Cerita Kehidupan dalam Wayang Subandi Giyanto
Manusia hidup bersama cerita. Lewat cerita, menusia mengetahui kejadian dari masa lalu. Dengan cerita, kita memahami dan membagikan peristiwa hari ini. Melalui cerita pula, manusia menjangka hal-hal yang bakal terjadi pada masa depan.
Semua kebudayaan tumbuh bersama cerita. Itu berlangsung sejak kebudayaan awal manusia purba di gua-gua, masa awal kebudayaan di tepian sungai (seperti Mesir Kuna), hingga masa revolusi industri keempat sekarang. Kitab suci agama-agama ditulis dalam bentuk cerita, bahkan termasuk konsep teologis (ketuhanan). Pun hal-hal terkait eskatologi (dunia setelah kematian) juga disajikan dalam kemasan cerita.
Kenapa cerita demikian penting dalam kehidupan? Karena cerita adalah alat komunikasi. Cerita merekam dan menyimpan semua catatan yang kita butuhkan untuk membangun kehidupan: pengetahuan, teknologi, sejarah, nilai-nilai, kebijaksanaan.
Di Indonesia, lebih khusus lagi di Jawa, cerita itu antara lain diekspresikan dalam bentuk wayang. Meski sejarahnya merujuk pada tradisi India, terutama epos Mahabarata dan Ramayana, sejatinya cerita wayang juga telah berakulturasi dalam kebudayaan Jawa. Salah satu bentuk perbauran itu adalah cerita Watugunung dari Kitab Pakuwon Jawa.
Tersebutlah seorang raja sakti bernama Prabu Watugunung dari Kerajaan Giling Wesi. Entah bagaimana, dia kemudian mengawini seorang perempuan yang ternyata ibunya sendiri, Dewi Sinta. Mengetahui bahwa dia dikawini oleh anaknya kandungnya, Sinta mencari berbagai cara untuk mengakhiri kesalahan itu. Watugunung diprovokasi untuk bertempur melawan para dewa di kayangan sehingga akhirnya tewas.
Tak sepopuler Mahabarata dan Ramayana, kisah Watugunung juga menggambarkan cerita kehidupan dengan segenap kompleksitasnya. Dalam kisah ini, kita menemukan berbagai karakter yang mirip perilaku manusia, tentang kekuasaan yang memabukkan, atau tentang cinta yang buta. Semua diungkapkan dalam narasi yang asyik. Terlebih, Kitab Pakuwon terkait dengan perhitungan penanggalan Jawa berdasarkan hari kelahiran seseorang.
Menarik jika kita juga bisa menggunakan cerita ini sebagai perspektif untuk melihat peta kehidupan manusia zaman sekarang. Ketika Indonesia tengah memasuki tahun politik jelang Pemilu 2024, kita patut berefleksi, bukankah perilaku menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan itu sejatinya juga mirip perilaku Watugunung?
Kisah ini diulik oleh Subandi Giyanto dan dikembangkan menjadi karya seni rupa. Seniman ini sejak muda menggeluti dunia perwayangan, kemudian mendalami seni modern di Jurusan Seni Rupa IKIP Yogyakarta. Sesuai latar belakang itu, dia mengangkat cerita wayang dengan pendekatan klasik sekaligus modern.
Subandi menggambarkan cerita itu dengan pendekatan wayang beber (dalam lembaran kertas atau kain) dengan pakem-pakem yang lazim. Ada juga pendekatan model wayang purwa. Saat bersamaan, kisah itu juga diekspresikan dalam bentuk lukisan modern di atas kanvas yang lebih bebas. Keragaman pendekatan visual atas cerita wayang itu ditampilkan dalam Pamerkan "Giling Wesi" di Bentara Budaya Yogyakarta, 3-9 November 2023.
Selamat berpameran untuk Subandi Giyanto. Patut diapresiasi kreativitas seniman ini dalam mengulik kekayaan tradisi sekaligus mengolahnya dalam kemasan modern yang kekinian. Terima kasih kepada Romo Sindhunata dan Mas Hermanu yang menangani kurasi, juga seluruh kru Bentara yang menyiapkan pameran ini. Terima kasih juga untuk semua pihak yang menyokong program ini sehingga terlaksana dengan baik.
Palmerah, 31 Oktober 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia