"Titimangsa;" Perjumpaan Masa Lalu, Kini, dan Masa Depan
"Titimangsa" dapat diartikan sebagai waktu atau masa. Istilah ini kerap digunakan untuk menandai waktu penulisan suatu catatan (naskah).
Dalam budaya Jawa, "titimangsa" sering diasosiasikan dengan momen yang ditandai oleh peristiwa tertentu. Artinya, waktu tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari peristiwa yang berlangsung pada momen itu. Coba kita cermati lebih dalam pengertian waktu dalam kehidupan manusia.
Dalam konteks ini, kita bisa merujuk gagasan menarik dari filsuf Perancis Henri Bergson (1859-1941). Pemikir ini membedakan "time" sebagai "tempo" dan sebagai "duration." Meski bermula dari satu kesadaran tentang masa, kedua istilah itu memiliki cara pemahaman yang berbeda.
Sebagai "tempo", waktu adalah masa yang terukur dalam batasan tertentu yang telah disepakati bersama, seumpama detik, menit, jam, hari, pekan, bulan, atau tahun. Dalam ukuran semacam itu, waktu menjadi rigid, bisa dipenggal-penggal, dan dihitung secara kuantitatif. Namun, waktu semacam ini terkesan menjadi statis.
Sebaliknya, sebagai "duration" (durasi) atau "la durée" dalam bahasa Prancis, waktu menjadi lebih relatif. Di sini, waktu dimaknai sebagai pengalaman kualitatif atau intensivitas manusia dalam merasakan dzat waktu. Momen sebentar bisa bermakna mendalam, jika berisi peristiwa penting yang sangat berpengaruh dalam kehidupan kita.
Dalam durasi, waktu terasa berkelanjutan. Ambil contoh, saat menikmati musik, maka kita tak merasakan pengalaman yang terpotong dari satu nada ke nada berikutnya. Musik ditangkap sebagai serangkaian bebunyian yang membentuk struktur utuh yang terdiri dari nada yang berkesinambungan dari awal sampai akhir.
Pendekatan Bergson dalam memaknai waktu sebagai durasi juga dapat kita terapkan dalam memahami "titimangsa" sebagai momen peristiwa dalam budaya Jawa. Peristiwa tidak kita lihat sebagai partikel terpisah yang berdiri sendiri, soliter, tetapi sebagai salah satu komponen yang berkesinambungan atau berangkaian dari masa lalu ke masa sekarang dan berlanjut ke masa depan.
Ambil contoh, kebudayaan Indonesia masa kini. Kebudayaan ini bukanlah perwujudan peradaban manusia di Tanah Air yang muncul tiba-tiba dalam bentuk yang solid sekarang. Kebudayaan masa kini sejatinya adalah wujud sementara hasil bentukan dari masa lalu. Wujud ini dinamis dan memengaruhi, bahkan membentuk kebudayaan masa depan.
Titimangsa kebudayaan Nusantara saat ini pada dasarnya adalah adonan yang terus menjadi ("in the making"). Suatu proses yang terus berkembang. Ada tegangan, dialog, sintesa, atau persentuhan dari berbagai anasir yang bergumul dan saling memengaruhi satu sama lain.
Tengok saja kehidupan kita hari-hari ini di Indonesia. Kita masih menemukan artefak klasik dari masa lalu, katakanlah seperti candi, wayang, atau lukisan gua peninggalan manusia purba dari masa pra sejarah. Dalam bentuk nilai, masih banyak tradisi yang berdenyut hidup dalam masyarakat agraris di pedesaan.
Saat bersamaan, kita juga menjumpai keseharian modern sebagaimana berlangsung dalam kehidupan global. Kehidupan kita terhubung dalam jaringan teknologi informasi yang masif, interaktif, dan lintas ruang-waktu. Batas antara dunia maya dan nyata kian kabur, "blur."
Disrupsi digital berbasis teknologi informasi 4.0 ini kemudian bakal mengantar kita para revolusi 5.0 yang lebih "gila" lagi. Manusia kian merasuki jagat metaverse dengan segenap kompleksitas dan fitur-fiturnya, seperti teknologi robotik, artificial intelligence (AI), internet off things (IOT). Tak lama lagi, kecanggihan revolusi teknologi baru niscaya mendorong kita kian jauh menjelajahi berbagai kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya.
Fenomena kompleksitas waktu semacam itu coba ditafsirkan secara visual oleh tujuh perupa yang tinggal di Jabodetabek. Mereka adalah Ernawan Prianggodo, Feriendas, Ireng Halimun, M Hady Santoso, M Solech, Novandi, Yusuf Dwiyono. Mengusung tajuk pameran "Titimangsa", mereka menawarkan pendekatan unik dalam memaknai waktu.
Kelompok Tujuh Rupa, begitu nama resminya, menggelar karya mereka di Bentara Budaya Jakarta, 9-16 November 2023. Meski bergabung dalam satu kelompok, masing-masing seniman memiliki tafsir visual yang berbeda soal waktu. Kekhasan tiap seniman memperkaya gagasan dan eksekusi visual pameran ini.
Ernawan Prianggodo senang mengulik figur yang melayang dalam dunia fantasi. Feriendas menggambarkan bayi yang blusukan ke dunia metaverse. Ireng Halimun dan Novandi tertarik dengan image-image terkait robotik.
M Hady Santoso menghadapkan kesederhanaan fragmen lukisan gua masa lalu dengan kompleksitas otak manusia masa depan. M Solech menampilkan bayi-bayi dalam kehidupan urban yang sudah menjadi "native gadgets" sejak lahir. Yusuf Dwiyono menelusuri peninggalan arkhaik (candi) dalam "landscape" surrealis.
Selamat untuk ketujuh perupa yang akhirnya dapat mewujudkan pameran bersama. Semoga mereka terus bersemangat berkreasi seni. Terima kasih untuk Mas Efix Mulyadi yang mengawal rencana program ini sejak lama dan membuat catatan kuratorial. Penghargaan pada seluruh kru Bentara dan semua pihak yang menyokong kegiatan ini.
Palmerah, 8 November 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia