan karya-karya lukisan perempuan bergaun khas Betawi-nya di Perancis dan Argentina Sebelumnya. Ia rutin dua tahun sekali diminta berpametan di Belanda. Sarnadi meyakinkan, akulturasi di Jakarta pada masa silam memberi kekayaan tersendirl.
Sarnadi bertutur tentang percampuran budaya yang terjadi pada abad ke-16 di Batavia, sekarang Jakarta. Akulturasi berlangsung antara budaya masyarakat lokal dengan bangsa Arab dan China. Perpaduan budaya itu kian kompleks setelah hadir bangsa Portugis, Spanyol, dan Belanda. Dari situlah Budaya Betawi lahir.
*Pada mulanya, kekayaan itu tidak saya sadari ketika saya memutuskan ingin melukis budaya Betawi. Saya kembali ke Jakarta setelah menempuh studi seni rupa di Yogyakarta," ujar Sarnadi, menjelang pem-bukaan pameran seni rupa. Merayakan Kebersamaan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (22/2/2024).
Sarnadi menempuh studi seni rupa jenjang S-1 di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta sejak 1979. la menuntaskan stu-dinya sampai jenjang S-3 di almamaternya hingga 2017 dan kembali ke Jakarta Selain melukis, Sarnadi kemudian meng-ajar di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). "Saya merasa ter-panggil untuk kembali ke budaya Betawi” Ujarnya.
Perkembangan pesat di Jakarta sebagai ibu kota negara nyaris tak menyisakan budaya Betawi. Hasil akulturasi ber-bagai entitas budaya bangsa di abad ke-16 itu terkikis modernitas kekinian.
Untuk melihat jejak orisina-litas Betawi sebagai hasil akulturasi di masanya, Sarnadi mengunjungi wilayah yang dikenal sebagai kawasan Cina Benteng di Tangerang, Banten. la sering tinggal berhari-hari di situ, terutama ketika ada hajatan. Masyarakat Cina Benteng mash mengenakan atribut pa-kaian lokal yang khas yang di-sebut juga khas Betawi, teruta-ma ketika membawakan tarian tradisional cokek.
Sarnadi melihat banyak generasi muda sudah tak bisa me-nikmati tarian cokek yang terkesan sederhana dan diulang-ulang. Kostum yang dikenakan juga terlihat sederhana meski dengan warna sangat mencolok.
Sarnadi tergerak mengabadikan ke atas kanvanya. Dalam pameran Merayakan Kebersamaan, Sarnadi menampilkan tiga lukisan, yakni "Dua Penari Cokek di Depan Pintu Tradisional* (2021), *Empat Penari Cokek Menuju Tempat Pentas* (2022), dan "Dialog Tujuh Pe-nari Cokek* (2022). Lukisan ke-tiga menampilkan busana perempuan berkain dan berkebaya dengan warna mencolok.
Sarnadi saat ini sudah berkeliling negara-negara di Eropa memamerkan lukisan perempuan Betawi tersebut.
Selain karya Sarnadi, pamer-an di BBJ ini menampilkan karya 10 perupa lain, yakni AC Andre Tanama, Fatih Jagad Raya Aslami, Galuh Taji Malela, Hanny Widjaja, Nisan Kristiyanto, Putu Sutawijaya, Sidik W Martowidjojo, Syakieb Sungkar, Teguh Ostenrik, dan Vy Patiah. Pameran yang berlang-sung hingga 29 Februari 2024, itu dibuka oleh aktris Olga Lydia
Semangat Kebersamaan
Pameran merayakan kebersamaan ini merupakan upaya menjaga semangat kebersamaan. Semangat kebersamaan memungkinkan terjadinya akulturasi yang memadukan berbagai entitas budaya dan melahirkan budaya baru sebagai kekayaan tersendini.
Kurator pameran Frans Sartono menyebut kebersamaan menumbuhkan pergaulan dan ruang tumbuh bersama. Dari situ muncul respons satu sama lain, tawar-menawar suatu tin-dakan yang bersifat kolektif. Misalnya, ketika kuliner ren-dang masyarakat lokal Padang dirasakan oleh masyarakat pen-datang China begitu berat. Masyarakat China merespons de-ngan membuat rendang yang terasa lebih ringan.
