Subandi, Pawukon dan Wayang
Waktu adalah hal yang sangat menentukan bagi hidup kita. Di mana-mana kita mengalami waktu. Di mana-mana kita berada dalam waktu, dan ditentukan oleh waktu. Waktu pula yang menjadikan sejarah dan riwayat hidup kita. Kita akan terhindar dari waktu, hanya kelak ketika kita sudah berpulang untuk selamanya ke hadirat-Nya.
Waktu tidak bisa kita kuasai. Tapi karena terus mengalami hidup dalam waktu, kita pun lama-lama belajar untuk mengetahui apa isi waktu. Dari pengalaman, kita, manusia ini, tahu, waktu ternyata juga mempunyai struktur dan watak tertentu. Itulah sebabnya, kita bisa membagi waktu ke dalam musim-musimnya.
Memang kita tidak dapat menentukan waktu. Tapi waktu memberikan dirinya untuk kita pelajari dan kita ketahui. Sehingga kita bisa tahu, apa yang harus kita kerjakan dalam setiap periode waktu. Itulah yang dikerjakan dengan bijaksana oleh leluhur Jawa dengan pengetahuan Pawukonnya.
Pawukon adalah perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran seseorang. Dengan perhitungan itu diketahui bagaimana watak orang yang bersangkutan. Juga untuk mengetahui manakah hari yang baik atau sial, agar orang mempunyai pegangan untuk menjauhi mara bahaya yang mungkin akan datang mengancam dirinya. Memang waktu sering terasa tidak netral. Dalam waktu terasa ada kekuatan, entah baik entah jahat. Pawukon membantu kita untuk mempelajari kekuatan-kekuatan itu dan membeda-bedakannya. Karena itu Pawukon ini selalu melekat dalam terbitan almanak Jawa.
Secara tradisional, Pawukon selalu disertai dengan gambar-gambar yang bermotif wayang. Bila pawukon itu dijadikan karya rupa, kiranya perupa yang bisa melukiskannya dengan tepat adalah perupa yang mempunyai latar belakang wayang. Dalam hal ini Subandi Gianto adalah perupa yang tepat untuk itu.
Memang Subandi adalah perupa yang kuat berakar pada tradisi Jawa, khususnya seni rupa wayang. Tak heran ia bisa menghidupi dan menghidupkan Pawukon dalam kanvasnya. Dalam pamerannya di Bentara Budaya Yogyakarta kali ini tampak, ia mencoba untuk terus mengembangkan kreasinya berhadapan dengan warisan Pawukon yang bermotifkan wayang itu. Ia kelihatan tertantang untuk mengembangkan dan menafsirkan rupa Pawukon sesuai dengan kreasinya. Di kanvasnya tampak Pawukon jadi lebih hidup. Ada sentuhan-sentuhan baru dalam karya-karya Pawukonnya ini.
Kita akan bisa menikmati karyanya, bila kita boleh menengok kembali, siapakah Subandi dalam kaitannya dengan seni rupa wayang ini. Subandi dikenal sebagai perupa yang selalu berusaha untuk nunggak semi dalam mengembangkan seni rupa wayangnya.
Kebudayaan yang baik, indah dan luhur pastilah kebudayaan yang nunggak semi. Nunggak semi macam itulah yang bukan hanya diyakini, tapi juga dijalankan oleh Subandi. Subandi adalah seniman modern yang setia pada wayang. Sejak kecil, ia sudah bergulat dengan wayang. Semasa dewasa, ketika ia sudah mencecap pengetahuan seni modern, ia tetap mengembangkan seninya bersama dengan wayang.
Dan wayang bukan hanya keseniaannya tapi juga menjadi wahana, di mana ia dan keluarganya menggantungkan hidup dan nafkahnya. Pada hidup dan seni Subandi, wayang itu terus menerus me-nunggaksemi. Kali ini tunggak-semi lukisannya itu dapat kita lihat dalam karya-karya Pawukonnya.
Orang tahu, wayang telah menempa hidup Subandi. Sejak kelas I SD, ia sudah belajar menatah wayang. Ayahnya, Gianto Wiguno, adalah pengrajin wayang kulit. Ia mengajari Subandi menggarap wayang, tahap demi tahap. Subandi harus puas menggarap dan menguasai satu jenis ornamen sampai tuntas. Baru kemudian, melangkah ke penggarapan ornamen lainnya. Detail ornamen itu sangat pernik dan rumit. Kalau tidak sabar pada sebuah detail, dia akan gagal menggarap detail lainnya.
Dengan cara ini, Subandi menyadari, sebuah figur wayang ternyata terdiri dari bagian-bagian yang harus digarap dengan sangat teliti. Tahap per tahap proses yang menuntut kesabaran ini adalah dasar bagi Subandi untuk mengembangkan keseniannya kelak. Ia menjadi sangat mahir menggarap keseniannya karena kesabaran akan tahap dan detail-detail itu.
