Membayangkan Indonesia yang Lebih Baik
Ketika seniman diajak mengimajinasikan masa depan Indonesia yang lebih baik, ada dua hal yang bisa terjadi. Imajinasi itu akan menjadi titian dalam menjejakkan langkah bersama, atau utopia karena tak rasional hingga terjadilah bias-bias optimisme.
Kedua hal ini menjadi tawaran nilai dari sebuah catatan kuratorial Pameran Seni Rupa Indonesian Dream di Galeri Astra, Jakarta. Pameran diikuti 27 seniman, dibuka pada Kamis (2/11/2023) dan berlangsung hingga 6 November 2023. Kegiatan ini hasil kerja sama Galeri Astra dan Bentara Budaya.
Catatan kuratorial disampaikan Ilham Khoiri dan Hilmi Faiq. Keduanya, kurator Bentara Budaya. Ilham menyampaikan dengan judul, Menjaga Mimpi Indonesia. Ia menyampaikan, keberagaman seniman beserta karyanya menegaskan setiap orang memiliki imajinasi tentang mimpi Indonesia. Meski demikian, tetap terasa adanya harapan bahwa bangsa ini berjalan di jalur yang benar menuju kemajuan.
Ilham mengutip pernyataan peneliti sejarah dan politik Amerika Serikat, Benedict Anderson, dalam bukunya yang berjudul Imagined Comunities (1983). Pada dasarnya, konsep sebuah bangsa dapat lahir dari rumusan hasil imajinasi atau bayangan sosial oleh sekelompok orang dalam satu komunitas. Bayangan itu kian kuat ketika setiap anggota kelompok kemudian mengingatkan dirinya sebagai bagian dari komunitas itu. Masalah apapun yang menerpa bakal dapat diatasi jika anggota kelompok mampu berkomitmen untuk tetap berada di dalam, memegang, dan bekerja sama untuk mempertahankan imajinasi tentang bangsa.
Kurator Hilmi Faiq menyampaikan catatan yang diberi judul, ”Bias-bias Optimisme.” Menurut Hilmi, seniman dengan karya-karyanya melihat optimisme ada kalanya berlebihan atau tidak rasional, tidak sesuai dengan keadaan senyatanya. Ia mengutip pandangan ilmuwan Tali Sharot tentang bias-bias optimisme tersebut. “Kita perlu mewaspadai gejala bias optimisme tersebut,” ujar Hilmi.
Bias optimisme merupakan kecenderungan melihat masa depan secara lebih positif daripada yang sebenarnya. Bahayanya, bias optimisme membuat seseorang cenderung meremehkan risiko dan melebihkan harapan positif mereka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk misalnya dalam memilih pemimpin.
”Optimisme adalah sebuah modal yang masih berada di ruang utopia. Untuk menjadikannya menjadi nyata, butuh kerja-kerja sistemik dan strategis,” kata Hilmi.
Neuron
Seniman Krishnaeta lewat karya seni video berjudul ”Processor Neurons” ingin mengingatkan kondisi semua manusia itu sama. Susunan neuron atau sistem saraf yang bekerja memiliki kesamaan. Di dalam videonya, Krishnaeta mengilustrasikan jejaring neuron tersebut.
”Ada 100 miliar lebih neuron di otak kita, sama dengan yang dimiliki orang-orang di belahan bumi mana pun. Kita perlu mematahkan stigma inferioritas atas anggapan manusia Indonesia yang lebih lemah ketika dibandingkan orang-orang dari negara maju,” kata Krishnaeta.
Kondisi dan mimpi bisa sama. Pada kenyataannya, kemajuan yang diraih suatu bangsa itu berbeda-beda. Ada hal yang diingat Krishnaeta dari BJ Habibie bahwa semua itu tergantung dari kebiasaan dan perilaku orangnya. Percuma saja dengan pengetahuan yang cukup, tetapi orang tersebut dihinggapi kemalasan.
Sementara Kana Fuddy Prakoso menampilkan karya seni instalasi rumah kardus yang diberi judul ”Simbol Kebersamaan” (2023). Kana membangun rumah kardus yang mengilustrasikan kenangan masa kecilnya terhadap rumah tradisional di Kudus. ”Sewaktu kecil, saya suka sekali memainkan pintu geser rumah kudus seperti ini,” ujar Kana sambil menunjukkan pintu geser yang dibuatnya di rumah kardus tersebut.
Kana menyebut karya itu sebagai simbol kebersamaan. Di kota kelahirannya, Kudus, Jawa Tengah, rumah-rumah tradisional seperti itu biasa menampung lebih dari satu keluarga. Ada harmoni dan keselarasan hidup yang diawali dari tengah-tengah keluarga.
Karya Kun Adnyana lebih melebarkan lagi wacana itu. Kun menampilkan lukisan berjudul ”Winged Soldier II”, lukisan yang menggambarkan sosok-sosok lelaki tentara yang bersayap. Kun memimpikan tentara yang kuat, tegas, tetapi hatinya selembut malaikat.
Kun melihat adanya pemahaman seni yang parsial atau terpisah dengan sistem kebudayaan lainnya. Ini yang perlu dikikis. Seperti kekuatan militer tak bisa dipisahkan dengan seni budaya yang lebih mengutamakan perdamaian dan harmoni. Kun berharap, tentara bersayap seperti malaikat yang lembut hati bukanlah utopia belaka.
Lebih Kuat
Seniman I Nyoman ”Poleng” Rediasa asal Bali menampilkan lukisan yang diberi judul ”Sisa-sisa Pembangunan” (2023). Ia melukis pepohonan besar tumbang dan menjadi arang. Di belakangnya tampak samar lukisan istana baru untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, terinspirasi burung garuda yang dirancang Nyoman Nuarta.
Ada tantangan yang teramat berat ketika diumumkan wilayah IKN Nusantara didesain menyesuaikan kondisi alam dan memiliki lebih dari 75 persen sebagai kawasan hijau. Semua rumah penduduknya juga di rancang ramah lingkungan dan semuanya memiliki ruang terbuka hijau.
IKN Nusantara, bagi Rediasa, bukanlah utopia. Ia berharap lukisannya mengingatkan di masa mendatang pemerintahan bisa lebih kuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip kebaikannya di IKN.
”Tidak mudah untuk mempertahankan ruang terbuka hijau karena dengan berkembangnya IKN di situ akan memicu pertumbuhan industri dan perumahan yang bisa mengganggu ekosistem,” kata Rediasa.
Rahayu Retnaningrum dengan karya lukisan Peripatetic mengingatkan situasi tak terkendali untuk sebuah wilayah ibu kota negara. Rahayu lahir dan besar di Jakarta. Melalui karyanya itu, ia menyampaikan ingatannya yang terusik oleh perlombaan gedung di Jakarta dan menunjukkan ego manusia yang kian berjejal. Ruang gerak makin sempit.
Imajinasi para seniman peserta tertuang di dalam pameran Indonesian Dream menghadirkan refleksi bersama. Kita berharap imajinasi tentang kebaikan masa depan Indonesia menjadi titian Langkah bersama dan tidak menjebak menjadi bias-bias optimisme.
5 November 2023
Nawa Tunggal