*Di Padang terlahir pula ba-hasa Minang Pondok yang ter-pengaruh dialek orang China. Ada proses adaptasi," ucapnya.
Kebersamaan itulah yang melahirkan dialog kultural. Di situ ada tawar-menawar gagasan. Perubahan secara kolektif bisa melekat dalam rentang waktu lama dan samar asal muasalnya. Seperti dikatakan Teguh Ostenrik yang sudah mengunjungi China enam sam-pai tujuh kali untuk mengajar seni rupa atau menjadi juri kompetisi seni rupa disana.
"Ketika saya menja i juri se-buah kompetisi seni rupa anak muda di kota Nanning, di sela
menyeleksi pemenangnya, saya menerima undangan makan malam dari seorang pejabat pe-merintahan di sana," tutur se-niman asal Surakarts, Jawa Te-
ngah, ini.
Teguh diajak mengunjungi sebuah pasar tradisional di Nanning, la pun kaget ketika menjumpai makanan tradisio-nal di sana banyak yang mirip makanan tradisional di Jawa. Semula, ia menyangka makanan ringan seperti lemper, semar mendem, carabikang, dan sebagainya merupakan makanan as-li dan khas Jawa.
*Ternyata, hampir semua makanan yang saya kira sebagai makanan khas Jawa ada di pa-sar tradisional kota Nanning tersebut. Makanan-makanan khas Jawa itu ternyata berasal dari China," ujar Teguh, yang dalam pameran ini menampilkan video seni hasil olahan digital membentuk topeng kayu dengan judul ‘Alur Harmoni’
Peristiwa itu menunjukkan adanya akultarasi budaya China di Jawa. Bahkan, akulturasi yang sudah lama itu sampai-sampai menyamarkan asal muasal suatu tradisi dari bu-daya yang datang dari tempat lain.
Merayakan Kebebasan
Pameran Merayakan Keber-samaan juga diniatkan untuk merayakan tahun baru Imlek yang jatuh pada 10 Februari
2024. General Manager Ben-tara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia, Ilham Khoiri menjelaskan, pa-meran ini sekaligus merayakan kebebasan warga peranakan China selama 23 tahun setelah diperbolshkan kembali merayakan hari raya tersebut.
Ilham mengisahkan, Presiden Abdurrahman Wahid men-cabut Instruksi Presiden No-mor 14 Tahun 1967 dan mener-bitkan Keputusan Presiden No 6/2000 untuk mengizinkan kembali perayaan Imlek di Indonesia. Bahkan Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif, yang berlaku bagi mereka yang merayakannya. Pada 2003, Presiden Megawati Soekaroputri resmi menjadikan Imlek sebagai hari libur na-sional.
"Peristiwa ini menjadi pe-nanda keterbukaan bangsa Indonesia. Tak ada lagi diskri-minasi bagi peranakan China.
Komunitas ini dirangkul seba-gai bagian dari anak bangsa yang memiliki hak dan kewa-jiban yang sama sebagai warga negara," ungkap Ilham.
Perupa Nisan Kristiyanto menampilkan semiotika ke-terbukaan tersebut lewat tiga lukisan karyanya yang diberi judul "Memaknai Bunga-bunga (Menyambut Musim Se-mi/2022)*. Dua karyanya melukiskan bunga flamboyan yang bermekaran. Satu karya lain melukiskan alam dengan warna monokromatik hitam, tetapi ada bunga-bunga berwarna merah yang rontoh di rerumputan.
Lewat pameran merayakan kebebasan dan kebersamaan, kritik sosial pun dilontarkan melalui lukisan karya Syakieb
Sungkar. Lukisannya dengan judul "Bag-bagi Angpau" me-nyiratian peristiwa kebahagia-an sebagian orang yang menerima angpau. Orang-orang itu ada di atas meja. Di sisi lain, Syakieb melukiskan anak-anak yang berada di bawah sedang memperebutkan satu angpau yang terjatuh.
"Di situlah kritik sosial yang ingin saya sampaikan. Di saat perayaan tahun baru Imlek, mash banyak anak yang tidak bisa turut merasakan kebahagiaan seperti yang lainnya," ucap Syakieb.
Pameran Merayakan Kebersaman sama halnya meraya-kan kehidupan. Di situ akan selalu ada dua hal bertolak belakang yang berjalan beriringan