Wayang memang telah menempa Subandi dengan keras. Dan kerasnya tempaan itu menjadi semakin keras, karena terjadinya juga di tempat dan situasi yang keras. Keluarga Subandi hidup dalam kemiskinan dan kekurangan. Pondoknya di desa Gendeng, Banguntapan, Bantul sangat sederhana, beratap rumbai tebu, dan hanya berukuran 3 x 7 m2. Di rumah itu tinggal ayah, ibu dan ke enam saudaranya.
Subandi bercerita, pernah sepulang dari sekolah, ia tak mendapatkan nasi di rumahnya. Bersama saudaranya, ia pergi ke ladang, mencari klenci, kentang hitam. Didapatnya setenggok klenci, dan dibawanya pulang. Setelah direbus, hanya klenci itulah yang menjadi isi perutnya. Kejadian demikian tidak hanya terjadi sekali dua kali. Lapar dan kurang makan sudah menjadi bagian hidup Subandi.
Sambil menempuh sekolahnya di SD Kasihan, Subandi terus membantu ayahnya mencari nafkah dengan menjualkan wayangnya. Ia menawarkan wayang ke agen-agen, antara lain ke pengepul wayang, Mulyo Suharjo di Taman Sari. Tidak hanya sekarang, pada waktu itupun menjual wayang bukan perkara mudah. Lebih sering ditolak, daripada dibeli. Kalau pun dibeli, sering diutang terlebih dulu. Padahal begitu diutang, pembayarannya belum tentu terjadi dengan cepat. Hanya untuk mendengar, apakah akan dibeli atau diutang itupun, Subandi sering harus menunggu lama.
Pagi-pagi datang, orang yang diharapkan membeli masih tidur. Begitu berjumpa, wayang tidak juga dibeli. Paling-paling Subandi lalu diberi sesuap nasi. Menyedihkan, tapi lumayan juga ketika perut sedang lapar. Subandi bercerita, pada waktu itu celana yang pantas saja ia tidak punya. Yang dikenakannya hanyalah celana kolor anak desa. Ketika Pak Mulyo Suharjo memberi dia uang 25 ribu rupiah, barulah ia bisa membeli katbruk (korte broek – celana pendek) berwarna biru. Itulah pertama kali ia merasa bisa mengenakan celana yang sepantasnya.
Kepahitan dan kekurangan itu tak hanya menempa diri Subandi, tapi juga menanamkan cita-cita tertentu. Semasa sekolah ia sudah bertekad, besok ia harus mempunyai penghasilan yang pasti, agar ia bisa aman dalam menjalankan hidup seninya. Maka Subandi terpaksa tidak mau menuruti permintaan ayahnya, yang melarang dia sekolah dan meminta dia bekerja di rumah saja.
Subandi lalu masuk ke SMSR. Ia mengambil jurusan ukir kayu. Itu pun sudah diperhitungkan dengan kalkulasi ekonomisnya: kelihatannya ukiran kayu bisa lebih menjanjikan daripada karya seni lainnya. Selesai kelas IV SMSR, Subandi tidak memilih jalur akademis tapi vocational. Pada hematnya, dengan mengambil jurusan itu, ia nanti bisa langsung menjadi guru.
Keinginannya terkabul. Umur 21 tahun, Subandi menjadi guru di SMP 1 Yogyakarta. Sementara ia juga meneruskan pendidikannya, kuliah di IKIP Yogyakarta jurusan seni rupa. Ia juga terus nyambi-nyambi, dengan menjadi instruktur batik dan ukir kayu. Tentu saja, ia juga terus menawarkan wayangnya. Sering sambil berangkat kuliah, ia membawa wayangnya ke Prapto Sutedjo, juragan wayang di Ngadinegaran. Lumayan, ia bisa mendapat tambahan sangu.
Setelah lulus IKIP, ia diterima menjadi guru di SMKN V, Yogyakarta. Di sana, ia mendapat penghasilan tetap, sehingga ia bisa dengan tenang mengerjakan karya seninya. “Dari pengalaman-pengalaman yang berat dan keras itu saya belajar, orang hidup janganlah menunggu miskin, baru berusaha. Dalam keadaan kekurangan pun, kita harus berusaha untuk mengubah keadaan kita,” kata Subandi mengenang perjuangannya di masa lalu.
Wayang telah menjadi hidup Subandi. Bersama wayang, ia menjalani hidupnya yang berat, berkekurangan dan mungkin menderita. Namun dari wayang pula, ia memperoleh nafkah, pengetahuan, hiburan, dan ketrampilannya. Wayang jugalah yang mendorong dia untuk terus menggeluti hidup seni secara kreatif, hingga ia merasakan kepuasan karena penemuan-penemuan barunya. Maka wayang juga yang menjadi alasan, ia harus mensyukuri hidupnya, dalam suka maupun dukanya.
“Tak mungkin saya meninggalkan wayang. Boleh dibilang, semua hal dalam hidup saya datangnya dari wayang. Sekolah dari wayang, pakaian dari wayang, makan dari wayang. Tak akan saya mengkhianati wayang,” kata Subandi. Keteguhan akan wayang inilah sesungguhnya yang membuat hidup Subandi jadi nunggak semi. Artinya, pada wayang, dia menemukan tonggak dan akar hidupnya. Dari tunggak wayang itu juga ia memperoleh nafkah dan rejeki, hingga hidupnya berjalan dengan cukup. Dan berdasarkan wayang ini, ia terus membuat semi kreatif seninya.
