Menegaskan Garuda
Garuda memudar dari dada. Wujudnya compang-camping oleh tingkah pola manusia yang berseberangan dengan nilai-nilai garuda itu sendiri. Ketika mengingat garuda, yang tergambar adalah Pancasila, lima sila yang menempel di dada Burung Garuda lambang negara kita. Burung Garuda yang menoleh ke kanan tanda membela kebenaran sekaligus menolak kemungkaran.
Burung Garuda sekaligus Pancasila itu menempel di hati kita dan mengalir ke seluruh pembuluh darah hingga pusat kendali warga negara Indonesia, otak dan hati. Dia lalu termanifestasi dalam segala pikiran dan laku hidup, baik ketika kita adalah seorang pedagang asongan, guru, pemuka agama, menteri, maupun kepala negara sekalipun. Langkah kita berpijak kepada Pancasila.
Garuda memudar dari dada. Seniman Putu Sutawaijaya gelisah atas fenomena sosial: satu kelompok menegasikan kelompok yang lain. Pada lain waktu, kelompok minoritas diperkusi kelompok mayoritas seolah mereka adalah makhluk paling berdosa di kolong langit ini. Lalu muncul fenomena identitas kelompok menguat bukan sebagai penguat kohesi masyarakat, melainkan sebagai alat untuk mengeksklusi kelompok lain.
Bagi Putu Sutawijaya, hal-hal di atas menyedihkan karena leluhur kita mengajarkan bahwa perbedaan itu keniscayaan dan berkah. Ini terangkum dalam falsafah negara sebagaimana dalam kalimat Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram erat burung Garuda.
Di panggung politik, Garuda atau Pancasila hanya jadi jargon atau kalimat pembuka dalam setiap rapat dan persidangan. Nilai-nilainya kerap ditinggalkan begitu saja di bawah sepatu. Sila yang menyinggung tentang keadilan sosial atau sila tentang kesejahteraan rakyat, misalnya, masih menjadi teka-teki kapan benar-benar diperjuangkan sepenuh hati. Hari-hari ini, menjelang Pemilihan Umum, akan datang orang-orang yang tak begitu kita kenal, menjual nilai-nilai Pancasila untuk merebut hati kita. Setelah itu, apakah mereka benar-benar memperjuangkan nasib kita sebagai rakyat, apakah mereka memperjuangkan nilai Garuda? Kita sama-sama tahu jawabannya.
Di bidang olahraga, para pesepakbola, misalnya, memperjuangkan garuda di dada mereka sekuat tenaga. Namun pada saat bersamaan, ratusan penonton sepakbola mati sia-sia tanpa diikuti proses hukum yang jelas. Garuda dihidupkan dan dimatikan dalam waktu bersamaan.
Putu menduga, banyak orang lupa atau ahistoris terhadap sejarah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Garuda yang menempel erat Pancasila di dadanya itu. Oleh karena itu, dia merasa perlu untuk mengemukakan lagi nilai-nilai penting Garuda. Lewat riset mendalam di Candi Kedaton di Desa Andung Biru, Tiris, Probolinggo, Jawa Timur, Putu menemukan panel-panel relief yang amat naratif menceritakan perjalanan hidup Garuda (Garudeya). Perjalanan hidup Garuda yang manusiawi itu memantulkan inspirasi dalam diri Putu yang kemudian meresponsnya dalam bentuk beragam karya mulai dari foto, lukisan, hingga instalasi patung.
Lewat cerita garuda, Putu membangun narasi sekaligus metafora tentang pencarian jati diri, penggalian makna hidup, dan tujuan hidup bersama. Candi Kedaton telah memberi Putu pencerahan dan ingin menularkannya lewat pameran ini.
Pada panel relief-relief di dinding batur sisi selatan Candi Kedaton itu tergambar Garuda yang tak utuh lagi, terkoyak oleh waktu dan perilaku manusia. Sebagian masih tegas dan sebagian samar. Putu lalu memotret, mencetaknya di atas plat, lalu meresponsnya dengan memberikan penegasan-penegasan wujud. Dengan begitu, kita dapat melihat dengan jelas imaji atau impresi terhadap gambar pada panel tersebut.
Dengan kata lain, upaya Putu menegaskan imaji-imaji itu tak lain adalah mengajak kita untuk menegaskan kembali nilai-nilai Garuda di dada. Dia ingin orang-orang mengenal dan merenungi kembali Garuda sebagai dasar dalam berpikir, pijakan dalam bergaul dengan sesama, dan pondasi dalam berpolitik. Rasanya hidup lebih indah jika itu menyata.
Melihat dari dekat panel-panel relief di candi itu, Putu jadi semakin tahu bahwa cita-cita utama Garuda adalah mencari air pembebas dari perbudakan. Potongan cerita pada relief-relief itu mengisahkan bahwa Garuda dan ibunya, Winata, tengah menjalani masa-masa menjadi budak. Mereka harus melayani Kadru dan anak-anaknya yang berupa seribu naga. Para naga mensyaratkan Garuda memberi mereka air amrta kepada mereka jika dia ingin bebas dari perbudakan. Garuda menyanggupi meskipun air itu ada di tangan para Dewa.
Setelah menghadapi sekian banyak rintangan, Garuda berhasil membawa air amrta dan menyerahkannya kepada para naga. Meskipun ujungnya para naga gagal meminumnya lantaran keburu diambil balik oleh para dewa.
Dari cerita itu, bisa ditafsir bahwa Winata adalah Ibu Pertiwi yang kini tengah jadi budak. Tanah Air kita yang katanya kaya raya tidak karuan ini rusak parah oleh keserakahan. Krisis ekologi mulai banjir, longsor, sampai polusi udara adalah beberapa tanda nyata. Jalan keluarnya adalah membantu Garuda mendapatkan air amrta dari tangan Dewa: mengembalikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan mengutamakan ninai ketuhanan dan kemanusiaan. Inilah pesan penting dari pameran bertajuk Lelampah ini. Dalam karya-karya patung, lukisan, dan foto ini, Putu Sutawijaya ingin menegaskan Garuda.
Bintaro, 10 September 2023
Hilmi Faiq
(Kurator Bentara Budaya)