Kopi, Kolonialisme, Seni
Kopi memiliki banyak wajah. Publik mengenalnya sebagai minuman dengan cita rasa khas. Sehitam warnanya, ternyata kopi juga menyimpan sejarah kelam kolonialisme. Kini, minuman ini kian lekat dengan gaya hidup urban dan kesenian.
Sebagai minuman, kopi telah melegenda di Nusantara sejak akhir abad ke-17. Tahun 1696, Belanda mengenalkan kopi jenis arabika dari Malabar, India, ke Jawa. Tahun 1706, perkebunan kopi membuahkan hasil menggiurkan sehingga lantas dibudidayakan di berbagai wilayah pegunungan di Nusantara.
Popularitas kopi Jawa melecit seiring sukses perdangan komoditi itu ke Eropa. Meski juga ditanam di Sumatera dan Sulawesi, kopi Jawa masyhur jauh ke mencanegara. Muncul istilah "a cup of Java" sebagai "brand" kuat di dunia Barat.
Namun, di balik pencapaian itu, tercatat sejarah kolonialisme. Adalah Belanda, lewat perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang merintis industri kopi di Nusantara. Rintisan tak hanya dilakukan dengan cara-cara perdagangan lazim, melaikan dalam bermacam bentuk penjajahan (kolonialisme).
Kendati kopi ditanam di Nusantara dengan pekerja kebun orang-orang pribumi, tetapi keuntungan terbesar dikantongi VOC. Hasil kopi terbaik dipanen dan disetor ke pusat-pusat perdagangan di Eropa. Saat kopi Jawa melegenda di Eropa, itu sekaligus juga mencerminkan kekayaan besar yang ditangguk oleh VOC.
Kopi sebagai peranjangan tangan kolonialisme digambarkan dengan apik dalam novel "Max Havelaar", yang pertama kali terbit pada 1860. Judul lengkap karya sastra ini, "Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij"--terjemahannya, "Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda".
Penulis novel, Multatuli--yang merupakan nama pena dari penulis asal Belanda, Eduard Douwes Dekker (1820-1887)--mencatat perdagangan kopi di Nusantara ditopang oleh sistem tanam paksa yang menindas kaum bumiputra. Mengambil latar belakang di Lebak, Banten (tempat Douwes Dekker pernah bekerja sebagai asisten residen), karya sastra ini menunjukkan jejak kotor kolonialisme yang merenggut kemerdekaan warga lokal melalui industri kopi. Salah satu bagian novel ini berisi kisah tragis Saijah dan Adinda, yang kerap dijadikan fragmen pertunjukan teater.
Kopi rasa "penjajahan" dapat dilacak memalui tradisi unik yang masih hidup hingga sekarang di Sumatera Barat. Pada masa kolonial, Sumatera juga menjadi area perkebunan kopi dengan hasil yang bagus. Namun, semua hasil kebun terbaik diamanakan sedemikian rupa agar dapat dikirim seutuhnya ke Eropa.
Para petani kopi, yang berjibaku merawat tanaman itu, sama sekali tak berkesempatan mencicipi kenikmatan kopi yang mereka tanam. Sebagai "kompensasi," mereka lantas meracik daun kopi dan menyeduhnya dengan air panas dengan tambah gula tebu. Produk inilah yang kemudian dikenal sebagai "Kawa."
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1945, perkebunan kopi peninggalan Belanda berangsur-angsur dikuasai bangsa Indonesia, dalam wujud perorangan atau perkebunan negara. Memang tak seindah "a cup of Java" zaman kolonial, tetapi sejarah kopi dari Nusantara terus berlanjut. Beberapa jenis kopi dari negeri ini tampil sebagai juara dalam sejumlah festival kopi dunia.
Kini, kopi tetap menjadi salah satu minuman primadona di Indonesia. Seiring maraknya kafe-kafe di berbagai kota di Indonesia, minuman ini kian berkembang sebagai gaya hidup ("life-style") kaum urban. Lewat media sosial, segala aktivitas perkopian dikemas menjadi obyek yang menggoda. Merawat kopi, menyangrai biji kopi, menyeduh, menyeruput seduhan, atau sekadar duduk bersama kopi pagi hari, semua jadi ritual asyik.
Bagi para seniman, kopi adalah juga sahabat yang setia menemani berbagai bentuk proses kreatif. Katakanlah, sembari menyeruput kopi, sastrawan menulis puisi. Kopi membersamai pelukis menggores cat di atas kanvas atau aktivis LSM berdiskusi tentang nasib rakyat sampai larut. Sembari bersiasat untuk memenangi pemilu, elite partai pun gemar menenggak kopi.
Kopi, dengan segenap wajahnya itu, dirangkum dalam Festival "Road to Max Havelaar" di Bentara Budaya Jakarta, 5-9 Oktober 2023. Di sini, kita akan menjumpai kopi sebagai kopi: biji-biji yang dipetik di kebun, disangrai, lalu digiling menjadi bubuk, dan diminum. Ada juga kopi sebagai penggalan sejarah yang dibicarakan dalam diskusi. Tema kopi dan kolonialisme juga digarap oleh sejumlah seniman menjadi lukisan yang dikemas dalam pameran berjudul “The Book That Killed Colonialism”.
Semua sajian kopi itu dapat dinikmati serentak selama festival. Semua indera kita dimanjakan dengan berbagai produk kopi dan turunannya.
Terima kasih kepada panitia Festival "Road to Max Havelaar" di bawah koordinasi Mas Prawoto Indarto. Penghargaan kepada para narasumber diskusi, para pelukis yang berpameran, serta seluruh pegiat kopi yang ambil bagian dalam festival. Apresasi kepada semua pihak yang memberi support.
Palmerah, 5 Oktober 2023
Ilham Khoiri
General Manager Bentara Budaya & Communication Management, Corporate Communication Kompas Gramedia