Kisah Giling Wesi Dan Hasrat Berkuasa
Prabu Watugunung yang berkuasa di Kerajaan Giling Wesi punya kekuasaan dan kesaktian luar biasa. Ia mendapatkan itu dengan tekad besar menuntut ilmu jaya kawijayan, bertapa tanpa henti. Sanghyang Jagatnata mengabulkan tujuan dia bertapa, menganugerahkan kesaktian yang tak terkalahkan. Prabu Watugunung menjadi takabur dan lupa diri. Menjadi sombong dan melawan siapa saja yang berani menentang keinginannya. Prabu Watugunung tanpa sadar menikahi Dewi Sinta yang tak lain adalah ibunya sendiri. Dewi Sinta melahirkan 27 anak laki-laki. Dosa besar itu membuat para dewa menjatuhkan malapetaka pada Kerajaan Gilingwesi: wabah dan bencana alam.
Pada sebuah kesempatan Dewi Sinta menanyakan apa penyebab kepala Prabu Watugunung cacat. Dari penjelasan itu Dewi Sinta mengetahui Prabu Watugunung sebenarnya adalah anaknya. Dewi Sinta menjadi sangat malu dan menangis meratapi nasibnya. Akhirnya dia menemukan cara mengakhiri aib tersebut. Ia meminta Prabu Watugunung menikahi bidadari dari kayangan. Dia menyadari bahwa sesakti apa pun manusia tidak akan mampu melawan para dewa.
Prabu Watugunung menuruti keinginan Dewi Sinta, naik ke Suralaya beserta bala tentaranya untuk meminang bidadari menjadi madu Dewi Sinta. Prabu Watugunung kalah karena tipu muslihat para dewa yang mengetahui titik kelemahannya.
Tubuhnya tercabik-cabik tak berbentuk. Itulah mengapa pujangga zaman dahulu memakai nama Giling Wesi untuk kerajaan yang dikuasai Prabu Watugunung. Itu sebagai peringatan kepada manusia bahwa sesakti atau sepandai apa pun janganlah sombong, apalagi melawan para dewa.
Manusia hanyalah titah sewantah, janganlah melampui batas. Jika berani melawan dewa, sudah pasti dewa tak akan memberi ampun dan menjatuhkan hukuman dengan Giling wesi, melindas tubuhnya dengan besi sehingga hancur seperti nasib Prabu Watugunung
Kisah Prabu Watugunung adalah wujud akulturasi manusia Jawa yang berbakat membuat atau menciptakan sesuatu yang baru dengan mengabungkan dua atau tiga unsur menjadi sesuatu yang baru sehingga selalu muncul karya-karya baru dari masa ke masa.
Di Jawa, karya itu antara lain diekspresikan dalam bentuk wayang. Sejarah wayang Jawa dikenal merujuk tradisi India, terutama epos Mahabharata dan Ramayana, namun sebenarnya cerita wayang juga berakulturasi dalam kebudayaan Jawa.
Salah satu bentuk pembauran itu adalah cerita Prabu Watugunung dalam Kitab Pawukon
Jawa. Kisah Kerajaan Giling Wesi dan Prabu Watugunung memang tak sepopuler Mahabharata dan Ramayana. Walakin, kisah Prabu Watugunung juga menggambarkan cerita kehidupan dengan segenap kompleksitasnya.
Ada karakter yang mirip perilaku manusia, tentang kekuasaan yang yang lazim dikenal memabukkan, atau tentang cinta yang buta, dan tentang kehendak berkuasa tanpa batas. Semua diungkapkan dalam narasi yang asyik. Terlebih, Kitab Pawukon Jawa terkait dengan perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran seseorang.
Kini ketika Indonesia memasuki tahun politik menjelang Pemilihan Umum 2024, kisah Prabu Watugunung menemukan relevansi sebagai bahan berefleksi. Perilaku menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan sebenarnya mirip perilaku Prabu Watugunung. Ujung akhirnya adalah kehancuran dan kehinaan.
Kisah akulturasi Jawa itu digali dan dikembangkan oleh pelukis Subandi Giyanto menjadi karya seni rupa. Seniman ini sejak muda menggeluti dunia perwayangan kemudian mendalami seni modern di Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta, kini menjadi Universitas Negeri Yogyakarta.
Subandi mengangkat cerita wayang yang berpusat di Kerajaan Giling Wesi itu dengan pendekatan klasik sekaligus modern. Ia menggambarkan cerita itu dengan pendekatan wayang beber, cerita wayang dalam lembaran kertas atau kain, dengan pakem-pakem yang lazim dikenal di dunia pewayangan.
