Memekikkan Energi Djoko Pekik
Djoko Pekik telah meninggalkan kita belum lama ini, tepatnya pada 12 Agustus 2023. Namun, energi dari pelukis itu akan terus berdenyut melintasi sejarah hidupnya. Kini, sejumlah seniman "memekikkan" kembali kenangan akan sosok itu dalam satu pameran.
Pekik adalah salah satu ikon dari seniman yang tahan banting. Gonjang-ganjing politik telah menggembleng sosok ini menjadi lebih kuat, bahkan lebih kreatif. Kreativitas itu melahirkan lukisan-lukisan menarik yang akan terus dicatat melintasi zaman.
Pekik lahir di Purwodadi, Jawa Tengah, 2 Januari 1937. Kehidupan masyarakat pada zaman "revolusi" kemerdekaan tidaklah mudah. Sedari muda, dia punya hasrat kuat untuk menekuni "jalan pedang" kesenian. Dia nekat ambil studi seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), Yogyakarta, tahun 1957-1962.
Kreativitas pemuda itu kian terasah saat bergabung dalam Sanggar Bumi Tarung (SBT) bersama sejumlah seniman di Yogyakarta. Mereka antara lain, Amrus Natalsya, Misbach Tamrin, Isa Husada, Adrianus Gumelar, Hardjija Pujanadi, Sudiyono SP, Sabri Djamal, Dj M Gultom, Muryono, dan Sudjatmoko.
Ada 30-an anggota yang getol berkreasi di sanggar itu. Namun, arah politik berubah cepat. Meletus Gerakan 30 September 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dicap sebagai dalang peristiwa itu.
Semua organisasi, termasuk kesenian, yang dianggap terafiliasi dengan partai ini pun diberangus. Kebetulan, sanggar yang didirikan tahun 1961 itu dinilai berafiliasi pada Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi yang dianggap underbow PKI.
"Semua seniman yang terkait Lekra atau PKI kalang kabut. Mereka diburu ke mana pun pergi. Anggota sanggar kocar-kacir," kata Pekik mengenang masa pahit itu saat saya temui di satu pameran Sanggar Bumi Tarung di Galeri Nasional di Jakarta, 19 Juni 2008.
Sempat bersembunyi di Sanggar Pelukis Rakyat di Yogyakarta, Pekik ditangkap dua bulan kemudian. Tanpa proses pengadilan, dia dipenjara di Rumah Tahanan Vredemburg, Yogyakarta. Sejumlah temannya juga mendapat perlakuan serupa. Beberapa anggota sanggar bernasib lebih tragis setelah dikabarkan hilang atau terbunuh.
Sebagai tahanan politik, kebebasan Pekik bersama teman-temannya diberangus. Mereka sulit berkarya seni dan terpisah dari keluarga. Orde Baru menindas mereka sebagai pesakitan lahir dan batin. Tekanan itu bahkan masih membebani mereka sampai jauh setelah bebas dari penjara.
Pekik sendiri menghirup udara segar setelah tujuh tahun mendekam di bui, yakni 1965-1972. Dia bekerja serabutan, salah satunya dengan menjahit pakaian. Namun, dia tetap melukis karena meyakini kegiatan seni sebagai jalan hidupnya. Entah bagaimana, dia kerap melukis celeng (babi hutan). Sebagian kalangan menafsirkan gambar hewan itu sebagai metafora atas kemarahan Pekik terhadap rezim otoriter Orde Baru.
Zaman berubah lagi. Reformasi 1998 meruntuhkan Orde Baru. Terbangun sistem politik yang lebih demokratis. Stigma PKI yang menelikung tahanan politik berangsur mencair. Para seniman bekas narapidana kian bebas berkarya.
Terkait peristiwa Reformasi, Pekik punya cerita menarik. Pekik menggelar pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada 16-17 Agustus 1998. Dia hanya menampilkan satu lukisan, yakni ”Berburu Celeng”. Heboh, lantaran lukisan itu terjual dengan harga selangit, Rp 1 miliar.
Momen itu tentu mendorong pamor Pekik di jagat pasar seni. Seiring kebebasan politik, seniman ini kian leluasa berkarya dan berpameran di sana-sini. Mantan anggota Sanggar Bumi Tarung bahkan sempat berhimpun dan berpameran bersama. Salah satunya, pameran di Galeri Nasional pada 19-29 Juni 2008.
Pekik menjadi salah satu "ikon" pulihnya kehidupan seniman korban politik 1965. Seiring dengan popularitasnya yang melejit, kehidupan Pekik kian sejahtera. Dari hasil menjual lukisan, dia bisa membeli lahan sekitar tiga hektar di sempadan Sungai Bedok di Dusun Sembungan, Kelurahan Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di situ, dia membangun rumah, studio, padepokan, dengan segenap fasilitasnya.
Pada masa tuanya, Pekik menikmati jerih payahnya. Perjalanan hidupnya sungguh mewakili "wolak-waliking zaman". Dari seorang seniman muda yang bersemangat, bergabung dalam sanggar, tiba-tiba diburu, di penjara selama bertahun-tahun, terpuruk, kemudian bangkit kembali, bahkan muncul sebagai "Pelukis Rp 1 miliar".
"Saya gembira bisa hidup merdeka, tinggal di rumah ini, melukis, dan bersenang-senang dengan teman-teman," kata Pekik, ketika saya temui di rumahnya di Dusun Sembungan, pertengahan Agustus 2008.
Dengan kemerdekaannya, Pekik terus berkesenian. Dia juga rajin mengunjungi pameran seni, terutama di Yogyakarta, bergaul bersama teman-temannya. Saya berjumpa dengan seniman ini saat pembukaan pameran bertajuk "Kita Berteman Sudah Lama: Ekspresi 100 Seniman dan Perupa Yogyakarta Mengenang 25 Tahun Reformasi" di Bentara Budaya Yogyakarta. Dia hadiri sambil duduk di atas kursi roda. Wajahnya semringah.
Kemudian, pada Sabtu, 12 Agustus 2023, sekitar pukul 08.00, kabar duka mengagetkan kita semua. Pekik berpulang pada usia 86 tahun di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta. Jenazah disemayamkan di rumah duka di Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.
Banyak seniman berdatangan di rumah duka untuk melayat, memanjatkan doa, menunjukkan hormat. Sebagian kemudian melukis bersama "on the spot". Karya-karya itu kemudian dihimpun dan dipamerkan dengan tajuk "Nguntapke Djoko Pekik" di Bentara Budaya Yogyakarta, 22-28 November 2023. Ada sekitar 100 seniman yang turut serta dalam pameran yang sekaligus menjadi simbol peringatan 100 hari atas berpulangnya Pekik.
Terima kasih untuk semua seniman yang ambil bagian dalam program ini, kru Bentara Budaya yang menyiapkan pekerjaan-pekerjaan teknis pameran, serta berbagai pihak yang turut menyokong program ini. Dengan mengingat spirit Djoko Pekik, semoga kita semua semakin bersemangat untuk lebih "tahan banting" menghadapi perubahan zaman demi memajukan kebudayaan Indonesia.
Palmerah, 22 November 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia