Pertarungan “Terakhir” Bumi Tarung
Pelukis Misbach Tamrin (82) masih mengingat kunjungannya ke Pantai Trisik, Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, sekitar tahun 1963. Saat itu, dia datang bersama seniman-seniman sesama anggota Sanggar Bumi Tarung.
Disana, Misbach dan teman-teman bertemu dengan seorang petani bernama Pak Noyo. Menurut Misbach, Pak Noyo bersama keluarganya telah bersusah payah menimbun area bekas sungai dengan tanah. Lahan itu lalu dimanfaatkannya untuk bercocok tanam.
Akan tetapi, lahan yang digarap Pak Noyo itu kemudian direbut oleh tuan tanah dan penguasa setempat. Alasannya, tanah tersebut diklaim sebagai lahan milik pemerintah. “Dengan menangis, Pak Noyo menceritakan tentang penderitaannya,” ucap Misbach saat ditemui di sela-sela pembukaan pameran seni rupa Dua Petarung di Bentara Budaya Yogyakarta, Rabu (13/12/23) malam.
Kunjungan Misbach dan teman-teman itu merupakan bagian dari kegiatan turun ke bawah (turba) yang kerap dijalankan para seniman anggota Sanggar Bumi Tarung. Berdiri tahun 1961 di Yogyakarta, Sanggar Bumi Tarung merupakan kelompok seni yang berhaluan kiri.
Sesuai dengan ideologi yang mereka yakini, kebanyakan karya pelukis anggota sanggar itu bercorak realis dan berkisah tentang rakyat kecil yang kerap terpinggirkan. Sebelum berkarya, para anggota Sanggar Bumi Tarung kerap melakukan turba untuk melihat secara langsung kondisi masyarakat.
Misbach menuturkan, jumlah anggota Sanggar Bumi Tarung sekitar 30 orang. Beberapa diantaranya kemudian dikenal sebagai maestro seni lukis Indonesia, misalnya Djoko Pekik, Amrus Natalsya, dan Misbach Tamrin.
Secara organisasi, Sanggar Bumi Tarung disebut berkaitan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Oleh karena itu, setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965, anggota-anggota sanggar tersebut ditangkap dan dipenjarakan karena dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Misbach menceritakan, dirinya dipenjara selama 13 tahun di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Sementara itu, Amrus ditahan di Jakarta selama 5 tahun dan Djoko Pekik dipenjara di Yogyakarta selama 7 tahun.
Setelah keluar dari tahanan, sejumlah seniman Sanggar Bumi Tarung terus berkarya. Karya-karya mereka pun telah ditampilkan dalam berbagai pameran di sejumlah kota. Yang terbaru, sejumlah lukisan Amrus dan Misbach ditampilkan dalam pameran Dua Petarung di Bentara Budaya Yogyakarta pada 13-19 Desember 2023.
Dalam pameran itu, Misbach hadir secara langsung. Meski telah berusia senja, ia masih sehat sehingga bisa beraktivitas normal dan terus melukis. Sementara Amrus yang telah berumur 90 tahun tak bisa hadir karena sakit selama beberapa waktu terakhir.
Misbach mengatakan, dirinya sebenarnya berencana menggelar pameran bersama Amrus dan Djoko Pekik. Namun, pada 12 Agustus 2023, Pekik meninggal dalam usia 86 tahun. “Pameran ini rencananya dengan Djoko Pekik juga. Tapi karena dia meninggal, tinggal kami berdua yang melaksanakan,” ujar pelukis yang tinggal di Banjarmasin itu. Setelah Pekik meninggal, Misbach menyebutkan, tinggal empat seniman anggota Sanggar Bumi Tarung yang masih hidup. Selain Amrus dan Misbach, ada Gumelar (80) dan Gultom (83). Keduanya tinggal di Jakarta.
Pertama Kali
Penyelenggaraan pameran Dua Petarung terasa istimewa karena inilah pameran pertama Sanggar Bumi Tarung di Yogyakarta. “Yogyakarta merupakan tempat berdirinya Sanggar Bumi Tarung. Tapi, sayangnya, sebelum ini belum pernah kami pameran secara khusus di Yogyakarta” ungkap Misbach.
Dia menyebutkan, selama ini Sanggar Bumi Tarung lebih banyak menggelar pameran di Jakarta. Tahun 1961, kelompok tersebut menyelenggarakan pameran di Balai Budaya Jakarta. Adapun pada 2008 dan 2011, sanggar itu menggelar pameran di Galeri Nasional, Jakarta.
Pameran Dua Petarung menghadirkan 20 Lukisan, sebanyak 15 lukisan merupakan karya Amrus, sedangkan lima lainnya adalah karya Misbach. Yang menarik, seluruh lukisan Misbach yang ditampilkan merupakan karya baru yang dibuat tahun ini.
Salah satu lukisan Misbach itu berkisah tentang kegiatan turba yang dijalaninya di Pantai Trisik. Diberi judul “Pak Noyo Berkisah di Bawah Purnama Pantai Trisik”, lukisan itu menggambarkan belasan seniman anggota Sanggar Bumi Tarung duduk melingkar api unggun di pinggir pantai. Di hadapan mereka, ada Pak Noyo yang bercerita dengan wajah murung.
Lukisan berukuran 180 cm x 146 cm itu menarik bukan hanya karena aspek sejarah di baliknya, melainkan juga karena suasana yang mencuat dari karya tersebut. Meski ada pantai yang indah dan limpahan cahaya bulan, lukisan itu tetap memancarkan kemurungan, seperti nasib Pak Noyo yang tanahnya dirampas.
Di lukisan lain, Misbach menggambarkan suasana hangat di markas Sanggar Bumi Tarung Dalam lukisan berjudul “Humor Egaliter di Internal SBT” itu, tampak sejumlah anggota sanggar sedang melukis. Sambil merampungkan karya Lukisan Karyanya, para seniman itu terlihat tertawa dan bercanda satu sama lai, menunjukan keakraban mereka sebagai teman.
Lukisan lain karya Misbach adalah “Petarung Sepuh”. Lukisan berukuran 100 cm x 90 cm itu menggambarkan sosok Amrus Natalsya duduk di kursi roda. Amrus tampak tua, rambut dan kumisnya pun telah memutih. Matanya terpejam. Meski begitu, sosok Amrus yang sepuh itu tetap memancarkan aura sebagai seorang petarung yang ditempa kerasnya hidup.
Keharuan
Sementara itu, sebanyak 10 lukisan karya Amrus di pameran ini merupakan bagian seri lukisan bertajuk “Terima Kasih bagi Ilmuwan”. Lukisan-lukisan yang dibuat dalam kurun waktu tahun 2018-2020 itu menjadi bentuk apresiasi Amrus terhadap kiprah ilmuwan lintas zaman dari berbagai bidang.
“Dia (Amrus) merasa berhutang budi kepada para ilmuwan karena dia banyak menggunakan alat-alat teknologi. Dia merasa alat-alat teknologi itu sebagai berkah bagi umat manusia sehingga dia meluangkan kesempatan untuk membuat lukisan-lukisan itu,” ungkap Misbach.
Adapun lima lukisan lain Amrus yang dihadirkan dalam pameran ini merupakan karya yang dibuat tahun 2000 hingga 2015. Salah satu yang menarik adalah lukisan “Panen Kol” yang dibuat tahun 2008.
Lukisan berukuran 15 cm x 125 cm itu menggambarkan seorang petani laki-laki dan seorang petani perempuan yang sedang memanen kol di ladang. Di belakang mereka, tampak mobil bak terbuka dengan banyak keranjang berisi kol. Di pinggir bak mobil itu, ada seekor anjing yang seperti tengah menunggu majikannya.
Meski kol yang dipanen melimpah, ekspresi sang petani perempuan di lukisan itu tampak lesu. Mungkin karena nasibnya sebagai petani tak kunjung membaik meski hasil panen yang dihasilkan lumayan.
Karya ini bisa jadi merupakan salah satu contoh lukisan khas seniman Sanggar Bumi Tarung. Digarap dengan gaya realis, lukisan tersebut menggambarkan dengan gamblang nasib rakyat kecil yang kerap deilanda kemalangan.
Kurator Bentara Budaya Yogyakarta, Sindhunata, mengatakan, pameran Dua Petarung di warnai keharuan. Sebab, banyak seniman anggota Sanggar Bumi Tarung yang telah berpulang. Sementara anggota yang tersisa juga telah berusia senja.
Itulah kenapa, sejumlah pihak menyebut pameran ini akan menjadi pameran terakhir Sanggar Bumi Tarung. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah pameran ini benar-benar menjadi yang pungkasan.