Subandi juga menggunakan pendekatan model wayang purwa. Bentuk lukisan modern di kanvas menjadikan ekspresi Subandi lebih bebas. Keragaman pendekatan visual atas cerita wayang bertokoh Prabu Watugunung itu ditampilkan dalam pameran seni rupa bertema Giling Wesi di Bentara Budaya Yogyakarta pada 3-9 November 2023.
Subandi Giyanto lahir di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 22 Juni 1958. Sejak berumur tujuh tahun belajar menatah dan menyungging wayang kulit gaya Yogyakarta. Ia lulus dari Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta kemudian berlanjut di Pendidikan Seni Rupa IKIP Yogyakarta.
Setelah lulus sarjana Subandi menjadi guru kesenian di berbagai sekolah di Yogyakarta. la berstatus pegawai negeri sipil tanpa berhenti melukis wayang kulit dan mural. Ia menerima sejumlah penghargaan bidang seni budaya. Beberapa pameran pernah dia ikuti.
Kurator Bentara Budaya Yogyakarta, Hermanu, menjelaskan dalam dunia pewayangan ada nama beberapa tokoh dan tempat yang terdengar asing di telinga para pencinta wayang epos Mahabharata dan Ramayana versi India.
Watugunung, Landhep, Gumbreg, Langkir, Tolu, Warigalit, Pahang, dan banyak nama lain lagi adalah nama para tokoh dalam cerita wayang versi Jawa kuno tertera dalam Kitab Pawukon Jawa.
Semua cerita yang menyangkut nama-nama tersebut sangat erat hubungannya dengan Kerajaan Giling Wesi, tempat cerita tersebut terjadi. Menurut Philip Van Akkeren, seorang peneliti dari Belanda, pada abad ke-10 di Jawa ditemukan prasasti dengan huruf Jawa kuno yang menerangkan penggunaan pranata mangsa Jawa yang berdampingan dengan kalender India. Ini bukti akulturasi.
Subandi adalah pelukis yang berangkat dari seni tradisi kemudian bertranformasi menjadi pelukis modern. Ia menerapkan cara-cara yang mirip akulturasi budaya dalam berkarya. Subandi membuat lukisan pawukon menurut gayanya sendiri dengan menggabungkan gambar pawukon gaya Yogyakarta dengan gambar Paringkelan atau Taliwangke sehingga menjadi lukisan pawukon gaya Subandi.
Tak Mengkhianati Wayang
Dalam pameran di Bentara Budaya Yogyakarta pada 3-9 November 2023, Subandi juga memamerkan lukisan pawukon dengan gaya wayang beber. Subandi mengubah figur wuku dan para dewa menjadi figure wayang beber.
Dalam wayang-wayang lukisan Subandi itu tampak jelas sepasang mata setiap figur berbeda dengan figur wayang purwa. Tokoh-tokoh wayang purwa jamak hanya memiliki satu mata. Dia melukis tentang pawukon dengan memadukan figure sapi, kuda dan binatang lain sehingga menjadi lukisan pawukon yang unik.
Sastrawan sekaligus curator Bentara Budaya Yogyakarta, Sindhunata, dalam booklet pameran Giling Wesi menjelaskan pawukon adalah perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran seseorang. Dengan perhitungan itu diketahui watak orang yang bersangkutan.
Pawukon juga untuk mengetahui mana hari yang baik atau yang sial agar orang mempunyai pegangan untuk menjauhi marabahaya yang mungkin akan datang dalam mengancam dirinya. Waktu sering terasa tidak netral. Dalam waktu terasa ada kekuatan, entah baik entah jahat.
Pawukon membantu manusia mempelajari kekuatan-kekuatan itu dan membeda-bedakannya. Karena itulah, pawukon selalu melekat dalam terbitan almanac Jawa. Pawukon selalui disertai gambar-gambar yang bermotif wayang.
Apanila pawukon itu dijadikan karya seni rupa, perupa yang bisa melukiskannya dengan tepat adalah perupa yang mempunyai latar belakang wayang. Subandi adalah perupa yang tepat untuk itu. Ia terus mengembangkan kreasi berhadapan dengan warisan pawukon yang bermotif wayang itu.
Ia kelihatan tertantang mengembangkan dan menafsirkan rupa pawukon sesuai dengan kreasinya. Di kanvas SUbandi menampakkan pawukon menjadi lebih hidup. Ada sentuhan-sentuhan baru dalam karya-karya seni rupa berbasis pawukon. Wayang telah menjadi kehidupan Subandi.
“Tak mungkin saya meninggalkan wayang. Semua hal dalam hidup saya datang dari wayang. Sekolah dari wayang, pakaian dari wayang, makan dari wayang. Saya tak akan menghianati wayang.” Kata Subandi. Pameran seni rupa bertema Giling Wesi adalah gambaran proses kehidupan Subandi bersama wayang