Menengok Kembali Lukisan Pemandangan
Apa yang terbayang kalau mendengar istilah “lukisan pemandangan”? Suasana nyaman, tenang, tenteram, dan kadang nglangut. Gambaran yang tertanam di dalam ingatan itu diaktualkan kembali ketika menatap lukisan pemandangan. Gunung, sawah, hutan, pohonan, burung dan kerbau. Sungai dengan ikan di sela bebatuan. Laut luas dengan perahu layar, dan seterusnya.
Pameran koleksi Bentara Budaya yang bertajuk “Memuja Pulau nan Indah Permai” ini mengungkap gejala seni rupa yang diakrabi oleh masyarakat tersebut. Ungkapan kecintaan akan tanah air. Pada masa penjajahan Belanda, karya-karya seperti ini dikecam oleh pelukis S. Sudjojono sebagai “mooi indie”. Desa-desa yang tenteram seolah tanpa persoalan apapun, dianggap tidak selaras dengan kesadaran kebangsaan yang tengah bangkit. Lukisan pemandangan tidak surut dan terus dibuat sampai hari ini, seiring dengan gugatan tersebut yang juga masih terdengar di sana sini.
Banyak yang menganggap lukisan pemandangan hanya menyalin kenyataan yang kasat mata, meski tidak sepenuhnya tepat. Ada upaya idealisasi di sana, juga romantisasi (yang melahirkan kecaman “mooi indie”). Ikut bermain pula strategi perupaan dan kiat-kiat membuat daya tarik, bahkan kadang sampai pada tahap “lebih indah dari aslinya”.
Beberapa seniman mengeksploitiasi keagungan dan kebesaran alami seperti dilakukan oleh Wahdi dan Ernest Dezentje. Sejumlah pelukis menariknya ke dalam kancah dekoratif (Kartono Yudokusuma, Widayat, Batara Lubis). Tak sedikit yang mencampur kehidupan sehari-hari dengan tampilan visual yang dominan unsur-unsur alami seperti sejumlah lukisan “tradisional” Bali. Sudjojono memberi catatatan kritis tentang keindahan alam Indonesia lewat karyanya “Bukit Gersang”. Semua bolehlah tetap kita pandang sebagai “lukisan pemandangan”. Yakni karya-karya rupa yang berdasar pada kenyataan yang terlihat, kemudian diolah menjadi bagian dari ungkapan personal seturut gagasan dan pengalaman sang seniman. Bagaimana dengan kenyataan yang tak terlihat namun dipakai sebagai bahan ungkap? Katakanlah ini sebagai upaya memotret “dunia dalam”? Coba simak karya Made Toris Mahendra dan Amang Rahman di dalam pameran ini. Baik Anda setuju atau tidak setuju, kami ucapkan “selamat menikmati”.
Efix Mulyadi
Kurator Bentara Budaya