Bias-Bias Optimisme
Dalam hari-hari terakhir, banyak orang semakin pesimistis melihat perkembangan nilai-nilai kebangsaan kita. Penguasa dianggap tengah main-main demi kepentingan keluarganya, sementara lembaga antirasuah digoyang isu tengah menggunakan kekuasaan untuk memeras tersangka. Itu gambaran yang muncul di media, yang tentu saja merembet ke mana-mana hingga akar rumput. Menjelang pemilu, makin sulit memegang kata-kata, kata-kata orang lain maupun kata-kata sendiri karena kadang kita berkata-kata tanpa pedoman. Ketika membaca tulisan ini, kata-kata siapa yang Anda percaya?
Pesimisme sudah sebesar itu tumbuh di negeri ini. Kita punya Pancasila yang menyimpan begitu besar optimisme, tetapi setelah sekian puluh tahun, sila demi sila tak kunjung menyata. Justru kita menemukan wajah-wajah buram yang jauh dari cita-cita Pancasila. “Rakyat adil makmurnya kapan?” kata seorang sopir ojek daring yang mengingatkan kepada sebuah lagu plesetan.
Kesuraman itu ditangkap secara baik oleh Rahayu Retnaningrum yang kemudian dia telurkan menjadi karya bertajuk “Peripatetic”. Dia lahir dan besar di Jakarta. Ingatannya terusik oleh perlombaan gedung yang kian mencakar langit analog dengan ego manusia yang kian berjejal, sementara ruang gerak makin sempit karena tergusur oleh tembok-tembok berhimpit.
Dia resah dengan manusia yang berlomba-lomba dalam kepalsuan. Barangkali banyaknya orang yang terjebak pinjaman daring, adalah cermin perlombaan kepalsuan itu: demi gaya mereka rela melakukan banyak hal di luar daya. Tentu ini bukan sebuah generalisasi karena banyak juga yang dijerat pinjaman daring karena memang butuh biaya. Namun yang perlu dikritisi adalah melonjaknya perilaku konsumtif, kegilaan belanja, yang tak sebanding dengan upah.
Sisi baiknya, konsumerisme menggelorakan lokapasar berikut efek dominonya yang antara lain membuka lapangan pekerjaan bagi para kurir. Dengan ponsel di tangan, belanja bisa semuda menyala-matikan televisi: tinggal pencet, tab. Tidak perlu berpanas-panasan pergi ke pasar.
Pasar lalu sepi. Kata Melodia menyitir Ramalan Jayabaya yang kemudian dia jadikan tajuk lukisan, “Pasar Ilang Kumandange”, pasar kehilangan gairahnya. Sebutlah Pasar Tanah Abang yang sempat dinobatkan sebagai salah satu pasar terramai di Asia Tenggara itu ditinggalkan pembelinya. Mereka tak sudi lagi berpanas-panas dan macet-macetan ketika barang yang tak kalah bagus dan tak kalah murah bisa diborong sambal selonjoran di sofa atau sambal meninabobokan kekasih. Sebuah keniscayaan zaman.
Pedagang di Pasar Tanah Abang berontak, meminta pemerintah melarang orang-orang jualan di lokapasar, sebuah permintaan yang absurd dan sayangnya dikabulkan pula. Lalu ribuan pedagang di pelosok negeri ini, yang semula mengandalkan jualan daring, kehilangan pendapatannya. Begitu juga dengan ribuan kurir. Ketika kita hanya melihat Indonesia sebagai Jakarta (Tanah Abang), yang lain terlupakan. Satu lagi kemuraman lahir dari sikap tidak adil kita dalam melihat Indonesia.
Kemuraman-kemuraman demikian nyata dalam hidup ini, tetapi kita bersyukur masih ada orang-orang yang mampu melihat optimisme di tengah kemuraman itu. Paling tidak itulah yang tercermin dari pameran oleh 27 seniman bertajuk Indonesian Dreams ini. Mereka melihat kenyataan demi kenyataan yang kita temui hari-hari ini sebagai mendung. Akan tetapi, selalu ada cahaya di balik mendung tersebut. Sebab, kata muralis Bunga Fatia, “Memerlukan Gelap untuk Menjadi Terang” sebagaimana judul lukisannya. Dia melihat optimisme dari rangkaian kekacauan di negeri ini. Sebuah harapan yang amat manusiawi sekaligus menggugah karena cara pandangnya tak kunjung padam.
Beberapa seniman lain mengungkapkan gagasan senada dengan itu, memimpikan Indonesia yang lebih baik. Misalnya Ni Nyoman Sani dalam karya bertajuk “Gemah Ripah Loh Jinawi” memimpikan hamparan sawah menghijau dan laut berlimpah ikan. Mirip dengan Rahayu Retnaningrum yang melihat sisi terang negeri ini begitu dia meninggalkan ibukota dan menepi ke desa. Di desa, dia disapa langit cerah, udara sejuk, mata air berlimpah, pepohonan dan bukit berjejer, dan pemandangan yang terhampar luas tanpa batas. Sebuah lanskap surgawi yang diburu orang kota untuk healing, katanya. Dua pengalaman yang kontras itu—hidup di kota dan desa—dia tuangkan secara imajinatif dalam karyanya.
Energi optimisme itu tampak juga menonjol dalam “A Million Suns” karya Gogor Purwoko yang bisa dimaknai secera ganda. Makna buruknya mungkin bumi ini sudah demikian panas sehingga rasanya tak pernah tenang hidup di atasnya. Makna baiknya, bahwa kita tidak pernah kekurangan cahaya sehingga kepahitan-kepahitan atau mendung-mendung hidup tak akan mampu memadamkan harapan.
Yang disampaikan para seniman ini mewakili kepala banyak orang, cenderung bersikap optimistis meskipun kadang tidak rasional. Ini gejala psikologis dan neurologis yang umum terjadi—Ilmuwan Tali Sharot menyebutnya sebagai bias optimisme. Gejala irasional itu bisa digugat misalnya dengan pertanyaan, bagaimana kita bisa memperbaiki kondisi ini jika pemimpin tetap sibuk memikirkan diri sendiri?
Maka, kita perlu mewaspadai gejala bias optimisme ini. Bias optimisme merupakan gelaja kecenderungan untuk melihat masa depan secara lebih lebih positif daripada yang sebenarnya. Bahayanya, bias optimisme mampu membuat seseorang cenderung meremehkan risiko dan melebihkan harapan positif mereka dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk misalnya dalam memilih pemimpin.
Pada akhirnya, optimisme adalah sebuah modal yang masih berada di ruang utopia. Untuk menjadikannya menjadi nyata, butuh kerja-kerja sistemik dan strategis. Di sinilah optimisme harus dibarengi dengan rasionalitas. Rasionalitas itu bentuknya antara lain tercermin dalam ungkapan, “Siapa pun presidennya, kita tetap harus bekerja keras untuk menghidupi diri. Jadi untuk apa bertengkar dalam pemilu.”