Sebagai seniman modern, Subandi bisa dibilang beruntung karena tunggak atau akar wayangnya itu. Seni modern yang diperoleh karena pendidikannya jadi tidak mengambang, tapi mempunyai akar kuat dalam tradisi wayangnya. Sementara seni wayangnya bisa berkembang karena pengetahuan dan imaginasi seni modernnya. Itulah juga tunggak semi yang dialami Subandi secara nyata dalam perjalanan hidup dan seninya.
Subandi benar-benar mewarisi cara berkesenian seniman tradisional. Kata, “Saya tidak bertolak dari konsep. Dalam berkarya, saya mengalir saja. Dan berusaha sedapat mungkin untuk menghasilkan yang indah. Sering saya tidak tahu, nanti karya saya mau jadi apa. Dengan mengalir saja, saya sering terkejut, ternyata ada kebaruan yang bisa saya hasilkan.”
Disiplin tradisi menuntut dia berkarya tanpa menunggu sedang in atau tidak, sedang mau atau malas. Dalam situasi apa pun ia harus berkarya, apalagi saat didesak tuntutan nafkah. “Yang penting saya menggambar. Saya yakin, ilmu yang saya peroleh sudah cukup untuk berkesenian. Biarlah itu mengalir dalam kerja saya. Kombinasi kebiasaan, keberanian dan ilmu itu pasti akan menghasilkan karya, yang tidak dapat saya duga,” tambah Subandi.
Tentu Subandi pernah dilanda kejenuhan dan kebosanan karena rutinitas kerjanya. Ia tidak menyerah. Justru ketika sudah jenuh, ia mencari kemungkinan baru, wilayah baru dan ide baru dalam keseniannya. Inilah yang membuat ia menjelajahkan wayang, mulai dari media kulit, berlanjut ke kaca dan kanvas. Wayang tradisional, wayang beber, wayang kaca, dan wayang modern di atas kanvas, semua pernah dijelajahi dan dicobanya. Subandi sungguh seorang perupa wayang dalam pelbagai kemungkinannya.
Menata dan menyungging wayang adalah pekerjaan dan keahlian Subandi sejak masa kecilnya. Menggarap figur-figur wayang dengan bahan kulit kerbau sudah seperti hafalan baginya. Ia menguasai sekali ornamen-ornamen tatahan seperti bubukkan, semut dulur, ema-emasan, inten-intenan kawatan, langgatan, kembang ceplik, patran, rumpilan, kembang cengkeh, rambut gimbalan. Demikian juga ia sangat trampil menyunggingkan motif-motif seperti kelopan, swautan, tlacapan, kembangan, bludiran, cawen drenjeman, alesan, banyu mangsi, ngulat-ulati dan ngedus. Dalam menata dan menyungging, Subandi sangat sabar dan teliti. Tak heran, wayangnya banyak digemari orang, karena dikenal halus dan detail.
Menjelang masa pensiunannya, Subandi dicekam pertanyaan, apa yang harus ia buat dalam hidup dan seninya? Meski ia percaya waktu berada di tangan Tuhan, ia merasa, waktu yang ia punya sudah tidak terlalu banyak lagi. Maka tiba-tiba ia berpikir, ia harus berlari secepat kuda. Bukan mau ngoyo, tapi mau menggunakan waktu yang ada untuk mengejar cita-cita yang masih mungkin diraihnya.
Ia pernah menumpahkan perasannya itu dalam lukisannya “Langkah Menuju Asa”, Di sana ia menggambari kudanya dengan wayang lakon perang Bharatayudha. Pelbagai figur wayang ada di dalam tubuh kuda itu. Sementara di luar tubuh kuda itu dihiaskannya pelbagai ornamen dekoratif yang selama ini ia punya, ketika ia menggarap Pawukon, wayang beber dan sebagainya. Pelbagai pernik-pernik keindahan tradisional ada di sekitar kuda yang kelihatan hendak berlari kencang itu. Inilah lambang, janganlah manusia menyerah, bertahanlah sampai garis akhir, walau di garis akhir ini biasanya terjadi banyak rintangan. Asa manusia harus seberani dan secepat lari seekor kuda.
Waktu itu cepat berlalu. Supaya tidak ketinggalan waktu, manusia pun harus selalu berkarya bersama waktu. Manusia harus terus nunggak semi bersama waktu. Itulah yang sekarang dibuat Subandi dengan lukisan-lukisan Pawukonnya. Di sana tampak bahwa kekuatan dan kekayaan waktu ternya bisa ditangkap dengan imaginasi dan kreasi seni rupanya, yang sangat kuat berakar pada keindahan wayang. Di sana kita dapat belajar, bagaimana kira-kira gambaran orang Jawa tentang kekuatan dan daya waktu itu.
Sindhunata